Anak muda dan kelompok minoritas pada Pemilu 2024. Apatisme yang merambah di antara mereka harus lebih diperhatikan.

Dear Para Politikus, Apatisme Pemilu Menjalar ke Anak Muda dan Kelompok Minoritas

Apatisme pada Pemilu merambah di kalangan anak muda, juga ke kelompok minoritas. Apakah mereka akan menggunakan hak pilih di Pemilu 2024? Anak muda menganggap politik bukan sesuatu yang penting bagi hidup mereka.

Seorang waria muda yang bekerja sebagai perias salon di sebuah kecamatan, tiba-tiba banyak dihubungi oleh orang-orang dari partai politik (parpol) dan para politikus yang akan nyaleg.

Para politikus ini mengajaknya berkampanye biar partai mereka laku, dan mereka yang sedang mencalonkan diri di Pemilihan Umum (Pemilu) bisa terpilih.

Kenapa waria tersebut dipilih oleh orang-orang yang lagi nyaleg, yang biasanya alergi pada waria? Penyebabnya, karena waria atau transpuan tersebut termasuk orang yang paling beken di kecamatan itu. Tiap hari kerjanya merias orang dan ia termasuk satu-satunya perias di kecamatan itu. Ia sangat terkenal di sana. Maka, dirinya kemudian diajak kampanye karena dianggap sebagai figur yang bekerja dan aktif.

Tapi tahukah kamu jika waria ini sedang dimanfaatkan oleh orang-orang yang lagi nyaleg? Pasalnya, di hari-hari biasa yang bukan musim Pemilu, tak ada parpol yang mau membela waria. Kalau pun ada, hanya sedikit dan personal atau perseorangan saja yang sudah punya kesadaran tinggi memperjuangkan kemanusiaan.

Hartoyo dari Suara Kita, dalam acara 1st Kartini Conference on Feminisms (KCIF 2023) yang diadakan LETTS Talk, Padepokan Perempuan GAIA, dan Konde.co pada Sabtu, 22 Juli 2023, menunjukkan bahwa obyektifikasi seperti ini kerap terjadi pada transpuan atau waria. Di masa-masa tertentu, waria bisa dielu-elukan. Tapi di masa yang lain, dia bisa jadi obyek yang ditinggalkan oleh negara karena tidak dianggap sebagai warga negara.

2024 adalah tahun politik di Indonesia. Sama seperti lima tahun sebelumnya, negara ini akan memasuki masa Pemilu, menentukan bakal capres dan caleg. Di sisi lain, kekhawatiran mengenai penyempitan ruang demokrasi dan meluasnya polarisasi pun muncul.

Politik identitas kerap ‘dimainkan’ dalam kontestasi politik. Hal ini seringkali berdampak pada keberagaman gender dan seksualitas.

Baca Juga: Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik

“Faktanya, banyak politisi melihat peluang dari kondisi tersebut dan menggunakan sosok terkenal itu untuk mendulang suara. Masalah muncul ketika ia justru memberikan suara kepada orang yang tidak mendukung hak LGBTIQ, alih-alih pada pihak yang betul-betul memperjuangkan inklusivitas,” kata Hartoyo, mengeluhkan banyak orang yang asal memilih, hanya melihat sekilas wajah tanpa tahu mereka siapa.

Hartoyo pun berharap, komunitas LGBTIQ dapat bergerak sendiri alih-alih sekadar dimanfaatkan oleh politisi. Jaringan sosial adalah kekuatan komunitas yang bisa dikembangkan.

“Bangun kekuatan kultural di komunitas LGBT, cari jaringan untuk mengubah sebuah sistem sehingga ada posisi tawar,” katanya.

Ia percaya, ada orang-orang di DPR, personal-personal disana yang dapat diajak berbicara mengenai isu-isu arus utama berkaitan dengan kelompok LGBTIQ. Dengan demikian, perjuangan politik kelompok minoritas gender dapat terus berlanjut.

