Cara Pemulihan Reputasi Korban Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual 

Stigmatisasi hingga reviktimisasi bisa saja dialami oleh korban penyebaran konten intim non-konsensual karena kontennya terus menyebar. Yuk, lakukan hal ini untuk membantu korban dalam pemulihan.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Halo, Saya Tara. Di lingkungan sekitar saya, ada beberapa korban kekerasan seksual berbasis elektronik baik yang sudah mendapatkan pemulihan psikologis dan yang belum dapat pemulihan psikologis. Bagaimana cara memperbaiki reputasi korban kekerasan seksual secara umum maupun korban kekerasan seksual berbasis elektronik secara khusus bagi yang sudah maupun belum mendapatkan pemulihan psikologis?

Jawab:

Halo Tara. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Kami turut prihatin atas kekerasan seksual yang terjadi pada para korban termasuk yang terjadi di sekitarmu. 

Penting untuk diketahui, kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Itu adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.

Kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di masyarakat yang menimbulkan dampak luar biasa kepada korban. Baik penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Bahkan, juga sangat memengaruhi hidup korban.

Stigmatisasi terhadap Korban 

Setelah mengalami kekerasan seksual, ketakutan yang dirasakan korban semakin kuat karena masyarakat memberikan label atau stigma (stigmatisasi).  

Stigma adalah tanda atau ciri yang menandakan bahwa pemilik stigma membawa sesuatu yang buruk. Ia akan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan orang lainnya. Stigma merupakan label negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. 

Stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual berpengaruh terhadap reputasi korban. Bukan saja menderita akibat kekerasan seksual yang dialami, korban tak jarang yang malah kembali disalahkan secara tidak proporsional. Mereka bisa saja dituding, bahwa terjadinya kekerasan seksual dianggap sebagai kesalahan korban. 

Stigmatisasi terhadap korban kekerasan seksual termasuk penyebaran konten intim non-konsensual ini, tumbuh dan berkembang karena kurangnya pemahaman tentang kekerasan seksual. Serta dampak-dampaknya yang dapat terjadi pada korban. 

Belum lagi, jika sanksi sosial itu juga ditujukan pada korban yang seharusnya mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan. Beragam bentuk sanksi sosial itu misalnya, korban dipersalahkan atas penampilan mereka, cara hidup, dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual—- yang sering kali tidak berhubungan dengan kekerasan seksual yang terjadi pada korban. 

Baca Juga: Diancam Pacar Sebar Konten Intim Non-Konsensual? Jangan Panik, Lakukan Hal Ini

Bagi Korban kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), konten intim yang tersebar di ruang digital menciptakan stigma tersendiri bahwa “bukti digital abadi” sebagai penyumbang utama penilaian buruk terhadap reputasi korban. 

Padahal, dampak dari stigmatisasi terhadap korban ini bisa serius. Yaitu, berdampak pada kondisi psikologis korban. Dampak psikologis korban kekerasan seksual biasanya akan mengalami trauma yang mendalam. Apabila korban tidak mendapatkan bantuan, pertolongan, dan pendampingan psikologis, maka dapat berujung pada munculnya gangguan psikis. Seperti cemas, depresi, bipolar, psikotik dan gangguan kepribadian sampai dengan keinginan untuk bunuh diri. 

Korban biasanya menyalahkan dirinya sendiri dan berpikir bahwa kekerasan seksual adalah aib seumur hidupnya. Oleh karena itu, setiap Korban kekerasan seksual wajib mendapat pemulihan psikologis agar mampu mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial Korban.

Perbedaan korban yang telah mendapatkan pemulihan psikologis dan yang belum mendapat pemulihan psikologis, biasanya terlihat pada kestabilan psikologis Korban. 

Korban yang sudah mendapat pemulihan psikologis memiliki kecenderungan mampu mengelola emosi dan meningkatnya kesadaran untuk berupaya mencari keadilan termasuk memperbaiki reputasi diri atas kekerasan seksual yang terjadi.

