LGBTQ

Uganda Kena Sanksi AS karena Sahkan UU Anti-LGBTQ yang Melanggar HAM

Pemerintah Uganda dikecam karena melegalkan Undang-Undang Anti-Homoseksual. Menilai hal itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), Amerika Serikat pun menjatuhkan sanksi bagi Uganda.

Berbagai pihak juga meradang akibat penetapan undang-undang yang mengancam kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) tersebut.

Amerika Serikat mempertimbangkan sanksi-sanksi seperti pembatasan visa perjalanan ke negara tersebut bagi sejumlah pejabat Uganda, serta menghentikan bantuan untuk Uganda. Hal ini dipicu oleh pengesahan Undang-Undang Anti-Homoseksualitas oleh pemerintah Uganda baru-baru ini, yang mendiskriminasi kelompok LGBTQ dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Pada 29 Mei 2023, Presiden Uganda Yoweri Museveni menandatangani Undang-Undang Anti-Homoseksualitas. Melansir dari Al Jazeera, undang-undang tersebut dipandang sebagai salah satu kebijakan anti-homoseksualitas paling ‘kejam’ di dunia dan menuai kritik di tingkat internasional. 

Di sisi lain, para pembuat kebijakan di Uganda membela diri dengan mengatakan bahwa itu adalah upaya mereka untuk, “melindungi nilai-nilai Uganda dari asusila Barat,” seperti dikutip dari Al Jazeera.

Sanksi Berat Terhadap LGBTQ di Uganda

Presiden Uganda Yoweri Museveni menyebut hubungan sesama jenis sebagai ‘penyimpangan dari yang normal’ dan mendesak para pembuat kebijakan untuk melawan tekanan ‘imperialis’. Hal itu pula yang mendorong pengesahan UU Anti-Homoseksualitas di Uganda.

Sebelumnya, hubungan sesama jenis ditetapkan ilegal di Uganda dan lebih dari 30 negara lainnya di Afrika. Ini berawal dari kebijakan di era kolonialisme Inggris, yang mengkriminalisasi aktivitas seksual ‘melawan kodrat alam’. 

Inggris sendiri berubah haluan dan mengakui hubungan sesama jenis di tahun 1967. Namun, masih banyak negara koloninya yang tidak mewarisi perubahan hukum tersebut, sehingga masih melihat LGBTQ sebagai ‘perilaku’ ilegal. Di Uganda, kelompok LGBTQ kerap menghadapi kekerasan oleh pasukan keamanan.

UU Anti-Homoseksualitas yang baru disahkan Uganda memang tidak lantas mengkriminalisasi seseorang saat mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ. Akan tetapi, peraturan tersebut tetap berdampak serius pada kelompok LGBTQ, sebab sanksi berat telah ditetapkan atas sejumlah ‘perilaku’ lainnya. Salah satunya, ‘mempromosikan’ homoseksualitas akan dijerat dengan 20 tahun penjara. ‘Terlibat dalam aktivitas seksual sesama jenis’ dapat membuat seseorang dipidana penjara seumur hidup, bahkan hingga dihukum mati.

Selain itu, kebijakan terbaru ini menjatuhkan sanksi atas penularan HIV melalui hubungan seks sesama jenis. Sanksi tersebut tidak membedakan penularan HIV yang disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu berbeda dari peraturan sebelumnya, yang hanya menghukum penularan HIV secara sengaja dan mengecualikan situasi ketika orang yang terinfeksi mengetahui status HIV pasangan seksualnya. Jadi sekarang, seseorang akan tetap dihukum meski penularan terjadi secara sengaja maupun tidak disengaja. 

Selain membahayakan kelompok LGBTQ, Undang-Undang Anti-Homoseksualitas di Uganda juga menetapkan denda bagi media dan organisasi non-pemerintah yang mempromosikan aktivitas LGBTQ. Pemberitaan yang condong pada LGBTQ serta advokasi bagi kelompok LGBTQ pun dilarang secara hukum di salah satu negara di Afrika Timur itu.

