Film Barbie

Film ‘Barbie’ Mengusung Isu Feminisme dan Menangkal Stereotipe Perempuan

Dengan warna pink di mana-mana dan adegan-adegan musikal, film ‘Barbie’ yang sedang ramai dibicarakan ini, justru menyuguhkan lebih dari sekadar nostalgia mainan masa kecil. Barbie yang satu ini depresi, mengalami krisis eksistensial. Film Barbie telah berubah jadi film feminis.

Keluar dari Barbie Land, Barbie menyadari bahwa dunia nyata amat patriarkis dan anak-anak perempuan tidak bahagia karena dirinya.

Di tangan Greta Gerwig, pembuat film ini, film ‘Barbie’ menjelma sebagai film feminisme satir—sekaligus otokritik terhadap produk dan perusahaan Mattel yang memproduksi boneka Barbie pertama kali. 

Film ‘Barbie’ dibuka dengan pemandangan anak-anak perempuan yang sedang bermain boneka. Narasi yang mengiringinya bilang, dulu anak perempuan cuma bisa memainkan boneka bayi, sebab mereka hanya diharapkan untuk belajar mengasuh dan menjadi ibu di masa depan. 

Lalu sebuah boneka besar dengan baju renang hitam-putih muncul di tengah mereka—ia hidup dan mengedipkan mata. Ialah Barbie (Margot Robbie).

Awalnya, gagasan tentang boneka dewasa Barbie muncul di benak pembuatnya, Ruth Handler, saat ia melihat anaknya bermain boneka kertas. Suatu hari, Ruth melihat boneka Bild Lilli di sebuah toko di Jerman. Ia pun terinspirasi untuk membuat boneka dewasa yang kemudian diproduksi Mattel, perusahaan yang didirikan Elliot, suaminya Ruth. Boneka ciptaan Ruth itu dinamai Barbie, yang diambil dari nama anaknya, Barbara.

Di Barbie Land, rumah Barbie tak berdinding dan tak berjendela. Ia bisa menyapa Barbie lain di sekitarnya setiap pagi, setiap hari. Para Barbie menggelar ‘malam perempuan’ yang menyenangkan setiap malam, setiap hari. Di sana, semua orang menyapa Barbie dengan ramah. “Hai, Barbie!” Mereka pun saling menghargai, meski sesekali Ken (Ryan Gosling) menganggap Ken (Simu Liu) sebagai saingan.

Barbie yang Tidak ‘Stereotipikal’

Kita pasti familier dengan stereotipe karakter yang pernah dimunculkan Barbie—berambut pirang, selalu tersenyum, mata biru, kulit mulus, tubuh langsing, kaki berjinjit. 

Hal yang sama juga didapati pada karakter Ken, pasangan Barbie, dengan wajah tegas dan tubuh kekarnya.

Stereotipe karakter Barbie sudah sejak lama menimbulkan kontroversi. Produk Barbie yang seakan membentuk standar kecantikan perempuan di dunia, memicu protes dan pertentangan sengit seiring berjalannya waktu. Bahkan meski Mattel mulai berinovasi dengan menciptakan produk boneka Barbie dan Ken yang lebih multikultural, boneka ‘stereotipikal’ mereka akan selalu jadi ciri khas produk Barbie. 

Tapi di film ‘Barbie’ ini, pada suatu hari, Barbie memikirkan tentang kematian. Ternyata bukan hal yang selintas lalu; pikiran itu awal dari kekacauan hidup Barbie. Ia tidak bisa tidur, bangun dengan napas tak segar, air mandinya terlalu dingin, susu yang diminumnya kedaluwarsa, rotinya gosong. Ia bahkan tidak bisa melayang turun dari kamarnya ke mobil. Yang terburuk, tiba-tiba Barbie mendapati telapak kakinya kini sepenuhnya menapak tanah. Dia bahkan punya selulit di paha yang mestinya mulus. Ia bukan lagi Barbie stereotipikal. Ada yang salah pada dirinya.

Si Barbie panik. Atas anjuran Barbie Aneh, Barbie pergi ke Dunia Nyata, menemui anak yang memainkannya. Sebab, menurut Barbie Aneh, jiwa Barbie dan anak itu jadi menyatu. Hal yang terjadi pada Barbie adalah sesuatu yang dibayangkan oleh si anak, maka ia harus menghentikannya agar dapat kembali jadi stereotipikal. 

Barbie pun memulai petualangannya ke dunia nyata—bersama Ken, secara tak terduga.

