Wawasan astronomi rasanya selama ini begitu jauh dariku. Senangnya, minggu kemarin aku didekatkan dengan ilmu perbintangan tradisional yang ternyata sudah lama dilakukan oleh suku Biak.
Seorang peneliti astronomi tradisional, Lisa Febriyanti, membuka seminar web pekan lalu dengan menjelaskan bahwa ilmu ini sudah ditekuni bahkan tercatat sejak era kolonialisme. Suku Biak dicap sebagai “Viking dari Teluk Cenderawasih” oleh seorang antropolog kebangsaan Belanda, F. C. Kamma, pada 1976.
Dari yang dikisahkan Kamma, penjajah Belanda kala itu menggunakan istilah “bajak laut” untuk menggambarkan suku Biak yang tak terkalahkan. Pada abad 17–19, mereka digambarkan bak kelompok yang menguasai dan memahami lautan di daerah Timur Indonesia tersebut pada kalanya. Salah satu yang tercetak sejarah adalah kemenangan pasukan laut Sultan Nuku di atas VOC.
Hingga kini, mereka masih menggunakan keilmuannya turun-temurun. Lisa menjelaskan bahwa menghubungkan pengetahuan perbintangan dan budaya bahari dalam integral adalah bagian dari jati diri Biak sebagai suatu suku.
Baca juga: Yang Bisa Kamu Pelajari Dari Perempuan Adat: Sebagai Pelindung Hutan dan Lingkungan
“Dengan astronomi tradisional dan bahasa lokal-lokalnya, kita menjadi merasa bahwa kita punya rumah, tempat tinggal kita. Tidak hanya kita pijak bumi, atapnya juga adalah berupa langit. Jadi, sangat utuh,” sebut Lisa pada seminar web bertajuk “Astronomi Tradisional Suku Biak: Kajian Astronomi Tradisional sebagai Pengetahuan Ekologi Nusantara”, Kamis (23/5).
Apa yang menjadi faktor ketertarikan Lisa untuk melakukan penelitian ini? Secara personal, ia bercerita pernah diwariskan buku Primbon oleh mendiang kakeknya. Buku itu sempat sulit dipahami, sampai suatu ketika Lisa mengetahui bahwa penanggalan Jawa erat kaitannya dengan interpretasi keterkaitan manusia dan lingkungannya sehingga bisa dipelajari.
Lebih lanjut, astronomi bukanlah ilmu yang abstrak, melainkan dapat ditarik jauh dengan perspektif sains, spiritual, dan sosial masyarakat. Bersama dengan timnya, Lisa mendatangi Biak Numfor untuk melakukan penelitian langsung.
Kegunaan Konstelasi untuk Kehidupan Suku Biak
Suku Biak memiliki konsep kosmologi Nanggi sebagai Tuhan langit, yang tidak terlepas dari manusia (manyoa) dan jagat raya (farsyos). Konsep tersebut dibentuk dengan wujud segitiga yang mencakup juga empat ruang lagi di dalamnya (yen baken, yen aiwui, yen arwur, dan yen koreri), dengan arah barat sebagai akhiran dan timur sebagai awalan.
Konsep kosmologi suku Biak (Sumber: salindia seminar web)
Hingga kini, mereka memiliki 21 konstelasi bintang, yang juga termasuk berbagai gugus bintang dan planet. Konstelasi ini digunakan untuk berbagai kebutuhan penghidupan, seperti mengetahui perubahan musim, navigasi waktu pelayaran yang tepat, berlayar tanpa alat bantu penunjuk arah, atau menentukan penanggalan awal tahun baru dan berbagai kegiatan.
Misalnya, suku Biak menganggap bahwa musim teduh (wampasi) ditandai dengan konstelasi Romangkwandi yang berbentuk seperti naga. Sebaliknya, musim angin barat ditandai dengan konstelasi Sawakoi di cakrawala. Pembuktian yang dilakukan Lisa diperkuat dengan penggunaan aplikasi Stellarium yang dapat membantu akses bentukan langit bahkan hingga ribuan tahun lalu.