Kecaman Masyarakat dan Negara-Negara Luar

Sebagian masyarakat Uganda, terutama komunitas LGBTQ dan aktivis HAM, pun meradang atas penetapan kebijakan diskriminatif tersebut. Melansir dari Reuters, mereka mengatakan perubahan undang-undang itu tidak berguna. Mereka juga menyebut praktik undang-undang homofobik tersebut ‘seperti Apartheid’.

“Presiden Uganda hari ini telah mengesahkan homofobia dan transfobia yang didukung oleh negara,” ujar aktivis HAM Uganda, Clare Byarugaba, seperti dilansir dari Reuters pada 30 Mei 2023.

Para aktivis menilai, UU Anti-Homoseksualitas adalah tanda bahwa negara justru semakin mendukung pelanggengan kekerasan terhadap minoritas seksual. Akan semakin banyak gelombang penangkapan, pengusiran, dan pengepungan akibat ketentuan tersebut.

“Kebijakan ini adalah pengulangan dari undang-undang yang telah ada, hanya saja yang satu ini satu derajat lebih tinggi dalam melegalkan kebencian, homofobia, transfobia, dan alienasi atas salah satu golongan rakyat Uganda,” kata aktivis HAM lainnya, Pepe Julian Onziema, melansir dari Al Jazeera pada 29 Mei 2023.

Lanjut Onziema, “Hal itu telah memantik macam-macam trauma dari banyak anggota komunitas LGBTQ yang telah menghadapi kekerasan; bahkan sebelum kebijakan ini dan keseluruhan penyerahan peraturan ini, sudah terjadi kekerasan. Ini telah menyebabkan banyak sekali paranoia, ketakutan, dan orang-orang mengenang kembali trauma dari apa yang yang dimaksud ini.”

Baca juga: Ramai di Medsos Soal Tulisan ‘Jalan Tobat LGBT’: Kegagalan Media Memandang Hak Minoritas

Organisasi lokal Human Rights Awareness and Promotion Forum serta beberapa individu lainnya pun mengajukan komplain atas undang-undang tersebut ke mahkamah konstitusi.

Kebijakan di Uganda juga lantas memicu reaksi negatif dari pemerintah, pebisnis, dan aktivis HAM di berbagai negara Barat. Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menyebut pengesahan Undang-Undang Anti-Homoseksualitas di Uganda sebagai, “Pelanggaran tragis terhadap hak asasi manusia.” 

Amerika Serikat pun mempertimbangkan sanksi untuk ditimpakan pada Uganda, salah satunya larangan masuk ke Amerika Serikat bagi sejumlah pejabat Uganda. Hal itu karena Uganda, menurut Biden, ‘terlibat dalam pelanggaran HAM berat’.

Selain larangan perjalanan, Uganda terancam kehilangan banyak donor dan investor, termasuk Amerika Serikat. Uganda sejauh ini menerima bantuan hingga milyaran Dollar AS per tahun, dan mereka mungkin akan kehilangan hal itu jika tetap ngotot dengan UU Anti-Homoseksualitas yang dikecam negara-negara donor di Barat. 

Ini pernah terjadi di tahun 2014, ketika undang-undang yang agak lebih longgar terkait anti-LGBTQ di negara tersebut sempat disahkan dan menuai protes. Hal itu membuat para pemerintah negara-negara Barat menghentikan bantuan dan menetapkan pembatasan perjalanan untuk Uganda, sehingga akhirnya pengadilan domestik Uganda menganulir kebijakan tersebut. Sayangnya, homofobia negara kembali hadir dan merepresi komunitas LGBTQ di Uganda secara sistemik, khususnya tahun ini.

Kondisi yang terjadi di Uganda, sayangnya, juga lebih-kurang masih terjadi di banyak negara konservatif lainnya. Yang perlu diingat, seharusnya pemerintah memenuhi hak asasi manusia dan menjamin keamanan warga negaranya, alih-alih melanggengkan praktik kekerasan terhadap rakyat. Jangan sampai pemerintah justru merepresi warga negara dan merampas hak asasi manusia, atas nama negara.

Sumber foto : Al Jazeera

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!