Jalan-jalan Perempuan #1: Mengunjungi Masyarakat Adat, Memahami Sudut Pandang Mereka

Jalan-jalan Perempuan kali ini, bercerita tentang pengalaman jurnalis Konde.co berkunjung ke masyarakat adat Talang Mamak, Riau. Ini bisa jadi refleksi bagaimana kita semestinya memandang masyarakat adat.

Aku adalah perempuan yang lahir dan tumbuh di sebuah kabupaten di Jawa Timur. Wilayah ini bisa dibilang kecil, tapi masyhur dengan kotanya para pejuang kemerdekaan dan makam proklamator RI. Ya, Blitar. 

Dalam bahasa Jawa Timur-an, kami biasanya bersenandung ‘Blitar kutho cilik sing kawentar. Edi peni gunung kelud sing ngayomi’. Artinya, Blitar kota kecil yang terkenal. Sungguh elok dengan gunung kelud yang mengayomi.

Setidaknya sampai SMA, sampai aku akhirnya kuliah di kota Bandung. Lalu, merantau ke Jakarta dengan segala hingar bingarnya. Jika ditotal, tak terasa ternyata sudah satu dekade berada di kota-kota metropolitan ini.

Selama menjadi jurnalis di media mainstream, aku sebetulnya sudah sering berkunjung ke wilayah-wilayah yang jauh dari ibu kota. Mulai dari Kalimantan sampai Papua Barat. Tapi ya, agenda-agenda yang diliput banyaknya agenda pemerintahan atau perusahaan besar. Isinya soal peresmian-peresmian atas nama ‘pembangunan’, peningkatan ‘kesejahteraan’, sampai kemajuan ‘pembebasan lahan’. 

(Dok Pribadi. Saat liputan di Pegunungan Arfak Papua Barat tahun 2018)

Pernah suatu kali, aku melipir menemui salah satu masyarakat adat yang diundang forum pemerintahan di Papua Barat sekitar tahun 2018. Dia bilang, dia tak butuh pembangunan (versi pemerintah) yang menjadikan hutan adat mereka sebagai eksplorasi untuk industri kreatif. 

Sementara, pembangunan yang mereka inginkan, sebenarnya biarlah hutan adat yang dari nenek moyang mereka miliki, dikelola secara mandiri dengan kearifan lokal mereka. 

‘Kami sudah sejahtera, kami punya segalanya yang kami butuhkan dengan terjaganya hutan. Bukan dirusak atas nama pembangunan,’ begitulah penggalan kalimat yang aku ingat darinya.

Baca Juga: Perempuan, Perintis Perjuangan Masyarakat Adat Dongi

Percakapan itu, menjadi titik balik pertamaku memandang masyarakat adat. Aku akui, aku punya bias-bias yang selama ini tertanam di alam bawah sadarku. Bisa saja, karena pengalamanku yang ‘jauh dari mereka’. 

Lahir dan tumbuh di komunitas yang wilayah dan kepercayaannya menjadi kelompok mayoritas di negeri ini. Sedikit banyak berpengaruh dan menjadikanku sebagai ‘orang luar’, yang nyatanya tak tau apa-apa terhadap hidup masyarakat adat. 

Seiring waktu, aku mulai membaca literasi-literasi tentang situasi dan kondisi masyarakat adat. Narasi ‘pembebasan lahan’ yang selama ini aku tulis, bisa jadi adalah ‘perjuangan-perjuangan’ masyarakat adat mempertahankan lahan leluhurnya. Hidupnya. 

Baca Juga: Problem Perempuan Adat, Regulasi dan Aturan Adat Yang Belum Berperspektif Perempuan

Beberapa bulan lalu, aku dibuat makin sadar. Saat aku terjun langsung di tengah-tengah masyarakat adat di Indragiri Hulu, Riau. Selama beberapa hari, aku mengenali mereka lebih dekat. 

Bukan ‘Kacamataku’ Tapi Pandangan Mereka 

Sekitar pertengahan Maret lalu, aku menuju Pekanbaru dari penerbangan Jakarta. Usai briefing tim lapangan, kami bergegas ke penginapan di Air Molek, Pasir Penyu, Indragiri Hulu. Perjalanan kami menggunakan mobil sekitar 5 jam. 

