Di Balik Viral Obrolan ‘Provider’ bareng Prilly Latuconsina, Ada Jebakan Maskulinitas Toksik

Sudah saatnya kita menjalani hubungan secara sehat dan setara. Komunikasi satu sama lain menjadi penting dalam pendistribusian peran yang tidak diskriminatif gender.

Belum lama ini, sebuah podcast di channel Youtube Bloom Media, memposting obrolan Prilly Latuconsina bersama beberapa anak muda. Mereka membincangkan seputar cinta, hubungan sampai sebetulnya juga soal promo film terbaru Prilly. 

Salah seorang pembawa acara, Bocoum, sempat menyinggung soal peran laki-laki dalam sebuah hubungan. Di sirkel pertemanannya, dia mengklaim, laki-laki banyak yang ‘dituntut’ dan jadi penyedia. Ketika pacar temannya melihat perempuan lain yang dibiayai oleh pacarnya, maka ia menuntut hal ‘yang sama’ kepada pasangannya. 

Di momen itu, Prilly pun memunculkan istilah ‘provider’ dalam hubungan. Berikut pernyataannya:

“Mungkin cowok itu juga bertindak sebagai ‘provider’, sekarang kalau misalnya ada cewek yang karir dan uangnya lebih banyak, cowoknya kan insecure juga. Tetap cowoknya pengen ngebiayain juga. 

Jadi sebenarnya itu dari sifat cowoknya juga. Cowoknya ngasih unjuk bahwa, gue ‘provider’ lu ya. Gua harus jadi kepala rumah tangga ya. Ketika dituntut untuk menjadi itu, komplain. Tapi giliran nggak bisa melakukan itu insecure, jadi cowok maunya apa?

Soalnya gue bingung banget, kayak misalnya ada cowok enggak dituntut untuk biayain, enggak dituntut apa, ceweknya mandiri, cari uang sendiri, cowoknya insecure. ‘Gue nggak bisa nih sama cewek ini, karena dia udah terlalu mandiri, gini, gini’. Tapi giliran gue menjadi apa yang cowok mau, gue menuntut suatu hal, beliin aku ini dong, itu dong, cowoknya merasa kebanyakan dituntut, jadi maunya apa.”

Pernyataan Prilly itu, kemudian menjadi perbincangan dan viral. Sampai menimbulkan reaksi dari netizen. 

Maskulinitas Toksik di Masyarakat Patriarki

Jika menyimak podcast yang hampir berdurasi 1 jam itu, sebetulnya ada hal yang penting yang tidak disebutkan dalam obrolan mereka. Yaitu, adanya maskulinitas toksik dinormalisasi di tengah masyarakat patriarki. 

Maskulinitas toksik ini, menggambarkan tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara-cara tertentu. Biasanya mereka dikaitkan dengan nilai-nilai (konstruksi sosial) yang dianggap harus ada pada diri seorang laki-laki. 

Baca Juga: Kecenderungan ‘Men vs Women’ Dalam Kesetaraan Gender Apakah Bisa Disudahi?

Dalam konteks laki-laki dalam hubungan, maskulinitas toksik itu bisa berupa ego menunjukkan kekuasaan dan kekuatan untuk bisa menjadi ‘pusat penyedia’ (provider). Jika mereka tidak bisa melakukan itu, maka ada anggapan laki-laki ‘lemah’ dan ‘kalah’. 

Seperti halnya namanya toksik, laki-laki juga pantang untuk menunjukkan ekspresi atau emosinya. Bahwa misalnya dia berkeberatan dengan tuntutan itu, atau saat ingin menegosiasikan dengan pasangan. 

Sikap maskulinitas toksik ini, juga tergambar dengan adanya anggapan laki-laki tidak boleh bersikap pasif dan lemah dalam hubungan. Sebab hal itu dianggap sebagai porsi perempuan seperti ‘dibayarin’, ‘ditraktir’, atau perspektif misoginis (merendahkan/membenci perempuan) bahwa perempuan hanya bisa menuntut.

Padahal, semestinya hubungan itu seharusnya berlaku setara. Laki-laki dan perempuan bisa saling berkomunikasi dan bekerja sama menjalin hubungan sehat. Tidak ada diskriminasi berbasis gender. 

Dampak Rusaknya Hubungan

Jika normalisasi terhadap maskulinitas toksik terus terjadi, itu bisa merusak hubungan. Kedua bisa dirugikan. 

Dr. Ronald Levant seorang psikolog pernah meneliti tentang Male Role Norms Inventory (MRNI) (1992) yang mempelajari bagaimana norma sosial maskulinitas memengaruhi individu, terutama laki-laki.

Dia menemukan ada 7 indikator MRNI untuk menganalisis keyakinan individu mengenai norma-norma gender laki-laki. Tujuh indikator ini adalah: menghindari femininitas, tidak menunjukkan ekspresi, agresi, mengejar prestasi/status, dituntut untuk mandiri, sikap homofobia dan dominasi dalam hubungan seksual. 

Parameter ini telah digunakan dalam berbagai penelitian untuk mengkaji hubungan antara ideologi ‘maskulinitas tradisional’ (maskulinitas toksik–red) dengan berbagai hasil, seperti kesehatan mental dan fisik laki-laki, kepuasan hubungan, dan penyebab terjadinya kekerasan. 

Hasil dari MRNI ini disebut dengan measures of traditional masculinity ideology (TMI) atau ideologi maskulinitas tradisional (toksik). 

TMI dari penelitian ini, menunjukkan adanya keterkaitan hubungan antara MRNI ini dan kepuasan dalam hubungan. Laki-laki yang memiliki keyakinan maskulinitas tradisional cenderung melaporkan tingkat kepuasan dalam hubungan yang lebih rendah. 

Baca Juga: Man Box, Laki-Laki Juga Terkena Toxic Masculinity di Dunia Kerja

Hal itu bisa disebabkan oleh ideologi ‘maskulinitas tradisional’ (toksik) yang dapat menyebabkan perilaku yang merugikan hubungan. Seperti, laki-laki dilarang menunjukkan ekspresi, bersikap agresif, dan keinginan untuk mengontrol pasangan.

Semakin tinggi nilai MRNI responden, hubungannya mengalami ketidakpuasan. Ini ditunjukkan dalam perilaku yang merugikan hubungan mereka, seperti berteriak pada pasangan, menghina, dan mengancam untuk pergi. Hingga menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam hubungan.

Penelitian yang sudah lama dilakukan di kisaran 90-an lalu, masih relevan untuk melihat fenomena yang ada dalam hubungan pasangan hari ini. Sebagaimana yang dibincangkan oleh Prilly dan teman-temannya. 

Meski begitu, kita bisa belajar untuk menerapkan konstruksi hubungan yang sehat dan setara. Tidak melanggengkan maskulinitas toksik dan juga misoginisme terhadap perempuan. 

Mulailah menjalani hubungan dengan pasangan secara jujur dan saling terbuka. Serta menghempas konstruksi patriarki dalam hubungan yang bisa merugikan satu sama lain. Semangat!

(Sumber Foto: Bloom Media)

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!