60 Tahun Wiji Thukul: Kau di Mana, Kenapa Hilang dan Tak Kembali?

Penyair sekaligus aktivis Wiji Thukul, sudah 25 tahun menghilang. Para aktivis 'Koalisi Menolak Lupa' memperingati hari ulang tahun ke-60 Wiji Thukul. Ini jadi momentum mengenang tragedi kemanusiaan sekaligus menuntut keadilan.

“Di mana Wiji Thukul?”

“Diculik!”

“Kembalikan!”

“Wiji Thukul!”

“Pelanggar HAM!”

“Tolak, tolak, tolak!”

Pekikan-pekikan itu terdengar berkali-kali di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2023). Suara khalayak yang menghadiri peringatan ulang tahun ke-60 penyair dan aktivis Wiji Thukul itu lantang memenuhi ruangan. Acara peringatan tersebut digelar oleh para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Menolak Lupa.

Baca Juga: Selamat Jalan Dyah Sujirah ‘Sipon’: Istri Wiji Thukul Dalam Kenanganku

Ulang tahun ke-60 Wiji Thukul diperingati dengan pembacaan sajak dan puisi karya aktivis tersebut, serta penampilan musik. Selain itu, ada pula pemutaran film ‘Istirahatlah Kata-Kata’ yang menceritakan kehidupan Wiji dalam pelarian. Ia sempat menjadi buronan pemerintah rezim Orde Baru sebelum dihilangkan secara paksa.

“Kita di sini bukan untuk berpesta. Bukan untuk merayakan kegembiraan,” ujar Wilson, ketua pelaksana acara sekaligus sahabat Wiji, dalam sambutannya.

“Kita di sini justru mengenang sebuah tragedi kemanusiaan. Mengenang sebuah kejahatan HAM yang paling kejam. Dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru Soeharto melalui militernya, Kopassus, yang melakukan penculikan aktivis-aktivis yang dianggap menuntut Reformasi.”

Wiji Thukul menjadi salah satu aktivis era Orde Baru yang diculik akibat tegas menentang kekuasaan Soeharto. Setelah hidup beberapa lama dalam pelarian, Wiji raib. Tak ada yang tahu keberadaannya hingga saat ini, 25 tahun sejak kali terakhir orang-orang melihatnya.

Orde Baru sudah bubar. Era Reformasi terus bergulir selama 25 tahun. Tampuk kekuasaan terus berganti penghuni. Tapi nasib Wiji Thukul dan para aktivis lainnya yang mengalami penghilangan paksa, siapa yang tahu?

Kehidupan Wiji Thukul

Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah, dengan nama asli Wiji Widodo. Di lingkungan tempatnya tumbuh, mayoritas penduduknya adalah rakyat jelata yang bekerja sebagai buruh dan tukang becak. Belakangan, kondisi lingkungan tersebut memberinya inspirasi untuk membuat syair dan puisi.

Wiji dan adik-adiknya lahir bukan dari keluarga yang berkecukupan. Bapaknya bekerja sebagai sopir becak. Ibunya kadang berjualan ayam bumbu. Di sisi lain, mereka disekolahkan di Kanisius. Maka mereka melakukan apa saja untuk meringankan beban orang tua demi memenuhi biaya sekolah.

Adik Wiji, Wahyu Susilo, turut mengenang masa-masa kecil bersama sang kangmas. Menurut Wahyu dalam unggahannya di Facebook pada Jumat (25/8/2023), Wiji Thukul pertama kali berorganisasi dengan mengikuti Muda-Mudi Katolik (Mudika) sebagai koor atau paduan suara, serta Karang Taruna.

Wahyu juga menyebut, kakaknya yang ia panggil Thukul itu peduli terhadap adik-adiknya. Selain kerap memberikan jajan, Wiji Thukul hobi berburu buku loak sejak SMP. Maka ketika Wahyu menempuh kuliah di Fakultas Sastra, buku-buku langka koleksi abangnya sangat berguna baginya.

“Sejak SMP Thukul cari tambahan biaya jadi calo tiket bioskop,” tulis Wahyu. “Bioskop-bioskop yang dicalo’in Thukul: Remaja Theater dan Kartika Theater. Tentu Thukul tak pernah lupa sisain tiket untuk adiknya. Syaratnya kalau untung nyalonya.”

