Keadilan bagi pekerja disabilitas, lansia, dan transpuan

Jalan-Jalan Perempuan #2: Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka

Jalan-jalan perempuan tim Konde.co kali ini pergi ke Jawa Tengah dan Yogyakarta pada 5–9 Juli 2023 untuk melihat pengalaman para pekerja lansia, disable dan transpuan. Mereka pada realitasnya masih terasingkan, suaranya tidak didengar, dan jauh dari lingkungan yang inklusif.

Pada awal Juli 2023, Konde.co bersama dengan Koalisi Ratifikasi KILO-190 pergi ke Jawa Tengah dan Yogyakarta mengunjungi kelompok rentan, orang-orang yang suara dan haknya sering kali diabaikan. 

Tujuan kegiatan ini adalah bertukar informasi terkait kondisi kelompok rentan dan juga pentingnya Konvensi ILO-190 tentang stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja terwujud untuk tercapainya keadilan bagi kelompok pekerja.

Pembahasan penting terkait KILO-190 antara lain pengakuan adanya kekerasan berbasis gender, kelompok rentan, dan kaitan KDRT-dunia kerja, cakupan perlindungan yang lebih luas, serta redefinisi pekerja dalam undang-undang. Namun, sangat disayangkan bahwa setelah sudah lebih dari 5 tahun, pemerintah Indonesia tidak kunjung membahas soal pengesahan.

Suara Orang dengan Disabilitas, Wonogiri

Awalnya, kami mengunjungi Wonogiri, Jawa Tengah. Dari total 31 perusahaan yang terdata oleh pemerintah Wonogiri per 2022, hanya 10 di antaranya yang sudah memenuhi aturan. 

Pada hari pertama, kami mengunjungi dua perusahaan di Wonogiri, yaitu Rumah Sakit Amal Sehat dan PT Top and Top Apparel. Kedua perusahaan swasta ini sudah mempekerjakan kelompok disabilitas sesuai dengan peraturan kuota 1%. 

Rumah Sakit Amal Sehat di Ngerjopuro, Slogohimo, misalnya, telah mengisi 9 atau setara 3,12%. Pekerjaannya meliputi pramuhusada, admin radiologi, parkir, staf pramusaji, dan sebagainya. 

Pekerja dengan disabilitas di sini beragam, seperti defisiensi mata, disabilitas rungu, strabismus, atau club foot. Rumah sakit ini masih menyatukan disabilitas mental dan intelektual dalam satu kata dismen.

Nani, pekerja disabilitas dengan disabilitas berjalan di Rumah Sakit Amal Sehat. (dok. pribadi)
Nani, pekerja dengan disabilitas berjalan di Rumah Sakit Amal Sehat. (dok. pribadi)

Salah satu pekerja yang diberi kesempatan untuk menjadi perwakilan dalam pertemuan kemarin adalah Nani. Nani bercerita bahwa di rumah sakit tempat ia bekerja memberikan upah yang setara dengan pekerja lain dan juga tunjangan hari raya.

Baca Juga: Kerap Dijadikan ‘Vote Getter’, Sudahkah Pemilu Memperhatikan Hak Disabilitas?

Direktur rumah sakit syariat ini, dr. Rizky Mukti Sejati, bercerita bahwa pada awalnya mereka mempekerjakan orang dengan disabilitas secara tidak sengaja. Pada suatu pertemuan, ada pekerja yang selalu menunggu sampai sesi akhir untuk bertanya, yang ternyata adalah disabilitas rungu. 

Semenjak itu, perlahan mereka mengubah perusahaan menjadi lebih inklusif dengan mempertimbangkan orang dengan disabilitas untuk bekerja juga.

Pekerja yang memiliki kesulitan dalam mobilitas akan diberi pekerjaan di level bangunan bawah. Mereka juga memberikan akses tempat parkir yang memadai. Namun, rumah sakit ini juga dinilai masih banyak PR-nya.

Eddy sebagai perwakilan SEHATI Sukoharjo yang juga hadir menjelaskan bahwa masih banyak fasilitas yang bisa dikembangkan di dalam rumah sakit. Misalnya, penambahan handle di kiri kanan tangga, dengan anggapan bahwa ada juga orang dengan disabilitas yang mungkin akan kesulitan karena lebih mengandalkan tangan kanannya.

Saat itu, kami tidak banyak bisa berbicara bebas di sana dengan pekerja karena keterbatasan waktu. Selanjutnya, kami menuju ke Top and Top Apparel yang berada di Gedong, Ngadirojo. Perusahaan yang bergerak di bidang garmen ini telah mengisi 23 atau setara 1,14%. Pekerjaan yang dilakukan orang dengan disabilitas beragam, meliputi level operator, teknisi, office, atau juga ekspor-impor.