‘Menelanjangi’ Patriarki dan Feminisme

Stereotipe Barbie dimentahkan habis-habisan saat Barbie menemui Sasha, sesosok anak perempuan yang ia kira adalah orang yang memainkannya. 

Sasha anak yang skeptis dan blak-blakan. Ia menyebut Barbie, “kapitalis dan fasis,” serta hanya berkedok feminis, tidak sungguh-sungguh peduli pada perempuan. Sebab, akibat kemunculan Barbie, semua anak perempuan jadi dituntut untuk berpenampilan seperti boneka itu: cantik dan sempurna. 

Barbie juga tidak dibuat untuk perempuan dari budaya yang berbeda seperti dirinya. Sasha tidak peduli saat Barbie sedih dan sakit hati atas pernyataannya, karena memang itulah yang ia rasakan sebagai anak perempuan. 

Baru setelah Barbie bertemu dengan Gloria—ibu Sasha, sekaligus perempuan yang pernah memainkan Barbie—krisis eksistensialismenya mulai mereda.

Dalam film ‘Barbie’ ini, Greta Gerwig mengangkat isu utama terkait boneka Barbie yang menjadi perdebatan sejak lama. Para penonton—juga Mattel, perusahaan produsen Barbie—mau tidak mau harus mengakui bahwa boneka Barbie, pada akhirnya, justru kerap membuat perempuan lebih sengsara alih-alih termotivasi dan gembira. Bukannya mengiringi feminisme, Barbie justru menjadi awal munculnya konstruksi standar kecantikan baru bagi perempuan. Ia gagal mewakili impian anak-anak perempuan yang tidak berambut pirang, berkulit putih, bermata biru, bertubuh semampai, dan berkulit mulus. Film ‘Barbie’ pun menjadi ajang ‘pengakuan dosa’ Barbie versi Mattel.

Baca juga: Butet Manurung Jadi Model Boneka Barbie: Kita Butuh Cara Modern untuk Angkat Isu Masyarakat Adat

Di sisi lain, ada ekspektasi yang terbukti saat menonton film karya sang sutradara feminis. Greta Gerwig menggarap film ‘Barbie’ dengan cara yang lucu sekaligus miris. Dalam film ini, ia menampilkan realitas dunia patriarki sesederhana sekaligus se’telanjang’ mungkin.

Dunia Barbie (Barbie World atau Barbie Land) di film ‘Barbie’ tampak persis seperti deskripsinya pada lirik lagu ‘Barbie Girl’ yang dinyanyikan Aqua: hidup ‘fantastis’ di dalam ‘plastik’. Tidak ada air sungguhan, makanan sungguhan, mesin sungguhan. Barbie bangun pagi dengan tersenyum dan rambut tergerai rapi. Dekorasi dan pemandangan di Barbie Land manis dan indah, tapi semuanya plastik saja. 

Film ‘Barbie’ kali ini disutradarai oleh Greta Gerwig, sutradara perempuan feminis yang juga membuat film ‘Little Women’. Ini membuat banyak orang mengantisipasi nilai-nilai feminis yang sangat mungkin muncul di film tersebut. Tidak sedikit pula yang skeptis, sebab boneka Barbie juga identik dengan konstruksi stereotipe perempuan ideal sejak kemunculannya.

Ketika Barbie dan Ken tiba di dunia nyata, mereka menghadapi berbagai situasi yang tidak biasa—sekaligus amat biasa bagi para penonton. Orang-orang menatap dan menertawakan pakaian Barbie dan Ken. Para laki-laki melontarkan candaan seksis hingga menyentuh tubuh Barbie dengan kurang ajar. Tidak seperti di Barbie Land, semua tempat yang Barbie datangi didominasi oleh laki-laki. Tak ada pemimpin perempuan, bahkan pekerja perempuan, di sekitarnya.

Baca juga: Little Women: Perempuan Berhak Hidup atas Pilihannya Sendiri

Tapi Barbie dan Ken merasakan hal berbeda saat semua itu terjadi. Bagi Barbie, semua orang hanya menatapnya. Hal itu, serta perlakuan mereka terhadapnya, membuatnya tidak nyaman. Ke mana para perempuan? Kenapa tidak ada tukang bangunan perempuan? Kenapa tak ada yang memuji pakaiannya dan justru melontarkan lelucon seksis yang membuatnya risih, meski—seperti yang Barbie katakan—ia tak punya vagina dan Ken tak punya penis (tapi Ken mengaku punya)?