Maka dari itu, pentingnya korban mendapatkan perlindungan dari stigmatisasi serta pemulihan reputasinya. 

Negara melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah mengakomodir hak untuk dilupakan (Right to be forgotten) yang diwujudkan dalam bentuk hak atas penghapusan konten bermuatan seksual. Ini untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik dalam (Pasal 70 ayat 2 huruf l UU TPKS). Hak tersebut merupakan bagian dari hak korban atas penanganan dan atas pemulihan sebelum dan selama proses peradilan.

Hak Penghapusan Konten Bermuatan Seksual di Elektronik Bisa Memperbaiki Reputasi Korban 

Bagi Korban KSBE dapat diaksesnya konten dan distribusi konten yang tidak dapat dikontrol penyebarannya menimbulkan penghakiman dan rentan terjadinya penyalahgunaan konten. Posisi korban sering dikaburkan dan seringkali dianggap sebagai pelaku ‘pornografi’.

Maka, penghapusan dan/ pemutusan akses informasi elektronik yang bermuatan kekerasan seksual, dapat memperbaiki reputasi korban dalam jangka panjang. Sebab, konten itu akan berhenti diakses yang berdampak pada kekerasan terhadap korban secara terus menerus.  

Pemerintah Pusat berwenang melakukan penghapusan dan/ atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pasal 46 ayat 1 UU TPKS). 

Selanjutnya, demi kepentingan umum, jaksa dapat mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri untuk memerintahkan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika menghapus informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pasal 47 UU TPKS). 

Namun, dalam penerapannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sambil menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana, kamu dapat membantu memperbaiki reputasi korban dengan cara:

·       Mulai gerakan #ReportAndBlock, laporkan dan blokir konten bermuatan seksual kepada penyelenggara sistem elektronik

·       Ajak Masyarakat untuk ikut #ReportAndBlock bukan #LikeAndShare karena setiap pemutusan dan penghapusan konten bermuatan seksual sangat membantu Korban kekerasan seksual berbasis elektronik dan diharapkan mampu menurunkan dampak kekerasan seksual yang dialami korban

Selain itu, kamu juga bisa melakukan beberapa hal berikut ini: 

Pertama, kamu dengan segala sumber daya dan kesempatanmu, bisa memberi edukasi sekitar untuk berhenti menyalahkan korban. Kamu bisa juga memberi pemahaman mereka soal bentuk-bentuk kekerasan seksual termasuk dampaknya bagi korban. 

Ingat, korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, ekonomi, hingga sosial dan lainnya akibat tindak pidana kekerasan seksual. Maka, hak pemulihan korban mesti kita berikan dukungan. 

Kedua, kamu bisa membantu memberikan informasi adanya kejadian kekerasan seksual kepada aparat penegak hukum, lembaga pemerintah, dan lembaga non-pemerintah. Ini berguna agar korban bisa segera ditangani dan mendapatkan hak-hak pemulihannya sebagai korban. 

Baca Juga: 7 Negara Di Dunia Punya Aturan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik, Seperti Apa?

Ketiga, kamu bisa berikan dukungan pemulihan bagi korban. Misalnya langkah sederhana kamu jadi support systemnya atau mencari layanan bantuan. Utamanya, saat dia mendapatkan stigmatisasi dan terisolasi di lingkungannya.  

Keempat, jika memang dibutuhkan dan memungkinkan bagimu, kamu bisa membantu korban dalam meluruskan mitos dan stereotip yang beredar yang merusak reputasi korban. Tentunya, dengan memperhatikan keselamatan korban dan dirimu dari berbagai potensi negatif.  

Mengapa hal-hal tersebut penting? Dikarenakan korban tidak semestinya berjuang sendiri untuk bisa melakukan upaya penghapusan stigma dan memperbaiki reputasinya. Partisipasi masyarakat dan berbagai pihak harus memberikan dukungan. 

Tutut Tarida

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!