“Ada banyak juga orang yang dia mungkin tidak pernah ngomong. Tapi dia punya cara bagaimana memperjuangkan isu-isu yang lebih inklusif,” kata Hartoyo. “Proses perubahan itu, saya sangat yakin terjadi.”

Turunnya skor demokrasi di Indonesia tengah dikhawatirkan banyak pihak. Secara signifikan, hal ini telah menjadi sorotan sejak beberapa tahun terakhir. Laporan Indeks Demokrasi 2022 dari Economist Intelligence Unit menunjukkan, Indonesia berada pada peringkat ke-54 dari 167, termasuk dalam kategori ‘flawed democracy’. Angka tersebut berarti Indonesia turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

Generasi Muda, Rising Star dalam Pemilu

Selain kelompok minoritas, di tengah hiruk-pikuk Pemilu ini, bagaimana nasib anak-anak muda, karena jumlah pemilih muda di Indonesia lebih dari 50 persen? Rata-rata mereka main media sosial; ada kekhawatiran mereka tidak menggunakan hak pilih karena apatis.

Anak muda memang diketahui menjadi kelompok pemilih maupun calon pemilih terbanyak di kontestasi Pemilu 2024 mendatang. Pasalnya, lebih dari setengah penduduk Indonesia masuk ke kategori usia ini, dan rata-rata mereka adalah rising star. Hal tersebut diungkapkan oleh peneliti Populi Center, Nurul Fatin Afifah.

“Pemilih muda ini banyak sekali dilirik karena dianggap sebagai rising star atau primadona,” ujar Nurul.

“Karena jumlah generasi muda itu—setengah dari penduduk atau pemilih di Indonesia—itu lebih dari 50 persen adalah generasi muda.” 

Populi Center melakukan survei terhadap 1200 responden di seluruh Indonesia pada Juni 2023 lalu; 572 di antaranya kelompok pemilih muda. Generasi muda tersebut berasal dari gen Z dan generasi milenial, dengan rentang usia antara 17-39 tahun. Meski sama-sama lahir di era informasi digital, gen Z dipercaya lebih adaptif terhadap perubahan teknologi digital (digital native).

Survei menghasilkan sejumlah temuan. Salah satunya, baik generasi muda maupun tua sama-sama sepakat bahwa kekerasan terhadap perempuan masih sangat mengkhawatirkan. Namun, kelompok pemilih muda cenderung lebih modern memandang kesetaraan terkait kepemimpinan, pendidikan, dan pekerjaan domestik  bagi perempuan ketimbang kelompok pemilih tua.

Selain itu, dilakukan pula pembagian kelompok pemilih muda berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Rupanya terdapat perbedaan pandangan konservatif dan modern di antara keduanya. Terutama berkaitan dengan prioritas urusan rumah tangga.

Baca Juga: Aktivis Protes Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu, KPU Revisi Aturan Pemilu 2024

“Pemilih muda yang setuju bahwa urusan rumah tangga itu menjadi tanggung jawab perempuan, itu sebesar 53 persen,” jelas Nurul. “Sedangkan yang tidak setuju itu sebanyak 48,1 persen.”

Sedangkan terkait pendidikan, sebanyak 58,4 persen pemilih muda perempuan cenderung tidak setuju kalau pendidikan tinggi hanya diperlukan oleh laki-laki.

“Artinya di sini ada kesadaran bahwa pendidikan bisa mengubah nasib perempuan di antara pemilih muda perempuan ini,” Nurul melanjutkan.

Di sisi lain, baik pemilih muda maupun tua sama-sama setuju bahwa perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang sama di ranah politik. Hal itu mengacu pada kuota 30 persen bagi perempuan untuk duduk di kursi legislatif.

