Mereka bergerak dari pinggiran, jauh dari hingar-bingar perbincangan.
Konde.co memilih 6 perempuan muda marjinal yang dalam kondisi merdeka atau tidak merdeka, tetap menjadi pejuang di lingkungan mereka.
1.Rindi Santika (23 tahun), Jadi Guru di Kawasan Pabrik Jakarta
Mungkin benar apa kata pepatah yang menyatakan jika buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Begitulah Rindi Santika (23) memaknai dirinya.
Muda, gampang bergaul, dan tinggal di lingkungan pabrik, salah satu lingkungan marjinal di pinggiran Jakarta Timur. Ia kemudian mengikuti jejak ibunya, Masyuti (50).
Sejak 20 tahun lalu, Masyuti dengan susah payah mendirikan sebuah sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di kawasan industri pabrik di Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur. PAUD ini berdiri ketika banyak anak-anak buruh pabrik disana yang tak bisa sekolah. TK disana mahal.
“Rata-rata TK disini mahal, padahal masuk kelas 1 SD mereka harus bisa baca tulis,” kata Masyuti.
Maka Masyuti bersama anak-anak muda dari Forum Masyarakat Kota Jakarta (FMKJ) kemudian mendirikan PAUD Tunas Harapan 1 dan Tunas Harapan 2 buat anak-anak para buruh yang tak bisa masuk TK.
Baca Juga: Putusan Bebas Maria Ressa, Kemenangan Jurnalis dan Kemerdekaan Pers
Terletak di pinggir kali di bantaran Cakung, sekolah ini kemudian berdiri di tahun 2004. Awalnya, muridnya hanya 5 orang.
“Muridnya kini sudah banyak. Kita sudah punya 2 sekolah dan anak-anak buruh bisa sekolah murah,” ujar Rindi Santika senang.
Ya. Sekolah ini hanya murah saja bayarnya. Jika punya uang, maka orangtua murid bisa membayar 10 ribu rupiah perbulannya ketika awal berdiri. Namun jika tak punya uang, mereka boleh membayarnya secara gratis atau cuma-cuma. Atau bisa juga membayarnya nanti, sampai mereka punya uang.
PAUD ini terletak di lingkungan pabrik baja, pabrik televisi, motor, belerang dan besi. Para buruh tinggal di sekitar pabrik. Melihat Masyuti mengajar puluhan tahun disini dan tanpa bayaran, Rindi Santika kemudian tergerak untuk membantu ibunya
Selepas SMA sampai kini, ia kuliah di Universitas Indraprasta PGRI Jakarta. Hingga kini, Rindi terus mengajar. Mungkin sudah 3 tahun lebih.
“Rindi tak dibayar kak, ini sebagai bentuk kepedulian Rindi sebagai anak muda,” kata Rindi Santika ketika diwawancara Konde.co pada 9 Agustus 2023.
PAUD ini sempat berpindah-pindah, awalnya bertempat di aula RT, lalu mengumpulkan donasi dan bisa menyewa tempat kecil, sampai pernah suatu ketika mereka tidak bisa bayar. Karena tak bisa bayar sewa tempat, maka saat ini mereka memakai rumah Rindi Santika untuk kegiatan sekolahnya.
“Kegiatannya di lantai satu rumah Rindi kak, jadi selain mengajar, Rindi juga bantu bersih-bersih tiap hari.”
Baca Juga: Melihat Sejarah Kemerdekaan dan Kontribusi Anak Muda Indonesia
Bapak Rindi adalah seorang buruh pabrik, sedangkan Masyuti mengajar di PAUD ini dan aktif mengurus persoalan miskin kota di FMKJ. Rindi bersama Masyuti kemudian banyak membantu para perempuan di Jakarta yang kena gusuran, sampai persoalan kesehatan dan pendidikan warga Jakarta. Bikin nasi bungkus, ada kelompok miskin yang minta bantuan, akhirnya jadi keseharian Masyuti dan Rindi.
Rindi juga merasa senang bisa membantu ibunya mengajar, ia bisa praktik ilmu di kuliah yang selama ini ia pelajari.
Banyak anak muda yang tinggal di lingkungan pabrik disini, rata-rata hanya lulus SMA. Tak banyak dari mereka yang bisa kuliah. Tak bisa melanjutkan kuliah, rata-rata di Rawa Terate, Cakung ini, mereka kemudian nganggur. Yang tidak nganggur, kadang jualan, atau melanjutkan orangtuanya kerja di pabrik. Sedangkan perempuan mudanya bantu orangtua di rumah dan kemudian menikah.