Setiap tahunnya, kelompok suku Biak mengadakan festival yang menunjukkan pergantian musim, yaitu Munara Wampasi, yang biasanya diselenggarakan antara Maret–Agustus. Penanggalan ditentukan dengan kerja sama antara pihak pemerintah dan keluarga yang paham tentang ilmu perbintangan. Festival tahunan ini biasanya diramaikan dengan snap mor, yaitu tradisi penangkapan ikan kala air surut.
Suku Biak tidak menggunakan konstelasi bintang saja. Lainnya, matahari (ori) digunakan untuk menentukan penanggalan lewat peristiwa equinox. Bulan (paik) digunakan untuk menentukan waktu ritual doa inisiasi dan keselamatan ekspedisi laut. Terakhir, planet Venus–layaknya peradaban Mesopotamia–digunakan untuk pedoman hidup dan pemberi harapan.
Penamaan dan konsep waktu yang dimiliki suku Biak. (Sumber: salindia seminar web)
Denes Piet H. Koibur, seorang pemerhati budaya yang videonya ditampilkan pada seminar web tersebut, menjelaskan bahwa ilmu perbintangan tradisional suku Biak tidak berdiri sendiri. Astronomi ini banyak terdampak dan terwujud dalam benda budaya, seperti tifa, perahu, ukiran, mite, atau tato.
Eratnya hubungan kelompok suku Biak dengan alam tidak hanya memberikan dampak kepada manusianya saja. Mereka merasa perlu untuk tetap menjaga hubungan lewat pelestarian alam, khususnya laut yang dianggap kudus. Lisa mengisahkan pengalamannya mendengar dari berbagai warga tentang praktik tradisi sasisen dan prinsip berharmonisasi.
“Ini saya diceritain. Kalau bersin, mereka itu nggak jadi berangkat melaut. Tidak boleh ada persoalan darat yang dibawa ke laut. Permasalahan darat harus ditinggal di darat, maka laut itu akan bisa menerima dan berharmonisasi dengan diri mereka secara utuh.”
Tantangan Pelestarian Astronomi Tradisional
“Orang modern sudah jarang melihat langit, mengenali pola. Astronomi tradisional justru hadir karena mengenali pola.”
Kalimat itu diucapkan oleh Premana W. Permadi, seorang peneliti dari Observatorium Bosscha, yang tampil dalam video selama seminar web berlangsung. Kemajuan teknologi modern berpengaruh ke berkurangnya pewaris ilmu, termasuk pengguna perahu tradisional untuk melaut. Kini perahu-perahu dengan mudah tergantikan dengan yang bertenaga mesin motor. Masalah tersebut tentu menjadi tantangan yang dihadapi tidak hanya oleh suku Biak, tetapi juga kelompok adat lainnya.
Karenanya, pemerintah setempat berupaya dalam melakukan pendekatan dengan tujuan mengenalkan remaja tentang langit. Misalnya, lewat Festival Gerhana Matahari di Kabupaten Biak Numfor yang telah mendatangkan ribuan pelajar dan 100 ilmuwan astronom April lalu.
Ada juga tantangan perubahan iklim yang dijelaskan oleh Lisa lebih lanjut. Mengutip dari BMKG di Biak, ada kenaikan suhu udara sebesar 0,7°C sepanjang 1991–2020 yang dapat berdampak secara signifikan pada pH laut, bakteri, kepunahan biota, dan ekosistem secara utuh yang dapat juga menyebabkan krisis pangan. Selain itu, polusi juga menyebabkan jumlah bintang yang tampak di langit malam kini menjadi lebih sedikit dibanding dulu.
“Ini menjadi concern bersama. Kami ingin menempatkan bagaimana pengetahuan tradisional, termasuk astronomi, itu bisa menjadi satu solusi di tengah situasi tantangan perubahan iklim,” pungkas Lisa.