Mudah diidentifikasi sebagai individu yang bertransisi, tak jarang seorang waria atau transpuan mengalami perundungan atau bullying terus-menerus.
Transpuan kerap menjadi identitas yang subordinat dan tidak diperhitungkan dalam spektrum keberagaman seksual. Bahkan, transpuan masih mengalami peminggiran dalam perjuangan perempuan.
Banyak catatan mengenai perundungan dan kekerasan yang terjadi pada transpuan. Mulai dari kecurigaan masyarakat yang masih mempertanyakan pakaian dan cara berekspresi transpuan, pelecehan seksual yang masih marak terjadi, hingga pembunuhan transpuan—seperti kasus pembakaran transpuan bernama Mira pada tahun 2020 silam.
Tidak hanya di wilayah publik, hal tersebut juga menggerogoti wilayah personal. Salah satunya, ketimpangan pengetahuan akibat akses yang kerap kali tidak didapatkan transpuan secara kolektif.
Gerak, tinampil, karier, dan berbagai hal yang dilakukan transpuan pun masih dipandang dengan bias oleh masyarakat. Bias tersebut berakar pada tatanan norma susila dan teologi, yang menyudutkan identitas transpuan. Akibat bias identitas itu, transpuan masih terus mengalami kekerasan verbal.
Tubuh yang Ditolak
Perjuangan inklusivitas bagi transpuan menjadi salah satu tantangan besar, baik secara personal maupun komunal. Ketika kolektif transpuan berinisiatif untuk inklusif, mereka masih dihadapkan dengan penolakan masyarakat setempat.
Alasan yang dipakai secara umum adalah alasan personal yang menunjuk pada cara berpakaian, berdandan, dan cara-cara transpuan memakai benda yang menempel pada tubuh.
Tubuh transpuan menjadi sasaran objek, menjadi perbincangan hangat di mata masyarakat awam dan menimbulkan banyak asumsi. Kesalahpahaman mendasar yang menjadi akar persoalan tubuh transpuan dilihat sebagai tubuh laki-laki yang memakai benda dan alat aksesori perempuan. Itu dilihat sebagai bentuk keanehan. Persoalan tubuh memang sepenuhnya berasal dari jiwa yang mendiami tubuh.
Energi kosmologi yang berada dalam tubuh itu sendiri sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, mulai dari kekerasan verbal hingga perkosaan.
Baca juga: ‘Lubang Kelam(in)’ Tuliskan Pengalaman Tubuh Yang Disembunyikan Karena Dianggap Tabu
Ketika tubuh transpuan bertransisi, ia menghadapi banyak silang internal permasalahan yang berlapis-lapis. Tubuh itu berhadapan dengan teologi agama, lingkungan masyarakat, asumsi masyarakat, dan yang paling personal adalah ranah keluarga.
Transpuan secara tidak sadar dan sadar telah menjalani berbagai kesulitan ini terus –menerus, bisa dikatakan sepanjang hidupnya. Transpuan sendiri sudah mengalami pemikiran bentuk “ideal” tubuh perempuan. Maka rata-rata mereka mewujudkannya melalui terapi hormonal hingga operasi pengangkatan kelamin.
Di Indonesia prosedurnya lumayan panjang dan untuk penggantian identitas masih diperbolehkan; secara aktual penggantian nama dan beberapa dokumen ijazah. Transpuan juga menghadapi banyak ketertindasan secara sistemik lewat asumsi-asumsi keliru. Seperti memposisikan mereka seperti jenis laki-laki.
Dan menganggap perempuan yang bertransisi seperti transpuan belum selesai dengan hidupnya acap kali kecurigaan yang menjurus kepada serangan psikis terjadi dengan menyebut identitas transpuan adalah “liyan yang gila.”
Penghinaan paling kejam dan menyakitkan adalah menganggap transpuan melanggar kodrat, berimajinasi mengada-ada hingga masih di stigma pada kategori gangguan jiwa.
Stop ini semua, tubuh transpuan bukan obyek dari pandangan keanehan.