Sepanjang jalan, hamparan sawit tampak pada sisi kanan dan kiri kami. Truk-truk pengangkut buah sawit pun, sesekali menyalip kendaraan yang kami tumpangi. Mereka lalu lalang menjemput dan mengantar hasil panenan sawit. 

Begitu sampai ke penginapan, kami istirahat sejenak. Lalu, kembali melakukan perjalanan selama 1 jam menuju Talang Parit. Kami menemui Kepala Desa Talang Parit yaitu Sudiman serta Batin Irasan sebagai pimpinan adat. Bersama mereka ada pula, para anak muda Talang Mamak seperti Dita, Ayu, Ning, Hairil, Davit, Heri (jurnalis warga) dan lainnya menyambut kami. 

Baca Juga: Yuk, Bareng-Bareng Memutus Rantai Kekerasan Pada Perempuan Adat

Kami disuguhi makanan tradisional Talang Mamak. Muda-mudi Talang Mamak dengan sigap menyiapkan piring-piring, gelas, dan santapan. Kami melingkar dengan setara. Pemandangan yang ternyata agak tak biasa, sebab dalam pertemuan adat Talang Mamak ada pemisahan antara tempat duduk untuk laki-laki dan perempuan. 

Tapi malam itu, kami berbaur saja. Kami duduk lesehan. Menyantap hidangan dengan lahap. Makanan hasil tangkap dan kebun sendiri. Nasi pulen yang asapnya mengepul, ditambah ikan sungai, sayur mayur dan sambal pedas. Amboy, nikmat dan syahdu sekali~ 

Usai makan malam, para perempuan (amay) pun mulai meracik dan melinting rokok. Kemenyan dan lintingan sirih itu pun dihisap, hingga mengepulkan asap-asap putihnya ke udara. Malam semakin cair dan hangat.

Kalau di masyarakat urban kita mengenal istilah mindfulness, di situlah aku benar-benar merasakannya. Dengan kondisi susah sinyal, kami tidak sering-sering mengecek gadget. 

Jadinya, sepenuhnya bisa menikmati makan sambil asyik bercerita.

Batin Irasan banyak bercerita soal situasi masyarakat Adat Talang Mamak di tengah konflik sawit dengan perusahaan. Juga soal perjalanan perjuangannya selama puluhan tahun. Sementara di sisi lainnya, dia juga bertanggung jawab menjaga keharmonisan dan kelangsungan adat di masyarakat. 

Selama masa konflik sawit itu, ada banyak tawaran ‘menggiurkan’ kepada Batin Irasan. Namun, dia menolaknya. Bahkan, jika pun harus mengorbankan hidup dan nyawanya, dia akan tetap setiap untuk menjaga Talang Mamak. Tidak menjualnya (diri dan tanah adatnya) pada perusahaan. 

Istilah Talang Mamaknya, lebih baik mati anak daripada mati adat

Keesokan harinya, perayaan Gawai digelar di rumah Kades Sudiman. Ini adalah momen yang mempertemukanku langsung dengan hampir seluruhnya masyarakat adat Talang Mamak di Talang Parit. Semua berdatangan dan berkumpul jadi satu. 

Di momen inilah, aku menyadari satu bias yang ada di benakku. Sebagai ‘orang luar’ yang lama hidup di metropolitan, saat memandang masyarakat adat. Bayanganku sebelumnya soal masyarakat adat ini, selalu melulu akan memakai pakaian adat lengkap dengan aksesoris-aksesoris tradisionalnya. 

Baca Juga: “Kok Pakai Baju Modern, Bukannya Daun atau Kulit Kayu?”: Kisah Pegiat Hak-hak Masyarakat Adat

Nyatanya, tak sedikit dari mereka datang dengan pakaian kaos dan celana bahan. Ada yang memakai gaun panjang berbunga. Menjinjing tas modern aneka warna. Sementara, aksesoris rambut dan make up-nya juga tak beda jauh dengan masyarakat yang sering kutemui di perkotaan. 

Barangkali hanya soal bahasa yang membedakan. Mereka mayoritas masih menggunakan bahasa asli Talang Mamak. Sebagian lainnya bisa berbahasa Melayu, tapi agak sulit berbahasa Indonesia. Kecuali, kalangan mudanya yang bersekolah di sekolah berbahasa Indonesia. 

Banyak dari kalangan mudanya ini, yang memiliki gadget dan akun sosial media. Seperti, Instagram sampai Tik Tok. Mereka belakangan bahkan juga belajar soal advokasi hukum sampai jurnalisme warga. 

