sawit

‘Kami Perempuan Tulang Punggung Keluarga’ Buruh Sawit di Sumsel Butuh Perlindungan

Perempuan di sektor perkebunan sawit seringkali diabaikan. Mereka minim dapat perlindungan dan rentan mendapat pelecehan.

Siti Roaini, merasa tertipu dengan janji manis perusahaan sawit. Perempuan buruh perkebunan sawit di Sumatera Selatan (Sumsel) itu, kena bujuk rayu untuk menyerahkan lahan pertaniannya jadi kebun sawit. Padahal dulunya, dia bersama warga setempat punya tanaman hutan, kopi, karet, durian bahkan ladang padi. 

Dengan berladang itu, warga memang hidup secara sederhana. Namun, cukup sekadar untuk kebutuhan sehari-hari dari hasil pertanian. 

Namun kemudian, perusahaan sawit datang menjanjikan warga bisa hidup lebih sejahtera. Mereka pun berjanji bakal mempekerjakan warga sekitar. Asal warga mau menjual perkebunannya. Harganya saat itu terbilang murah, mulai Rp 5 juta per hektar. 

“Tapi setelah masuk kerja, kami bukan dipekerjakan oleh perusahaan tapi oleh pihak ketiga (outsourcing),” ujar Roaini dalam diskusi tematik ‘Perempuan di Sekitar Perkebunan Sawit’, Jumat (16/6). 

Penggunaan pihak ketiga itu, berdampak langsung terhadap para buruh perkebunan sawit. Mereka diupah lebih kecil, minim jaminan perlindungan dan mudah diputus kerja. Meski begitu, mereka justru mendapatkan target bekerja yang tinggi. 

Para buruh penebas, mereka harus menyelesaikan 1 hektar per orang. Pemupuk ditargetkan bisa menyelesaikan 500 kg, penyemprot ditarget 4 hektar per hari dan pemanen bisa memanen sawit di lahan seluas 2,5 hektar per hari. 

“Kalau kita tidak capai target, kita kena sanksi. Kena teguran dari perusahaan,” lanjutnya. 

Perempuan Tulang Punggung Keluarga, Hak Reproduksi Tak Dipenuhi

Roaini bekerja seminggu penuh kecuali hari Minggu. Upah yang diterima relatif, tergantung pekerjaan yang dihasilkan. Jika tidak dipotong karena alasan tertentu, Ia bisa mendapat sekitar Rp 3,5 juta per bulan. 

Baginya yang harus menjadi tulang punggung keluarga, karena menghidupi 2 anak dan suaminya, jumlah itu tidak cukup. Namun, mesti bisa dia cukup-cukupkan. 

“Kami perempuan jadi tulang punggung keluarga, karena banyaknya pekerja (termasuk laki-laki seperti suaminya–red) di PHK oleh pihak ketiga,” jelasnya. 

Situasi kerja di perkebunan sawit, kata Roaini, juga cukup memprihatinkan. Minim alat pelindung diri (APD), buruh harus membeli sendiri alat kerjanya seperti alat tebas, tidak ada kesediaan air bersih, dan tidak ada cek kesehatan rutin dan vitamin. 

Di situ, hak reproduksi perempuan pun juga tak dipenuhi. Seperti, cuti haid. Selain itu, pelecehan seksual juga banyak terjadi terhadap para buruh perempuan di perkebunan sawit ini. 

Dia menekankan, pentingnya upaya serius untuk mengatasi persoalan buruh perempuan di perkebunan sawit. Termasuk soal kekerasan seksual yang tak adanya penanganan trauma bagi korban. 

“Kami berharap kepada pemerintah, khususnya kepada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) agar dapat memahami dampak-dampak di perkebunan sawit di Indonesia. Dan bisa menekan kepada Dinas Ketenagakerjaan di provinsi dan daerah, agar bisa menekan pihak perusahaan untuk mengikuti aturan UU RI,” kata dia. 

Pengabaian Perempuan Buruh di Kebun Sawit 

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM di Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan, perempuan di sektor perkebunan sawit seringkali dianggap tidak ada. Mereka diabaikan, padahal produksinya justru dipengaruhi oleh keberadaan para buruh perempuan. Merekalah yang banyak membantu menyemprot dan memanen. 

Pelanggengan subordinasi terhadap perempuan juga kian kentara. Mereka seringkali hanya dianggap sebagai ‘pembantu’ atau ‘asisten’ dari suaminya yang bekerja jadi buruh di perkebunan. Padahal realitasnya, perempuanlah yang justru banyak harus menanggung nafkah keluarga. Akibat PHK dari pihak ketiga perusahaan. 

“Status buruh perempuan di perkebunan sawit adalah buruh harian lepas (BHL). Direkrut tanpa kontrak kerja dan tidak mendapatkan akses BPJS di lingkungan kerja yang sangat berbahaya,” kata Anis. 

Menyoal itu, Anis menekankan, pemerintah perlu mengintegrasikan perspektif yang adil gender bagi perempuan. Serta bersifat inklusif dalam instrumen pengawasan ketenagakerjaan. Maka dari itu, investigasi terkait kondisi perempuan di perkebunan sawit perlu dilakukan secara komprehensif. 

Baca juga: Kondisi Buruh Perempuan Sawit: Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Upah Yang Mereka Alami

Dia kemudian menyerukan agar adanya sejumlah upaya. Termasuk membangun mekanisme pelaporan pelanggaran kerja terhadap buruh perempuan di sawit. Seperti, call center dan layanan cepat untuk kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender. 

Akademisi Universitas Indonesia, Hariati Sinaga menambahkan, akses perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja juga perlu disediakan secara layak dan memadai. Sebab sejauh ini, masih banyak ditemukan buruh perempuan di kebun sawit yang dihadapkan kondisi memprihatinkan. 

Mulai dari relasi kuasa yang timpang, pengingkaran janji manis kehidupan lebih layak, tidak terpenuhinya hak reproduksi, hingga ancaman penyakit kronis. Diakibatkan, efek paparan pupuk dan zat kimia dalam jangka waktu lama. 

Respons Pemerintah 

Terkait kasus kekerasan terhadap buruh terutama perempuan di perkebunan sawit, pemerintah mengklaim sudah menyiapkan aturan. 

Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Tenaga Kerja, Dinar Titus Jogaswitani, mengatakan bahwa Menaker pada 1 Juni 2023 lalu, sudah membuat Keputusan Menaker No 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. 

Menurutnya, pelecehan seksual adalah tindakan yang tidak dapat ditoleransi. Sehingga, penting adanya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. 

Untuk mengurangi kasus kekerasan seksual, Kemnaker mewajibkan adanya satuan gugus tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. Korban atau pendamping korban bisa melaporkan tindakan kekerasan seksual secara daring maupun luring kepada Satgas yang dibentuk perusahaan, Disnaker setempat, Kemnaker atau kepolisian. 

“Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan para pimpinan, bahkan karyawan ialah melaksanakan edukasi kepada para pihak di tempat kerja, meningkatkan kesadaran diri, menyediakan sarana yang memadai serta mempublikasikan gerakan anti kekerasan seksual,” terangnya. 

Dia melanjutkan, pemerintah juga telah mendorong perusahaan menyediakan fasilitas kesejahteraan bagi buruh. Keikutsertaan buruh dalam BPJS juga bersifat wajib, sesuai dengan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, maka perusahaan juga harus menyediakannya bagi tiap buruhnya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!