Nama, Teater, dan Puisi Rakyat Kecil

Setidaknya, Wiji tiga kali ganti nama selama menekuni seni teater dan puisi. Saat mementaskan teater Jagat, namanya Inu Kertapati. Namun, menurut Wahyu, nama tersebut kerap diledek lantaran seperti ‘ketoprakan’.

Maka nama Wiji Thukul Wijaya atau Jikul pun dipilih, meski tak lepas pula dari kritik. Wiji Thukul menggunakan nama yang dikenal sekarang ini, setelah sering berkumpul dengan seniman kritis seperti Halim HD.

“Akhirnya nama Wijaya dibuang, ketika nama itu dikritik berbau feodal,” ungkap Wahyu.

Wiji hanya menuntaskan sekolah hingga kelas 2 di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo. Selain tidak betah, ujar Wahyu, kakaknya tak mau terus-terusan membebani orang tua yang juga masih harus membiayai kedua adiknya.

Suatu hari, Wiji menjelaskan kepada Wahyu bahwa bapak mereka sudah terlalu tua untuk ‘narik’ becak. Jadi ia memilih untuk mencari kerja ketimbang melanjutkan sekolah. Sejak itu, Wiji Thukul bekerja sebagai tukang plitur di daerah Keratonan Solo, meski tetap aktif berteater.

Selama menjalani aktivitas teater pula, Wiji Thukul mulai sering menulis puisi. Awalnya, puisi-puisi Jikul tidak melulu menggelora. “Ada yang galau, melankolik dan absurd lho,” Wahyu berseloroh.

Baca Juga: Fitri Nganthi Wani: Wiji Thukul Adalah Peluruku

Wiji terus membara dan mengembara lewat syair-syair dan puisi-puisinya. Belakangan, karya-karya itulah yang menjadi sarananya untuk menyuarakan perlawanan terhadap Orde Baru. Ia pun berpolitik dan dikenal sebagai aktivis pengkritik pemerintahan Soeharto pada masa itu.

Puisinya panas oleh suara-suara rakyat kecil yang ditindas penguasa. Bahasanya sederhana, namun mampu melontarkan keresahan-keresahan rakyat yang mengalami ketidakadilan.

“Karya-karya Wiji Thukul sangat membakar suasana buruh pada umumnya saat ini,” kata Lindah dari Perempuan Mahardika, dalam acara peringatan ulang tahun ke-60 Wiji Thukul.

Pada kesempatan yang sama, penulis dan wartawan Linda Christanty juga menyampaikan apresiasi terhadap Wiji dan perjuangannya.

“Sajak-sajak Wiji Thukul mencerminkan keadaan kita semua. Dan akan tetap hidup di dalam diri kita,” tuturnya. “Dari waktu ke waktu, dari rezim ke rezim, selama ketidakadilan dan penindasan terus terjadi.”

Penghilangan Paksa oleh Tim Mawar

Wiji Thukul bersama sebagian anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang aktif menuntut demokrasi, menjadi korban penghilangan paksa. Operasi penculikan terorganisir oleh pasukan perpanjangan pemerintah Orde Baru, berlangsung selama periode 1997-1998. Penculikan semakin masif menjelang Reformasi 1998.

Situasi tersebut membuat Wiji jadi buronan pemerintah. Ia pun sulit bertemu dengan istrinya, Dyah Sujirah alias Sipon, serta kedua anak mereka, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Tak jarang, Sipon dan Wiji harus sembunyi-sembunyi agar dapat saling melepas rindu.

Wilson menyebut, Sipon terakhir kali bertemu Wiji sekitar Januari 1998 di Stasiun Solo Balapan. Saat itu Wiji hendak bertolak ke Jakarta. Di momen tersebut, kata Wilson, Sipon ingat kata-kata terakhir Wiji Thukul.

“Sipon, aku akan ke Jakarta. Mendukung, berjuang bersama Budiman Sudjatmiko,” demikian Wilson menyampaikan perkataan terakhir Wiji kepada Sipon, yang terus diingat perempuan itu.