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa pemilih muda memiliki kekuatan dalam digitalisasi. Yang harus dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana cara mengarahkan generasi ini ke dalam Pemilu dan politik yang positif atau negatif. Sebab, generasi muda cenderung mudah terpengaruh oleh media sosial. Ditambah lagi, fenomena politik yang buruk kerap membuat anak muda masuk pada apatisme.

Apatisme terhadap Politik Praktis

Menanggapi hasil survei tersebut, dosen FISIP Universitas Jayabaya, Ambarwati, mengakui bahwa generasi muda memang lebih melek digital dan dapat memberi warna baru di kancah perpolitikan.

Namun apatisme juga sudah merambah di kalangan anak muda. Ini memunculkan pertanyaan: apakah mereka akan menggunakan hak pilih mereka di Pemilu 2024? Selain karena apatisme serta menganggap politik tidak penting bagi hidup mereka, berbagai fenomena yang banyak ditayangkan oleh media saat ini cenderung negatif dari para elit politik dan pejabat pemerintah.

Pemilu 2024 itu tidak ada bedanya dengan pemilupemilu sebelumnya,” ujar Ambarwati.

“Mungkin tadi ada kemungkinan tambahan suara baru dari generasi milenial yang melek digital. Tapi sebetulnya, secara prosedural, tidak terlalu banyak perbedaan. Apa lagi dari aspek perempuan dan feminis.”

Menurut Ambarwati, dirinya sudah mulai melihat dari berbagai poster, kandidat-kandidat perempuan di wilayah lokal sudah maju untuk mencalonkan diri di tingkat legislatif. Maka persoalan berikutnya muncul pada militansi pemilihan di kotak suara, terutama di tengah kecemasan mengenai apatisme.

Hartoyo juga menyuarakan kekhawatiran yang sama terkait apatisme dan pesimisme generasi muda terhadap politik praktis.

“Sebenarnya agak menjadi tantangan kita semua. Generasi Z, terutama untuk LGBT muda juga sama,” ungkap Hartoyo. “Mereka mungkin sangat pesimis. Dia terbuka, tapi dia enggak peduli pada politik praktis.”

Baca Juga: Dear Anak Muda, Waspadai Hoaks dan Ujaran Kebencian di Tiktok

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Fraksi PKB, Nihayatul Wafiroh, menyebut bahwa banyaknya pemilih muda saat ini membuat para partai politik gelagapan. Sebab, tampuk tertinggi perpolitikan di Indonesia masih orang yang itu-itu saja. Sehingga perubahan metode untuk mendekati dan merekrut anak muda menjadi tantangan.

Nihayatul juga menyoroti keengganan aktivis perempuan untuk terlibat dalam perjuangan di politik praktis.

“Begitu juga ketika kami jungkir balik mencari calon perempuan,” ungkap Nihayatul. “Tidak ada satu pun partai yang siap, ready 30 persen yang mencalonkan perempuan. Even partai besar.”

Sementara menurut aktivis feminis dari Padepokan Perempuan GAIA, Myra Diarsi, budaya politik berpengaruh atas apatisme dan kesulitan mencari caleg perempuan. Rupanya kesadaran berpolitik di kalangan perempuan juga masih rendah, berdasarkan pengalamannya mendampingi perempuan di akar rumput. Perempuan masih melihat diri sebagai makhluk dengan peran sosial saja.

“Mereka emoh. Di kepalanya enggak ada wacana kesadaran politik karena yang mereka anggap politik adalah politik praktis, politik elektoral,” ujar Myra. Maka, menurutnya, investasi pendidikan politik jadi penting.

Nihayatul pun berharap, anak-anak muda yang mencalonkan diri di legislatif pada Pemilu 2024 nanti berpikiran lebih terbuka.

“Di 2024 ini, saya pikir pasti akan lebih banyak caleg anak muda yang masuk ke DPR. Karena jumlah anak muda jauh lebih banyak sekarang, jadi pasti caleg anak muda juga banyak,” lanjutnya.

Peliputan ini mendapatkan dukungan dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!