Namun bagi Ken, perhatian orang-orang tertuju padanya, dan itu justru membuatnya senang. Laki-laki ada di mana-mana, dan itu membuatnya bangga. Perempuan tak penting, dan itu membuat harga dirinya naik. Ken melihat laki-laki menunggangi kuda, memakai jas, dan menekuni olahraga; ia belajar bahwa itu adalah patriarki. Ken pun membawa dirinya mempelajari patriarki, sebab ia ingin jadi sosok ‘keren’ dan punya ‘kuasa’.

Greta Gerwig mengupas fenomena patriarki dan seksisme di dunia nyata lewat pengalaman Barbie dan Ken. Barbie menyadari bahwa perempuan senantiasa tertindas dan tidak bahagia di dunia nyata. Ia dibawa ke kantor Mattel dan melihat bahwa, bahkan perusahaan tempat boneka perempuan dibuat pun, terdiri dari jajaran direksi yang semuanya merupakan laki-laki. Di sana pula, CEO Mattel mati-matian berusaha membela diri dengan mengatakan bahwa dirinya mendukung feminisme. “Aku sungguh peduli pada perempuan. Aku adalah anak dari ibuku, cucu dari nenekku, keponakan dari bibiku,” dan seterusnya.

Baca juga: Dunia Harus Dipimpin Perempuan Ketika Diplomasi Negara Gagal Dilakukan Laki-laki 

Kenyataan seperti itu juga ada di sekitar kita, banyak sekali. Berbagai industri dan lembaga mengaku mendukung perempuan, memberikan hak untuk perempuan. Tapi posisi strategis pengambil keputusan tetap diduduki oleh laki-laki. Lantas apa artinya emansipasi bila tidak ada perempuan di kursi kepemimpinan? Apa artinya bila ‘feminisme’ yang digadang-gadang itu hanya muncul untuk menyokong agenda kapitalisme?

Sementara itu, hal yang disaksikan Ken di dunia nyata juga membongkar fakta patriarki secara kocak sekaligus ironis. Ken belajar bahwa di dunia nyata, ia bisa menjadi lebih dari ‘sekadar’ Ken. Patriarki membuatnya tak butuh kehadiran Barbie untuk mengukuhkan eksistensi dirinya. Ia laki-laki, setidaknya secara gender sosial. 

Patriarki membentuk pola pikir Ken bahwa perempuan, seperti Barbie, tidak begitu penting. Seharusnya perempuan ada untuk melayani dan tunduk padanya. Ken kembali ke Barbie Land tanpa Barbie, membawa pengetahuan dangkal namun destruktif tentang patriarki dan mengubah dunia utopis itu menjadi ‘Ken-dom’—Kerajaan Ken (Ken’s Kingdom), demi memenuhi kebutuhan eksistensialnya.

Kesetaraan Gender

Usai membongkar habis-habisan feminisme Barbie dan patriarki di dunia nyata, penonton diajak untuk membangun ulang perspektif. Benarkah girl power di Barbie Land harus terus berlangsung, meski Ken dinomorduakan? Benarkah seharusnya dunia itu menjadi Ken-dom, dengan membiarkan Ken menindas Barbie? Jangan-jangan, yang dibutuhkan adalah kesetaraan gender.

Aku maklum jika Greta Gerwig punya tujuan yang hanya diketahuinya sendiri, saat membuat film ‘Barbie’ ini. Namun sebagai penonton, aku jadi menyadari satu hal. Sepertinya yang kita butuhkan di dunia ini adalah keseimbangan. Bukan Barbie yang mendominasi, atau Ken (sayangnya, yang satu ini memang sedang terjadi).

Dunia yang ideal terwujud ketika Barbie dan Ken saling menghargai, serta menerima bahwa hidup tak selamanya indah bagi masing-masing. Barbie dan Ken sama-sama bisa merasa lemah dan terpuruk, sekaligus punya nilai dan kebanggaan pada diri sendiri.

Tentu saja Barbie boleh menjadi apa saja, lebih tinggi dari posisi Ken sekali pun. Tentu saja Ken adalah sosok yang berarti meski tanpa pengakuan Barbie. Anak-anak perempuan tak mesti persis menjadi seperti Barbie. Pasalnya, Barbie lebih dari sekadar boneka cantik bertubuh langsing. Bukan Ken atau Barbie yang mestinya dimusuhi. Sebab musuh yang sebenar-benarnya bagi kita adalah patriarki

Mudah-mudahan—tidak seperti Barbie Land yang ‘imajinatif’ dan ‘kreasi hidup’ belaka—dunia ideal yang tidak patriarkal dan menjunjung kesetaraan gender bisa terwujud, tidak berhenti pada gagasan semata.

Sumber foto: tangkapan layar teaser trailer ‘Barbie’ (Youtube Warner Bros Pictures)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!