“Sebagian pada kerja di pabrik, banyak juga yang nganggur, bantu orangtua di rumah lalu menikah. Disini susah cari kerja kak, karena rata-rata hanya lulus SMA.”
Beginilah hari anak-anak muda di kawasan pabrik ini. Jika ditanya apa keinginan Rindi Santika dan para perempuan muda disini, mereka ingin bisa kuliah atau dapat kerja yang gampang.
Baca Juga: Merajut Makna dan Harapan untuk Kemerdekaan Perempuan
“Persaingan makin lama makin ketat kak, kami susah dapat kerja, apalagi anak-anak disini lulusan SMA, makin sulit dapat kerja.”
Rindi punya harapan, pengalamannya dalam mengajar di PAUD ini bisa dipraktekkan jika ia sudah lulus nanti. Harapannya, ia bisa membesarkan PAUD Tunas Harapan sehingga semua gurunya bisa dibayar suatu saat ini. Ia juga pengin membesarkan PAUD dan menjadikan PAUD ini makin meluas, banyak anak sekolah, juga banyak donasi atau bantuan untuk PAUD.
PAUD Tunas Harapan 1 dan 2 saat ini punya siswa 60an siswa, mereka hanya dikenai biaya Rp. 30 ribu perbulannya. Jika lebih dari itu, takut banyak buruh yang tak bisa bayar sekolah anaknya.
Dari uang ini, sekedar untuk uang transport guru, untuk beli buku dan alat peraga kak. Semoga nanti banyak yang peduli dengan sekolah disini,” ungkap Rindi Santika.
Sudah 20 tahun sekolah ini berdiri, dan Rindi Santika selalu berada di balik punggung anak-anak buruh Jakarta, yang tak berhenti untuk berjuang.
2.Ayu, Perempuan Adat Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau
Ayu (25) adalah anak muda yang memilih berjuang untuk suku Talang Mamak. Ia mendukung perjuangan diantara modernisasi dan hadirnya perusahaan sawit.
Ayu memilih bekerja untuk pendokumentasian yang merupakan bagian dari gerakan yang dilakukan suku Talang Mamak.
Waktu diwawancara, Ayu baru saja pulang dari rumah pemuka adat, Batin Irasan, pada Senin sore (14/8). Ada tamu yang datang dan Ayu serta beberapa anak muda lainnya, mendampingi.
Hal yang biasa para anak muda Talang Mamak lakukan. Biasanya Ayu dan anak muda lainnya, membantu memeriksa dokumen atau surat-surat yang ditujukan untuk pemuka adat.
“Pak Batin tidak bisa baca dan tulis, anak mudanya menjelaskan ke Pak Batin. Surat ini begini isinya,” ujar Ayu kepada Konde.co melalui sambungan telepon.
Baca Juga: Perempuan pedagang dan Pahit Getir Kemerdekaan
Ayu bercerita, saat ini para anak muda sedang aktif berkegiatan pembibitan dan menanam sayur. Mereka juga belajar bikin pupuk organik. Di sela-sela itu, Ayu aktif pula beraktivitas di kelompok muda Talang Mamak, yaitu membuat profil desa.
Perempuan berusia 25 tahun ini, memang jadi salah satu perempuan yang aktif di kelompok anak muda Talang Mamak. Bersama koordinator kelompok yang juga perempuan, Dita, Ia seringkali diberi kepercayaan untuk mendampingi pemuka adat dalam proses advokasi kasus konflik lahan dengan perusahaan perkebunan sawit. Seperti saat dialog dengan RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil) soal dampak pengelolaan sawit perusahaan bagi masyarakat adat dan harapan ke depan.
Ayu dan Dita juga sempat mewakili untuk mengikuti pelatihan paralegal hukum bagi masyarakat adat. Termasuk, bagaimana menghadapi perusahaan yang akan menggusur lahan adat mereka dengan sawit.
Baca Juga: Veronika Koman dan Cerita Buruk untuk Papua di Hari Kemerdekaan
Kelompok anak muda Talang Mamak ini juga terlibat dalam upaya pendokumentasian adat Talang Mamak dengan penulisan buku ‘Memori Kolektif’. Ada berbagai pihak yang terlibat seperti akademisi hingga tokoh adat, yang sebelumnya berupa pengumpulan data riset.
Ini menjadi penting sebab banyak sejarah dan tradisi di Talang Mamak yang selama ini sebatas disampaikan secara lisan (tradisi tutur lisan). Sementara modernisasi terus berkembang di Talang Mamak dengan hadirnya perusahaan sawit ataupun persinggungan dengan budaya luar, maka di tangan anak-anak muda inilah penulisan Memori Kolektif dilakukan agar kekayaan budaya yang mereka miliki terus terjaga.