Baca Juga: Wiji Thukul dan Sipon, Aku Ingin Kamu Selalu Ada

Setibanya di Jakarta, Wiji disembunyikan di sejumlah tempat. Sejak itulah tidak ada lagi yang pernah melihat atau mendengar kabar tentangnya. Ia hilang. Bahkan hingga wafatnya Sipon pada Januari 2023, Wiji tak kunjung ditemukan.

Belakangan, Komnas HAM menetapkan Wiji Thukul sebagai salah satu dari 13 korban penghilangan paksa di era Orde Baru, oleh Tim Mawar Kopassus pimpinan Prabowo. Rekomendasi DPR RI tahun 2009 juga menyatakan hal serupa. 

Ujar Wilson, “Sampai saat ini, kita terus berjuang untuk memastikan status Wiji Thukul. Apakah masih hidup? Ditahan? Atau sudah mati? Kalau sudah mati, di mana makamnya? Kalau dia ditahan, di mana? Sampai sekarang belum ada kepastian.”

Pada tahun 2007, DPR RI membuat Panitia Khusus (Pansus) Penanganan Peristiwa Penghilangan Paksa. Di bulan September 2009, mereka mengesahkan empat poin rekomendasi

  1. Kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
  2. Membentuk tim pencarian aktivis yang masih hilang.
  3. Memberikan reparasi dan kompensasi pada keluarga korban.
  4. Meratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa.

Namun hingga kini, sejumlah poin rekomendasi tersebut masih belum dilaksanakan oleh para pimpinan negara yang pernah menjabat. “Sampai sekarang, pengadilan HAM dan tim pencarian aktivis tidak pernah dilakukan,” tutur Wilson.

Resisten Melawan Penindasan, Dulu dan Kini

“Hanya ada satu kata: lawan!”

Slogan ciptaan Wiji Thukul terus digaungkan dalam berbagai gerakan perlawanan, sejak masa Orde Baru hingga kini. Salah satu bait puisinya masih relevan dan kerap lantang diteriakkan dalam aksi-aksi perjuangan melawan penindasan.

“Sajak-sajaknya, meskipun rezim sudah berganti, waktu sudah berlalu. Setiap kali ada aksi atau demonstrasi, selalu dibacakan,” tutur Linda Christanty.

“Jadi dia selalu hidup, Wiji Thukul, dalam pikiran. Dan semangatnya juga hidup di dalam diri setiap orang yang melawan ketidakadilan.”

Sementara itu, kata Wilson, “Kita dengar, kita lihat, kita baca. ‘Hanya ada satu kata: lawan!’ masih diteriakkan di jalan-jalan. Di pabrik-pabrik. Di aksi-aksi petani, di aksi-aksi rakyat.”

“Artinya penindasan masih ada sampai sekarang. Karena itu, teriakan Wiji Thukul, dia sangat relevan. Dia yang menghubungkan masa lalu perlawanan rakyat, dengan masa kini perlawanan rakyat.”

Sekarang, Pemilu 2024 sudah di depan mata. Indonesia bersiap memiliki pemimpin yang baru. Tentu saja, ini berarti muncul harapan bahwa pemerintah yang akan menjabat nantinya tidak lagi mengabaikan, apa lagi tercatat melakukan pelanggaran HAM di masa lalu.

“Kita semua berada di sini bukan hanya untuk mengenang Wiji Thukul. Tetapi juga untuk mendesakkan agar pencarian orang hilang terus dicari. Dan para pelaku pelanggaran HAM berat ini dapat diadili di negara mana pun. Dapat diusulkan pengadilannya, perkaranya, bahkan oleh individu sekali pun. Dan kasus ini tidak pernah mengenal kedaluwarsa,” tutur Linda.

Koalisi Menolak Lupa dan para aktivis lainnya menuntut pemerintahan yang akan datang, melaksanakan rekomendasi terkait korban penghilangan paksa. Salah satunya, membentuk tim pencarian Wiji Thukul serta para aktivis yang diculik lainnya.

Tidak ada kompromi bagi pelanggar HAM berat. “Hanya ada satu kata: lawan!”

(Sumber foto: Gramedia.com)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!