Kondisi di dalam pabrik begitu terasa berbeda jika dibandingkan dengan rumah sakit yang dikunjungi sebelumnya. Ruangan pabrik begitu padat, diisi dengan ribuan pekerja dalam tempat yang terbatas luasnya. Selama melewati jalanan panjang, dari sisi kiri saya mendengar campur aduk suara mesin jahit yang beradu dengan pengeras suara portable yang menyanyikan lagu Dangdut.

Baca Juga: ‘Harus Ada Partisipasi Publik’: Masukan Pembahasan Turunan UU TPKS

Beberapa pekerja duduk dan bekerja, rasanya seperti sedang menyasar target yang tertulis di papan putih sederhana yang tergantung menghadapnya. Ada juga pekerja lain yang sibuk menjadi supervisi, membawa papan dan kertas yang entah apa tulisannya. 

Ada juga pekerja lain yang mondar-mandir mengitari seisi ruangan yang penuh dengan potongan kain sisa yang berjatuhan ke lantai. Mereka seharian menjaga kebersihan ruangan dengan pengki dan sapu sederhana. Yang lain, menggosok, melipat, mengecek kualitas, menggunting, menyusun, dan sebagainya, dalam suatu ruangan yang tidak berhenti kebisingannya. 

Rosana (kiri) dan Siska (kanan), dua pekerja disabilitas rungu di PT Top and Top Apparel. (dok. pribadi)

Seorang pengunjung yang berstatus sebagai buruh di perusahaan lain, setengah membisik ke kupingku berkomentar tentang fasilitas dalam pabrik ini. Ia menjelaskan bahwa di tempatnya bekerja, bagian menggosok dipasang karpet karena mereka rentan mengalami kecelakaan kerja. Jika tersetrum dan jatuh ke lantai, setidaknya alas dapat mengurangi risiko cidera tubuh pekerja tersebut.

Selanjutnya, kami dipertemukan dengan beberapa pekerja dengan keberagaman disabilitas. Ada yang disabilitas berjalan, cerebral palsy, netra, dan juga rungu.

Salah satunya, Siska, bercerita tentang kendala yang dialaminya bahwa bahasa isyarat belum begitu dipahami oleh pekerja non disabilitas rungu. Sebagai solusi, mereka biasa mencatat pesan di telepon genggam untuk berkomunikasi. Sayangnya Indonesia belum menerapkan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) dalam mata pelajaran pendidikan formal. Padahal inklusivitas dapat terbangun mulai dari dini.

Ada berbagai masukan bukan berarti kedua perusahaan ini tidak patut dipuji. Inklusivitas sendiri adalah perjalanan panjang yang akan selalu berkembang seiring waktu, dan berkejaran dengan progres ini sudah seharusnya dihargai. 

Menjadikan tempat kerja yang inklusif berarti percaya bahwa siapa pun tidak “terlalu disabilitas” untuk mengambil bagian dalam menyampaikan pendapat atau memberikan kontribusi bermakna.

Baca Juga: Jangan Abaikan Masyarakat Disabilitas dalam Penyusunan Aturan Turunan UU TPKS

Terlebih lagi, pada kenyataannya, masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan aturan kuota 1% ini. Bahkan, untuk sekelas perusahaan negara juga masih ada yang belum menerapkan aturan kuota 2%. Sebab, belum ada aturan jelas yang menerangkan soal sanksi pada ketidaktaatan ini. Menurut Eddy, menjadikan tempat kerja yang inklusif adalah suatu “investasi” jangka panjang.

Ketidakseriusan negara dalam menjerat hukuman bagi pihak perusahaan yang tidak menaati aturan menjadi problem besar bagi kelompok rentan. Mereka mengalami berbagai masalah struktural, misalnya kemiskinan yang merajalela, sulitnya mereka untuk bersekolah tinggi, dan mendapatkan pekerjaan. 

Data menyatakan, penyandang disabilitas lebih pilih untuk menjadi wirausaha karena inklusivitas dalam dunia kerja belum benar-benar terwujud.

SEHATI Sukoharjo membuka pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi mereka. Saat malam, kami berkunjung ke sekretariatnya di Sukoharjo. Di sana, kami melihat berbagai hasil karya orang dengan disabilitas yang dijual, seperti kain, pakaian, aksesori tubuh, gantungan kunci, atau tas.

Suara Lansia, Desa Wonosari

Pada hari kedua, kami mengunjungi Sanggar Seni Pujo Sumakno, di Desa Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta. 

Tidak jauh dari sana, ada pantai-pantai dekat Gunung Kidul yang terkenal akan pemandangannya. Namun, ada lansia-lansia terlantar yang begitu rentan akan berbagai masalah. Salah satu yang diceritakan adalah seorang lansia yang kesulitan bahkan hanya untuk hidup. Ada yang bergantung pada sumbangan tetangganya, karena sudah tidak ada keluarga yang tinggal dengannya.

