Petani di Bali Kelola Sampah Organik: Bikin Maju Pertanian Ramah Lingkungan

Petani di pedesaan Bali dapat mendukung sistem pertanian ramah lingkungan yang melindungi kesehatan ekosistem sawah dan menghasilkan pangan yang lebih sehat.

Sampah bukan semata masalah perkotaan tapi juga di pedesaan. Kian banyak desa yang berkembang menjadi daerah urban. Desa juga menjadi muara pengelolaan sampah perkotaan karena banyak tempat pembuangan akhir berlokasi di daerah rural.

Masalah ini sedianya dapat diatasi dengan pengelolaan sampah dari tingkat desa. Misalnya dengan pendirian tempat pengelolaan sampah reduce-reuse-recycle (TPS3R). TPS3R adalah tempat pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendauran ulang skala kawasan. Namun, kendala teknologi ataupun kapasitas membuat banyak TPS3R berhenti di tengah jalan.

TP3SR bisa membantu meningkatkan nilai sampah organik–jenis sampah paling dominan di Indonesia. Sejauh ini, sampah organik belum dianggap sebagai komoditas ekonomi. Padahal, nilai sampah dapat dinaikkan dengan diolah menjadi produk kompos sehingga bisa menyokong pertanian berkelanjutan.

Isu pertanian berkelanjutan perlu digaungkan karena 72% lahan pertanian di Indonesia dalam kondisi kritis. Kualitas lahan semakin menurun karena terlalu banyak menggunakan pupuk kimia.

Penerapan kompos pada lahan pertanian berpotensi memulihkan kesuburan tanah. Karena itu, sampah organik dapat mendukung sistem pertanian ramah lingkungan yang melindungi kesehatan ekosistem sawah dan menghasilkan pangan yang lebih sehat.

Anggapan di atas memicu kami bersama pemerintah Kabupaten Gianyar, Bali, dan organisasi pegiat lingkungan setempat menginisiasi ‘perkawinan’ pengolahan sampah organik dengan pertanian padi di enam desa. Hasilnya menggembirakan. Inisiatif kami mampu menggalakkan pengolahan sampah organik di tingkat desa sekaligus penerapan pertanian ramah lingkungan.

Kerja sama pengolah sampah dan petani di Bali

Terbitnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber menjadi pemantik geliat pembangunan TPS3R tingkat desa di Pulau Dewata. Kompos menjadi salah satu produk utama dari sampah organik yang diolah.

Tim pertanian CERDAS di Gianyar, Bali. Author provided

Tren ini mendorong kami memulai riset aksi bernama CERDAS: circular economy development in organic agriculture (pengembangan ekonomi sirkular dalam pertanian organik). Riset dilaksanakan di enam desa di Kabupaten Gianyar, yakni Taro, Pejeng, Sayan, Tampaksiring, Temesi, dan Tulikup.

Riset aksi adalah pendekatan yang bertujuan untuk mengatasi kesenjangan antara teori dan praktik. Harapannya, upaya ini dapat menghasilkan solusi konkret terhadap permasalahan sosial, ekonomi, atau lingkungan yang ada di masyarakat. Studi melibatkan kolaborasi peneliti dengan pihak yang terlibat seperti masyarakat dan organisasi non pemerintah.

Baca Juga: Riset Anak Muda Indonesia Peduli Soal Lingkungan dan Perubahan Iklim

Melalui riset aksi, kami mengajak para petani yang berkomitmen untuk bertani padi tanpa atau minim pupuk kimia. Kegiatan ini didukung oleh ekosistem petani organik yang sudah berjalan di Bali. Walhasil, petani pun lebih mudah mendapatkan pendampingan pertanian ramah lingkungan, misalnya pembuatan pupuk dan pestisida nabati.

Dalam riset aksi kami, ada 26 petani yang secara sukarela mengubah pola pertaniannya menjadi organik dengan total luas lahan 6,5 hektare (ha). Ada beberapa petani yang memutuskan langsung beralih ke pupuk organik. Ada juga yang masih tetap menggunakan pupuk urea sebanyak 40 kg/ha sawah atau mengurangi 80% dari penggunaan awal.

Menurut petani organik yang berpengalaman, penerapan pertanian ramah lingkungan ini pada awalnya dapat menurunkan hasil panen ke 4,8 ton per ha dari sebelumnya 6-6,4 ton per ha–saat masih memakai pupuk nonorganik dan pestisida.