Baca Juga: Suara Perempuan Muda Adat Talang Mamak 

Perbincangan dengan Dosen Universitas Lancang Kuning Riau, Pinto Anugrah, beberapa hari berikutnya, rasanya membuatku semakin paham. Bahwa seringnya ‘orang luar’ salah kaprah melihat masyarakat adat. Adanya simplifikasi, masyarakat adat itu selalu identik dengan kalangan ‘tertinggal’ dan ‘tidak berdaya’.

Ini juga berlaku di level pemerintahan dalam penentuan kebijakan. Atas stigmatisasi itu, masyarakat adat yang seharusnya diakui dan dihargai dengan kekayaan nilai dan kedaulatannya, malah semakin dikerdilkan dan minim diberi akses. 

Mereka dianggap lemah, miskin dan tak punya pengaruh. Sementara, penggusuran atas hidup masyarakat adat terus digalakkan dengan dalih ‘pembangunan’ dan peningkatan ‘kesejahteraan’. 

Sungguh, ini semestinya menjadi refleksi serius bagi kita. Lihat, dengar dan rasakan dari sudut pandang mereka. Bukan hanya kacamata bias yang terus dipelihara.  

Mimpi dan Pemberdayaan 

Perjumpaanku dengan masyarakat adat Talang Mamak juga mengajarkan soal mimpi dan pemberdayaan. Menemui kalangan tetua adat, aku melihat adanya tanggung jawab pemeliharaan dan pengorbanan diri yang besar. Sedangkan, pada anak-anak mudanya ada mimpi, asa pemberdayaan dan kesetaraan. 

Dua sisi elemen ini, saling melengkapi. Mereka sama-sama bermuara pada upaya menjaga kelestarian Adat Talang Mamak. Meski, situasinya sedang sulit karena berhadap-hadapan dengan konflik sawit dengan perusahaan. Dan juga, kepungan modernitas yang tak bisa dihindarkan.

Baca juga: Kedaulatan Atas Ruang Hidup Perempuan Adat

Energi itu, salah satunya aku rasakan saat pertemuanku dengan Ayu. Perempuan muda (25) yang kerap menemaniku saat di Talang Parit. Di suatu momen siang hari, saat kami masak bersama di rumah Ning, dia banyak bercerita soal mimpi-mimpinya untuk Talang Mamak. 

Perempuan yang beberapa tahun lalu lulus SMA ini, ingin membekali dirinya dengan ilmu dan pengalaman. Dia ingin generasi muda seperti dirinya, paling tidak bisa menjadi penggerak perubahan. Dengan tetap melestarikan kearifan lokal masyarakat adat Talang Mamak. 

Saat ini, Ayu bersama anak-anak muda Talang Mamak memang sedang mengkoordinasi diri menjadi kolektif anak muda. Mereka mendapatkan pendampingan untuk belajar soal hak-hak masyarakat adat termasuk soal negosiasi dan hukum. Hingga, mereka juga aktif mengarsipkan dan mendokumentasikan soal adat Talang Mamak. Baik melalui buku ataupun produk jurnalistik. 

Baca Juga: Apa Yang Diperjuangkan Perempuan Adat Selama ini?

Anak muda perempuan seperti Ayu ataupun Dita, juga berada di posisi depan. Saat mendampingi Batin Irasan berdialog soal konflik sawit di Talang Mamak. Mereka punya mimpi agar suara perempuan akan semakin didengar dan dipertimbangkan. 

Asyik mengobrol, tak terasa, masakan kami pun matang. Salah satu masakan khas di Talang Mamak ikan sungai ditambah durian yang difermentasi. Bumbunya terasa dengan kuah asam manis. 

Kami pun juga memasak rendang mentimun. Ternyata enak. Rasanya seperti masakan rendang, tapi dagingnya bukan dari sapi atau kambing. Melainkan dari daging mentimun. Segar.

Perpaduan rendang mentimun dengan sayuran dan ikan sungai. Mantap sekali~

Selepas menyantap makan, aku merasakan ‘penuh’. Bukan hanya di perut usai diisi makanan, tapi juga hatiku. Aku merasa ‘penuh’ cinta kasih dan semangat yang berkelindan di binar mata anak-anak muda Talang Mamak ini. 

(Sumber Foto: Dokumen Pribadi)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!