Kegiatan bersama lansia di Sanggar Seni Pujo Sumakno. (Dok. pribadi)

Di lain sisi, lansia-lansia yang lahir pada zaman kolonialisme tertinggal akan sistem administrasi kini. Ada yang kehilangan akta kelahiran, atau malah belum punya pada masanya, sehingga kesulitan untuk membuat ktp, yang berimbas tak punya nomor induk kependudukan (NIK) dan tidak diakui untuk menerima Program Keluarga Harapan (PKH) atau bantuan sosial lainnya.

Maka dari itu, Senior Support Center (SSC) Megar Sore bermaksud untuk menjadi komunitas yang memberdayakan dan membantu lansia di Desa Wonosari dalam memecahkan masalah itu. Mereka juga membuka kegiatan seni, seperti menari atau bernyanyi, yang sempat juga dibawakan oleh Sumarni, pemilik sanggar pada akhir kegiatan.

Baca Juga: Survei: Perempuan, Queer, Disabilitas Lebih Rentan Jadi Korban Kekerasan di Dunia Kerja

SSC berkolaborasi dengan Organisasi Erat, menggandeng pamflet, komunitas anak muda agar adanya pertukaran informasi dan benefit bagi remaja-dewasa dan lansia. Sumarni menjelaskan bahwa lansia bisa membagikan tata krama, budaya, dan adat kepada yang muda, dan yang muda dapat menyalurkan energinya untuk memberi kesejahteraan pada lansia, atau berbagai hal lainnya.

Lansia kini juga memiliki kesulitan, melihat perusahaan yang memprioritaskan pekerja berumur produktif. Seakan mereka yang sudah berumur 65 tahun ke atas pasti punya uang tunjangan hari tua yang cukup sehingga tidak lagi membutuhkan uang. Seakan keuangan penerusnya, jika ada, mencukupi hidupnya. 

Pada 2019, Badan Pusat Statistik mencatat terdapat setidaknya 9,38 persen lansia yang tinggal sendiri. Dalam kegiatan kemarin pun kami diceritakan ada seorang lansia perempuan yang hidup sendiri di Desa Wonosari. Dia tidak punya keluarga yang menafkahi, hidup di ambang pendanaan dari tetangganya. 

UU No 13. Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menjabarkan bahwa lansia punya hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sayangnya, mereka masih menjadi kelompok marginal yang sering kali hak dan suaranyanya terlupakan. Seharusnya negara mulai menerapkan prinsip lingkungan yang ramah lansia di seluruh regional, baik infrastruktur maupun suprastruktur. 

Suara Transpuan Lansia, Bantul

Terakhir, kami mengunjungi SSC Teratai di Shelter Waria Crisis Center (WCC), rumah aman bagi transpuan yang mengalami krisis sosial, ekonomi, dan/atau keamanan. WCC berdiri sejak 2019 dengan dukungan dari tiga lembaga, yaitu Yayasan Kebaya Yogyakarta, Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), dan Pondok Pesantren Waria Al-fatah. 

Mereka berusaha terus berkolaborasi untuk dapat bertahan dari segi finansial. Selain itu, WCC juga kerap melakukan pembangunan kapasitas berupa legal advocacy dan pelatihan kesehatan mental.

Rully Malay selaku pendiri dan koordinatornya sekarang pernah menjadi guru di tingkatan SD, anggota DPRD, lalu bersekolah aktivisme di Filipina, serta pada awal 2000-an mulai tergabung dalam komunitas transpuan. 

Sebelumnya, Rully lebih fokus pada isu buruh tani. Ia sejak awal 2000-an sudah banyak turun ke lapangan menjadi aktivis, seperti pada masa pascatsunami di Aceh atau pembuatan dapur umum di awal pandemi COVID-19. 

Pada 2013, Arus Pelangi menemukan bahwa 89,3 persen kelompok LGBT di Indonesia pernah alami kekerasan. Munculnya shelter WCC pada 2019 adalah bukti bahwa penanganan krisis pada transpuan masih tidak banyak digubris pemerintah. Mereka harus berjuang untuk diri mereka sendiri. 

Pada awal pandemi, ada penurunan penghasilan transpuan hingga 80 persen. Mereka juga rentan mengalami kecelakaan kerja, dari kekerasan oleh publik atau aparat.

Anggota dalam Koalisi Ratifikasi KILO-190 bersama Mami Rully dan Mami Tata. (dok. Pribadi)

Komunitas-komunitas seperti SSC Megar Sore dan Teratai adalah beberapa contoh dari bagaimana kelompok rentan perlu membuat perlindungan dan pemberdayaan untuk dirinya sendiri. Di tengah negara yang masih belum berpihak kepada mereka. Padahal, hak asasi manusia bukan milik yang “di atas-atas” atau “di pusat” saja, melainkan semua orang.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!