anak

‘Anak Butuh Perhatian’ Potret Maraknya Pernikahan Anak di Blitar

Tak melulu soal minimnya kemampuan finansial, kurangnya perhatian terhadap anak jadi persoalan serius soal pernikahan anak di Blitar. Mereka yang mayoritasnya putus sekolah, butuh pengasuhan berkualitas, dukungan sosial, dan upaya progresif pemerintah.

Berawal dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu daerah pesisir selatan di Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, saya jadi tau satu hal. Sebuah fenomena ‘tak biasa’ di tengah masyarakatnya. 

Mayoritas penduduk di wilayah itu, bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) ke luar negeri. Mayoritas yang jadi migran itu adalah para perempuan. Sementara, para suami dan anak-anaknya tinggal di rumah. 

Sebagian lainnya, anak-anak dari orang tua pekerja migran itu tak sedikit pula yang dititipkan kepada nenek atau pun kerabat terdekat. Mereka akan ‘meninggalkan’ anak-anak itu selama setahun dua tahun, atau bahkan puluhan tahun. 

Di Jawa Timur, Blitar memang termasuk daerah asal pekerja migran terbanyak. Data Sistem Komputerisasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (SiskoP2MI), selama 5 tahun terakhir ini Jawa Timur memiliki jumlah penempatan terbesar yaitu sebanyak 177.016 orang. Dari total itu, Blitar jadi daerah terbanyak kedua (penempatan lebih dari 9 ribu pekerja migran).

Di saat yang bersamaan, situasi di Blitar belakangan ramai disorot soal maraknya pernikahan anak. Berita viral dengan highlight “ ratusan anak SD dan SMP di Blitar ajukan pernikahan” pun jadi perbincangan. Mereka meminta rekomendasi nikah kepada stakeholder terkait agar punya legalitas ikatan perkawinannya. 

Data DP3APPKB Kabupaten Blitar mencatat, sejak Januari hingga Mei 2023, sebanyak 108 anak meminta rekomendasi menikah. Rinciannya, 40 anak dengan status pendidikan SD, 66 anak SMP dan 2 anak SMA. Usia mereka sekitar 12-16 tahun dengan status pendidikan putus sekolah. Dari jumlah itu, sebanyak 37 pengajuan rekomendasi ditolak. 

Putus Sekolah hingga Pernikahan Anak, Mengapa Bisa Terjadi?

Banyak anak di Blitar yang putus sekolah di tingkat SD atau SMP dan melanjutkan bekerja. Ini tidak hanya dilatarbelakangi karena kondisi ekonomi saja yang kurang mendukung, tapi juga faktor kesadaran. 

Kaitannya soal pengasuhan, tak sedikit yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Entah dari tingkat pendidikan orang tua rendah, minimnya perhatian, hingga dukungan sosial. Sehingga, motivasi belajar pun rendah sampai memutuskan tidak lanjut sekolah.  

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Adi Andaka, pernah mengamini hal ini. Temuannya, bukan karena tidak adanya biaya anak-anak di Blitar tidak mau sekolah. Secara ekonomi bahkan banyak dari mereka lebih dari cukup, karena kebanyakan mereka adalah anak-anak pekerja migran di luar negeri. “Justru hidupnya serba dicukupi membuat mereka malas belajar,” ujar Adi dilansir Detik Jatim pada Mei lalu. 

Ini juga bisa jadi makin kompleks masalahnya, saat orang tua dan lingkungan sosial anak-anak ini, justru ‘memposisikan’ perempuan agar cepat menikah. Ada anggapan, sudah tidak sekolah berarti siap menikah. Atau dibandingkan pacaran dan kebablasan, mending cepat dinikahkan.  

Itulah tuntutan yang diberikan orang tua terhadap anak jika sudah tidak mempunyai aktivitas (sekolah). Pada akhirnya mereka akan ‘patuh’ dengan pilihan tersebut.

Namun celakanya, mereka yang masih berusia anak itu, belum mempunyai kesiapan mental, fisik maupun finansial untuk berumah tangga. Ironisnya, saya pun melihat di Blitar ini, angka perceraian begitu besar dan ujungnya banyak anak broken home

Dampaknya, banyak anak-anak muda yang aku jumpai di pedesaan ini kemudian larut dalam situasi materialistik. Mereka merasa tidak memerlukan pendidikan tinggi. Cita-cita mereka sudah cukup saat menjadi pekerjaan yang tak perlu ijazah tinggi. Misalnya, pekerja migraine, supir truk, atau pekerjaan lainnya dengan tuntutan keterampilan yang minim. 

Kebijakan Progresif dan Penguatan Pendidikan

Tentu hal ini menjadi ‘PR’ kita bersama untuk membangun kesadaran, setidaknya di lingkungan sekitar untuk menumbuhkan motivasi semangat belajar. Adapun subjek yang terlibat langsung dalam sektor pendidikan harusnya memberikan sosialisasi/arahan untuk anak supaya permasalahan putus sekolah ini tidak berlanjut. 

Namun tidak hanya sektor pendidikan saja yang dapat memutus mata rantai ini, tetapi beberapa sektor yang bisa berkolaborasi dalam memecahkan masalah dengan membuat kebijakan/alternatif baru yang progresif. Pemerintah harus pro-aktif dalam menggerakkan upaya itu. 

Menurut pandanganku, orang tua dan lingkungan sosial sekitar juga mestinya mampu menjadi role model. Yaitu, membentuk karakter yang baik bagi anaknya dan secara umum untuk masyarakat. Itulah mengapa pendidikan menjadi sangat penting. Terlebih bagi perempuan, agar bisa menjadi berdikari. Tentu saja, itu bisa jadi efek nyata bagi generasi mendatang. 

Nilai sosial dalam masyarakat kita menyangkut perempuan juga haruslah diubah dan diarahkan ke arah yang lebih baik. Harus lebih adil dan setara. Tidak ada diskriminasi berbasis gender. 

Baca juga: ‘Kalau Tidak Dipaksa, Saya Mungkin Tidak Menikah’: Kisah Penyintas Perkawinan

Dalam perspektif sosiologi feminis, pendidikan merupakan sarana penting untuk mewujudkan keadilan. Di mata hukum, perempuan memiliki hak politik dan pendidikan yang sama sebagaimana laki-laki. 

Aku menyadari bahwa ini, jadi tantangan yang luar biasa bagi masyarakat kita, utamanya mereka yang berada di pelosok desa. Karena itulah, edukasi dan pemberdayaan perempuan menjadi isu penting yang harus diteliti dan dikaji lebih lanjut. 

Kita harus menyadari sedari awal bahwa keterbelakangan perempuan akhirnya mengakibatkan mata-rantai problem sosial yang terus berlanjut. 

Oleh karena itulah, sebagai bagian dari negara dan perempuan, aku berpikir bahwa sejumlah problem sosial yang sedang kita hadapi bisa diselesaikan dengan mengangkat spirit dan marwah perempuan melalui edukasi. Termasuk soal maraknya pernikahan anak seperti yang marak terjadi di Blitar dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.  

Ravika Alvin Puspitasari

Kesibukan sehari-hari kuliah daring dan mengikuti berbagai diskusi online. Selain itu aktif menulis di Lembaga Institute For Javanese Islam Research. Tertarik dengan isu-isu gender yang sedang berkembang saat ini
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!