Bella Biutiful Paparkan Realita Kelas & Kekerasan Seksual

Bella Biutiful adalah cerpen terakhir dalam karya terbaru Cyntha Hariadi, Mimi Lemon. Buku ini memuat delapan cerita bermuatan isu womanhood, motherhood, kesehatan mental, hingga kekerasan seksual.

Mengapa memilih Bella Biutiful sebagai pembahasan khusus? Sebab saya rasa inilah puncak kesedihan dari semua cerita dalam buku ini. Pantas saja tim editor dan penerbit meletakkannya di bagian akhir. Aftertaste-nya menyesakkan sampai ke ulu hati.

Tersebutlah tiga tokoh perempuan yang memiliki karakter dan pengaruh yang sama kuat bagi keseluruhan cerita. Karena sama-sama kuatnya, maka nasib ketiganya menjadi penting untuk ditilik. 

Ada Lisa; seorang istri, ibu, merangkap perempuan karir. Ada Ida; yang bekerja untuk keluarga Lisa dan karenanya ada relasi majikan-PRT (pekerja rumah tangga) di dalamnya. Ada Bella; the most significant character, inti dari segala, judul dari cerita ini; anak perempuan pengidap disabilitas intelektual yang mengalami kekerasan seksual.

Saya tidak akan membahas satu-persatu tokoh itu, sebab akan memakan penjelasan cukup panjang. Saya akan mencoba memaparkan dua poin penting yang saya dapat dari cerpen ini.

Dinamika Relasi Majikan-Pekerja Rumah Tangga

Lewat sudut pandang orang pertama, Lisa dicitrakan sebagai seorang perempuan karir merangkap ibu dan istri yang merasa merdeka atas pilihan hidupnya, tapi ternyata menyimpan tekanan atas perfeksionisme yang ia anut. Atas konsekuensi ini, ia menyewa jasa seorang pekerja rumah tangga (Lisa menyebutnya “pembantu”, dan kita tahu itu tidak tepat).

“Tak ada yang peduli aku ini juga ibu, seorang manusia, kelelahan setiap hari, merasa dieksploitasi tapi tak tahu oleh siapa, toh atas kemauanku sendiri menjadi istri dan ibu. Koar-koar peduli bumi lebih ramai daripada peduli ibu. Satu-satunya orang yang peduli dan secara nyata membantuku adalah Bi Ida, pembantu di rumah.” (Lisa, hal. 177)

Bi Ida namanya. Lisa merasa sungguh disempurnakan segala urusan domestiknya oleh Bi Ida. Lisa memberi gaji dan bonus, menghibahkan tas, baju, kosmetik tak terpakainya untuk Ida. 

Dalam satu ungkapan hatinya, Lisa mengatakan, pengabdian dan kesetiaan Bi Ida untuk keluarganya begitu tak ternilai. Bi Ida sendiri merasa kerasan bekerja di rumah Lisa, sampai tiga tahun masa kontraknya. Dari kampung ke kota, dari tidak tahu menjadi terampil, Bi Ida kerasan menjadi seseorang yang disebut “pembantu” oleh majikannya.

Baca Juga: Hidup Penuh Lemon: Asam Manis Kehidupan 22 Perempuan di Masa Pandemi 

Bagian menyenangkan itu membuat kita seolah-olah merasa bahwa Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga RUU PPRT tidak diperlukan dalam cerita ini. Tapi di sinilah masalahnya. Suatu hari Ida meminta membawa serta Bella, anak perempuannya yang mengidap disabilitas intelektual. Saat permintaan itu dilayangkan, telah diceritakan Bella mengalami kekerasan seksual oleh lelaki anonim yang dikenalnya lewat dating apps. Ida ingin membawa Bella, sebab Bella tidak diurusi oleh orang rumah di kampungnya. Sayangnya, Lisa menolak permintaan Bi Ida mentah-mentah.

Ini mengingatkan saya pada satu artikel yang ditulis Andi Cipta Asmawaty di Konde.co berjudul “Pekerja Rumah Tangga Memiliki Kemiskinan Waktu di Ruang Domestik”. Menurut Andi, “PRT harus bekerja memenuhi kewajiban namun juga harus memenuhi komitmen dalam tanggung jawab domestik di rumah tangga, tapi rumah tangga majikannya.”. Adanya kontrak dengan majikan, membuat PRT memiliki benturan waktu antara tanggung jawab untuk keluarga majikan dan tanggung jawab untuk keluarga sendiri.

Apalagi kebanyakan PRT datang dari desa ke kota—untuk memburu nasib baik. Pada akhirnya Bi Ida memang mendapat nasib baik melalui majikan yang baik. Tapi anak perempuan disabilitasnya terbengkalai di kampung, diperlakukan seperti sampah sebab tak bisa apa-apa, bahkan untuk mengeluarkan satu kalimat saja untuk anak remaja seusianya.