Namun, penurunan hanya sementara. Seiring kondisi tanah sawah yang semakin subur, hasil panen akan terus meningkat hingga stabil pada angka 7,2 ton/ha setelah empat tahun.

Melalui kegiatan ini, semakin banyak petani yang memahami bahwa penggunaan kompos mampu secara bertahap memperbaiki kualitas lahan sawah mereka. Semangat para petani juga semakin tinggi dalam menjalankan pertanian ramah lingkungan.

Baca Juga: Ide Mengolah Limbah Fesyen Demi Cuan Dan Ramah Lingkungan

Kesadaran petani menggairahkan pengelolaan sampah organik di TPS3R tingkat desa. Semakin banyak kompos yang terserap pasar, dengan pembeli terbanyak adalah petani.

TPS3R di desa Taro misalnya, kini memiliki kapasitas pengolahan sampah organik hingga 15,4 ton per bulan. Volume sampah tersebut setara dengan 5.13 ton kompos yang siap dipanen pada tiga bulan kemudian. Pupuk kompos kemudian dijual seharga seribu rupiah per kg.

Sebelum kegiatan ini, petani di sekitar TPS3R sebenarnya mengetahui keberadaan fasilitas pengelolaan sampah organik. Namun, mereka tidak memanfaatkan pupuk organik di sawah mereka.

Selain menambah geliat pengelolaan sampah, pihak TPS3R khususnya di Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar juga merasakan ekspos publik yang lebih baik. Ini terutama oleh orang-orang yang tertarik berlatih pengelolaan kompos dan mempelajari pendekatan berbasis warga dalam pemilahan sampah di tingkat komunitas.

Tantangan ke depan

Ketergantungan dan preferensi petani untuk bertani dengan pupuk kimia masih tinggi. Perlu waktu dan keuletan dari para aktivis pertanian ramah lingkungan untuk mengubah kebiasaan ini.

Bahaya pestisida
Petani menyemprotkan cairan pestisida pada tanaman padi yang berusia 2,5 bulan, di Desa Branta Tinggi, Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur. (Saiful Bahri/Antara)

Di sisi riset, pengarusutamaan pertanian ramah lingkungan memerlukan riset aksi partisipatif. Sebab, selain berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, pendekatan ini juga mampu memberdayakan masyarakat.

Tantangan besar dalam mengembangkan pertanian organik biasanya terletak pada tahap inisiasi. Upaya memutus pemakaian pupuk kimia di tahap awal akan berpengaruh pada turunnya produksi pertanian. Namun, seiring berjalannya waktu, produksi akan semakin bertambah karena kualitas lahan membaik, sehingga pertanian organik mampu bersaing dengan nonorganik.

Sifat pupuk organik yang slow release atau melepaskan nutrisi secara perlahan ke lingkungan, akan menguji kesabaran dan keyakinan petani. Belum lagi, pupuk kimia lebih praktis dalam pengaplikasiannya. Tanaman juga terlihat lebih hijau sehingga petani organik mendapat sedikit tekanan mental dari petani non-organik karena tanamannya terlihat kurang hijau.

Baca Juga: Krisis Iklim di Depan Mata, Dunia Butuh Tokoh Fiksi Bergaya Ramah Lingkungan

Untuk mengatasi persoalan sampah melalui TPS3R, pertanian organik diperlukan untuk menyerap produk kompos. Selama ini, TPS3R memiliki kesulitan pemasaran karena belum terhubung dengan jejaring kelompok petani organik ataupun pegiat pertanian ramah lingkungan.

Pemerintahan desa berperan besar dalam menghubungkan dua hal ini. Kolaborasi antar pemerintah desa-TPS3R-kelompok tani organik sangat mungkin untuk tercipta. Kewajiban 20% alokasi dana desa untuk ketahanan pangan dapat dimanfaatkan.

Pertanian ramah lingkungan selayaknya didukung. Sebab, pangan sehat mendukung kesehatan masyarakat.

Sampah yang dikelola dengan baik juga membuat lingkungan lebih sehat dan nyaman. Usaha pengolahan sampah di tingkat desa juga dapat lebih berkelanjutan.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Levina Augusta dan Marcellinus Mandira

Peneliti Muda dan Madya di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!