Saat ini, mereka sudah mulai menulis buku kedua sebagai lanjutan dari Memori Kolektif.
Dita dkk kini juga tengah aktif dalam pelatihan jurnalisme warga. Mereka melakukan reportase dan menuliskannya di Adatpedia.com, sebagai salah satu wadah anak muda adat Talang Mamak untuk mengenalkan adatnya hingga menyuarakan hak-haknya secara lebih luas. Mereka juga mendapatkan bimbingan untuk penggunaan sosial media secara bijak.
Baca Juga: Mengejar Kemerdekaan Perempuan
Sebagai perempuan muda adat, Ayu ingin masyarakat sekitar agar bisa lebih melihat peran perempuan. Perempuan tidak lagi “dibatasi” dengan tuntutan untuk segera menikah, dianggap percuma berpendidikan tinggi, atau tidak dipercayai ketika dia punya kontribusi penting di tengah masyarakat.
Meskipun kondisi saat ini, menurut Ayu, masyarakat adat di wilayahnya sudah lebih mulai terbuka dengan pemikiran itu. Bahwa perempuan bisa menentukan pilihan hidup, mengambil peran, dan merdeka.
“Kami kebanyakan perempuan pemudanya (di kelompok anak muda Talang Mamak–red). Kami berharap dukungan dari masyarakat. Lebih bisa percaya ke perempuan,” katanya.
Baca Juga: Refleksi Kemerdekaan: Menempatkan Perempuan Agar Punya Daya Saing dan Kompetitif adalah Cara Pandang Patriarkhis
Ayu juga mengajak agar stereotip terhadap masyarakat adat yang dianggap “terbelakang” atau “tidak beragama” dan lain-lain, tidak lagi dilakukan. Salah satu bullying atas identitasnya sebagai Talang Mamak, Ayu pernah diejek sebagai orang yang tidak berpendidikan, tertinggal dan tidak beragama.
Soal kehidupan beragama, masyarakat adat Talang Mamak menganut kepercayaan Islam Langkah Lama. Mereka mempercayai adanya Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, namun tidak bersyariat. Mereka sangat menghargai hutan dan tradisi leluhur untuk saling hidup secara harmonis dengan alam dan satu sama lain.
Istilah Talang Mamak, kata Ayu, bahkan ada pula yang mengidentikkan dengan perilaku tidak baik. Stigmatisasi yang jelas merugikan: Talang Mamak tak dianggap pula beradab. “Gak semuanya Talang Mamak itu jelek-jelek,” tegasnya.
Di momen kemerdekaan RI ini, Ayu berharap perempuan adat suaranya bisa lebih lantang didengar. Stop stereotip, diskriminasi, dan kekerasan yang terjadi terhadap masyarakat adat termasuk soal konflik lahan. Negara harus bertanggung jawab melindungi masyarakat adat.
3.Mimah, Perempuan Muda Petani di Desa
(Ilustrasi: Perempuan Muda Petani)
Mimah adalah perempuan muda yang membantu orang tuanya untuk jadi petani di desa. Itu Ia lakukan di antara pergulatan batinnya sebagai perempuan yang telah lulus sarjana dan harus cepat menikah. Dia kini tengah berjuang mengumpulkan modal untuk bisa memiliki lahan pertaniannya sendiri. Sembari membantu mengedukasi warga desa dengan ilmu dari perguruan tinggi yang Ia miliki.
Tak seperti teman-teman sebayanya yang merantau ke kota-kota besar, Mimah memilih tinggal menetap di desa. Bukannya tak punya bekal pendidikan, perempuan ini adalah sarjana dari salah satu universitas di Jember, Jawa Timur.
Mimah (28) adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dia sempat menunda berkuliah karena tidak lolos tes seleksi masuk. Setahun menanti, Ia sempat menjadi buruh tani ngantong. Ini adalah sebutan untuk aktivitas menyemai benih ke kantong-kantong plastik. Biasanya, biji cabe dan terong.
Sekitaran tahun 2013 itu, Mimah yang saat itu berusia 18 tahunan mendapatkan upah Rp 6.000 per 1.000-an kantong yang berhasil diselesaikan. Upahnya berangsur-angsur naik menjadi Rp 7.000. Dia bekerja sejak pukul 06.00 WIB sampai sebelum jam 12.00 WIB. Pernah juga sampai pukul 16.00 WIB.
Selama berjam-jam itu, buruh tani ngantong bekerja secara lepas. Artinya, tak ada jatah makan. Apalagi, jaminan kesehatan atau ketenagakerjaan. Begitu jauh itu buat para buruh tani ini.