Ini berarti Bi ida punya beban ganda mutlak sebagai perempuan; harus bekerja sekaligus merawat anaknya. Sayangnya, karena tidak ber privilese, Ida harus memutar otak, mencari cara untuk terus hidup. Dan menjadi pekerja rumah tangga di kota adalah pilihan satu-satunya.

Kekerasan Seksual terhadap Anak Disabilitas

Munculnya tokoh Bella menjadikan saya melabeli cerpen ini adalah puncak kesedihan dari semua cerita sebelumnya. Bella ada realitas yang tidak bisa kita tampik sebab kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak disabilitas selalu disajikan dalam data.

Dilansir dari situs Media Indonesia, DATA Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan, telah terjadi 591 kasus kekerasan seksual  terhadap anak penyandang disabilitas sepanjang tahun 2021 lalu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam riset yang diterbitkan oleh Jurnal Medis The Lancet penyebab anak disabilitas lebih rentan mengalami kekerasan seksual adalah hambatan komunikasi dan intelektual.

Dalam cerpen, Ida, keluarganya, hingga warga kampungnya tidak mengetahui istilah “disabilitas intelektual” yang diidap Bella. Mereka hanya melihat Ida tidak mampu berkomunikasi dan belajar seperti anak seusianya—usia remaja tanggung. Solusi ringkas, seperti dalam kebanyakan kasus nyata, Bella dirukyah. Dan ia jelas tidak sembuh.

Penyandang disabilitas intelektual seringkali terpisah dari realitas. Mereka tidak tahu apa yang mereka alami, termasuk jika itu kekerasan seksual yang menghancurkan ketubuhan mereka. Nihilnya kemampuan kognisi penyandang disabilitas intelektual ini saya temukan pada bagian Ida menemukan Bella sedang duduk menangis di pinggir pantai senja itu. Bella bilang ia disentuh lelaki, kenalannya dari aplikasi. Bella bilang sambil menekan-nekan vagina dan payudaranya, “Enak, Mak, Enak.” (Hal. 199).

Ironi, Suatu Kenyatahan Pahit yang Saya Baca dari Satu Cerita Fiksi

Kekerasan seksual tersebut berefek pada kondisi fisik Bella. Bella menjadi sakit-sakitan hingga hanya bisa diam berbaring di kasur. Jauh di ibukota, di rumah majikannya, Ida hanya tahu kabar Bella dari video call. Ida ingin pulang, tapi menunggu saat yang pas meminta izin pada Lisa.

Sampai hari itu datang, Bella meninggal. Ida tidak sempat bertemu dengannya. Ia terlambat sampai rumah ketika bendera kuning telah dikibarkan.

Jauh dari situ, di rumahnya yang tenang, Lisa perlahan-lahan menyesal atas kekeraskepalaannya tidak membolehkan Ida membawa serta Bella ke rumahnya. Bukan berarti Lisa adalah majikan jahat, tapi dalam kasus spesifik ini, ia telah keliru.

“…Sejak itu, aku merasa sebagai majikan biadab dan perempuan paling egois. Mungkin dari dulu sudah begitu dan tidak sadar. Sepanjang aku bisa bayar, aku menjalani kewajiban. Kematianmu menyadarkanku.” (Lisa, hal. 217)

 Mengapa Cerpen Ini Bagus

Singkat saja, cerpen “Bella Biutiful” bagus karena menyerukan realitas kelas dan kekerasan dengan lantang. Relasi majikan-PRT antara Lisa dan Ida, sebaik apa pun bentuk kelekatannya, tetap saja berbicara kelas. Lisa yang seorang menengah ke atas, yang menjadikan dirinya majikan, membuatnya punya kuasa dan dominasi atas Ida. Ida sendiri patuh dan sebisa mungkin menjaga diri supaya jasanya tetap dipakai oleh Lisa karena ia butuh uang.

24 jam 7 hari berada di rumah majikan menjadikan Ida memiliki kemiskinan waktu seperti yang saya sebut di atas. Untuk anak perempuannya di kampung, Ida rela pergi jauh ke seberang demi menjadi PRT dengan gaji tetap tiap bulan yang bukan untuk dirinya.

Peliknya hidup Ida, dengan seorang anak perempuan disabilitas korban kekerasan seksual yang buta jalan menuju keadilan hingga anaknya meninggal. Orang-orang menengah ke atas korban kekerasan seksual saja tidak selalu pasti mendapat keadilan hukum, sosial, dan psikologis, apalagi masyarakat golongan bawah seperti Ida. Ketimbang repot mengurusi visum dan pergi ke polisi, Ida lebih memilih cari duit supaya Bella bisa tetap hidup, sebab ia tahu anak itu tidak akan pernah bisa bekerja mandiri.

Demikian cerpen “Bella Biutiful” dalam buku kumpulan cerpen Mimi Lemon karya Cyntha Hariadi patut kita baca. Menyesakkan, tapi inilah realita hidup perempuan.

Aya Canina

Penulis dan penyair. Menerbitkan buku puisi Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020) dan sedang banyak menulis karya fiksi berperspektif perempuan. Dapat ditemui di Instagram dan twitter @ayacanina.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!