Baca Juga: Kemerdekaan untuk Pekerja Rumah Tangga
Dia baru akan dikasih makan, jika ada pesanan untuk kantong-kantong semai yang dia kerjakan. Biasanya para petani-petani yang akan memesan untuk ditanam ke sawah-sawahnya. “Jadi ya gak mesti, kalau pas ada setiap hari ada aja. Kalau gak, ya gak ada (artinya gak dapat makan—red),” cerita Mimah kepada Konde.co, Jumat (11/3).
Mimah bilang, dia termasuk pengantong yang lumayan cekatan dan cepat. Dalam sehari kerja, dia bisa dapat kisaran 5.000 kantong. Untuk anak muda lulusan SMA kala itu, dia merasa sudah cukup besar. Meskipun realitanya, dia harus bekerja sangat keras dan tanpa jaminan apapun.
“Saat itu, aku dapat upah sebulan Rp 1 juta pertamaku,” ujar Mimah dengan bersemangat.
Baca Juga: Jo: Kesadaran Kritis Kolektif untuk Kemerdekaan Perempuan Indonesia
Perempuan itu bercerita tentang sulitnya jadi petani di desa. Sejak kecil dia memang terbiasa membantu orang tuanya ke sawah. Kedua orang tuanya adalah petani hingga saat ini. Mereka menyewa sawah per tahun sekitar Rp 6 juta untuk digarap aneka tanaman seperti cabai dan jagung.
Setidaknya hingga SMA, Mimah biasa membantu orang tuanya ke sawah. Mulai dari proses menyemai, membersihkan rumput liar, sampai memanen. Ketika sekolah, hal itu dia lakukan di kala libur atau sepulang sekolah.
Usai dia diterima berkuliah ke luar kota, Mimah sudah jarang membantu orang tuanya ke sawah. Setelah 4 tahun kuliah, dia akhirnya lulus pada tahun 2019. Situasi keluarga yang mengharuskannya tak bisa jauh dari rumah, menjadikannya harus mencari pekerjaan di desanya.
Menjadi petani, jadi opsi yang sulit bagi Mimah. Jika tak punya sawah sendiri, jadi petani di desa begitu nelangsa. Pupuk mahal dan sering langka, cuaca dan hama yang butuh perhatian ekstra, serta hasil panen yang seringkali tak seberapa. Bahkan, ancaman gagal panen sama sekali.
“Ini kenapa anak-anak muda di desaku ya mendingan merantau hasilnya kelihatan. Kalau jadi petani, ya kalau gak ada modal begitu,” ujar perempuan yang kemudian bekerja sebagai karyawan di toko pertanian itu.
Di sisi lain, Mimah juga bilang, support system untuk jadi petani itu masih minim di pedesaan. Sederhananya, tak semua punya kelompok tani ataupun badan usaha milik desa (Bumdes) yang memfasilitasi kebutuhan petani. Bantuan-bantuan dan sosialisasi soal asuransi gagal panen pun, seringkali tak sampai.
Baca Juga: Anna Amalia: Perempuan, Memberontaklah untuk Kemerdekaanmu
Itu katanya, diperparah dengan politisasi pemerintahan di pedesaan yang seringkali abai terhadap nasib para petani. Seperti, distribusi subsidi pupuk yang tidak tepat sasaran dan dimonopoli, tidak transparansinya dana desa untuk kesejahteraan petani, hingga tak optimalnya pemberdayaan anak muda desa.
Padahal menurutnya, anak-anak muda ini yang justru seharusnya mendapatkan dukungan. Utamanya soal kemajuan dunia pertanian. Anak muda ini punya inisiatif dan keberanian berinovasi misalnya soal meracik pupuk saat ada kelangkaan. Ataupun, pengembangan budidaya pertanian modern hingga distribusi serta agribisnisnya yang kreatif.
Namun, semua potensi anak-anak muda ini saat ini masih belum mendapat arahan dan dukungan maksimal. Paling tidak, di lingkup pemerintahan terkecil seperti desa.
“Dari desa, harapannya bisa mengakomodasi potensi anak muda ini. Biar anak muda membangun desanya, tidak pergi merantau semua karena tak ada apa-apa di desa,” pungkasnya soal harapan kemerdekaan RI ke-78 ini.
Mimah sudah memilih bergerak dari desa, dengan pilihan-pilihan hidupnya yang sulit sebagai perempuan muda tani yang tinggal di desa, menghadapi pertanyaan-pertanyaan personal yang tak mudah ia jawab, namun ia tetap bergerak.