Fatayat NU merupakan sebuah badan otonom Nahdlatul Ulama/ NU yang dikelola oleh perempuan. Karena berbasis pada perempuan, alangkah menariknya jika melihat bagaimana kontribusi komunitas ini pada isu-isu perempuan secara lebih luas.
Saya melihat, idealnya komunitas semacam ini bukan hanya berfokus pada kegiatan keagamaan, melainkan dapat menjadi ruang bagi diskusi menyangkut perempuan secara umum, baik pendidikan, pemberdayaan dan penguatan perempuan.
Di Indonesia, hak-hak perempuan dan anak sebenarnya telah diatur untuk memenuhi dan melindungi hak asasi. Namun, di sisi lain, ada berbagai pengalaman perempuan di akar rumput yang tidak bisa hanya dilihat dari aturan normatif atau hukum. Karena itulah, adanya komunitas perempuan NU seperti Fatayat NU menjadi penting untuk setidaknya mendiseminasikan gagasan tentang hak, penguatan kapasitas dan pemberdayaan perempuan di level lokal.
Beberapa isu nasional yang menyangkut perempuan diantaranya adalah soal pelecehan seksual, buruh migran perempuan dan pernikahan dini. Isu-isu ini ramai diperbincangkan di media sosial belakangan ini. Dalam konteks itu, posisi perempuan terancam dan mengalami diskriminasi. Banyak sekali kasus pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan. Dalam hal ini, Fatayat NU Blitar berupaya menjawab tantangan ini.
Baca Juga: Ketum PBNU Menolak Feminisme? Melihat Teks dan Konteks Pernyataan Ini
Fatayat NU Blitar pernah melakukan kerjasama dengan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Blitar untuk mengadukan berbagai hal yang terkait dengan ibu dan anak. Salah satu hal yang difokuskan dalam hal ini adalah menyediakan konseling bagi perempuan yang mengalami pelecehan seksual.
Selain itu, konseling pada perempuan ditujukan untuk pemulihan korban. Melalui advokasi berbasis komunitas, hal ini diharapkan mampu untuk mempermudah penyelesaian kasus-kasus diskriminatif yang dialami oleh perempuan di akar rumput. Dalam konteks ini, Fatayat NU, perlu diakui telah membuka diri untuk terlibat dalam penyelesaian masalah perempuan seperti KDRT dan kekerasan seksual.
Selain itu, dalam konteks pemberdayaan ekonomi, Fatayat NU Blitar mengadakan sosialisasi pertanian untuk pemajuan ekonomi perempuan. Selain edukasi terkait pertanian dan pemanfaatan teknologi, sosialisasi ini juga memberikan program bantuan kepada petani.
Kegiatan semacam ini sangatlah penting untuk mendorong pemberdayaan masyarakat dan perempuan. Upaya ini tentu sangat baik untuk membantu kesejahteraan perempuan. Namun, sejauh mana program semacam itu bisa dioptimalkan untuk mengatasi kemiskinan?
Faktanya, di Blitar masih banyak buruh migran yang bekerja di luar negri. Kebanyakan dari mereka mengaku bahwa permasalahan ekonomi adalah alasan mengapa mereka memutuskan untuk bekerja sebagai perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Baca Juga: Pengalaman Tinggal di Kampung Pekerja Migran: Perempuan Pulang Jadi Korban Kekerasan
Mengutip data yang disampaikan Sistem Komputerisasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Blitar menempati urutan kedua penyumbang terbanyak PMI di Jawa Timur dengan lebih dari 9000 penempatan. Fakta ini menunjukkan bahwa masih banyak perempuan yang secara ekonomi masih belum sejahtera. Hal ini berdampak serius pada aspek lainnya seperti pengasuhan anak misalnya, karena fenomena itu juga yang melatarbelakangi tingginya kasus perceraian.
Poin pentingnya kemudian adalah dengan angka buruh migran yang tinggi, banyak anak di pedesaan yang tidak mendapat hak-nya sebagai anak, seperti pola asuh yang tepat. Akibatnya banyak anak yang mengalami broken home. Selain itu, berita populer belakangan mengatakan bahwa ada banyak anak-anak di bawah umur yang mengajukan dispensasi menikah di Pengadilan Agama Blitar.
Fenomena ini merupakan mata rantai bagaimana rendahnya kesejahteraan sosial pada perempuan, dapat menyebabkan berbagai hal komplek mulai dari pekerja migran, disharmoni keluarga, hingga pernikahan dini yang massif terjadi.
Saya melihat bahwa penguatan dan pemberdayaan perempuan belum secara optimal bisa dikerjakan oleh negara. Selain itu, upaya yang dilakukan Fatayat NU tampaknya belum signifikan untuk mengentaskan kemiskinan yang dialami oleh perempuan dan masyarakat.
Baca Juga: ‘Perempuan Nakal, Bodoh dan Bisa Diperdaya’: Stop Labeling Perempuan Pekerja Migran
Menurut saya, Fatayat NU sebaiknya menjadi lebih kreatif dan memperkaya ruang-ruang kolaboratif dengan lembaga pemerintah, NGO atau bahkan komunitas ekonomi kreatif lainnya. Kolaborasi dengan Dinas Pertanian misalnya, tentu hanya terbatas dan relevan bagi mereka yang memiliki lahan untuk menerapkannya. Sektor lain seperti industri kreatif, perlu diakomodir untuk memperluas akses perempuan supaya mereka bisa keluar dari situasi kemiskinan.
Karena itulah, isu ini penting untuk diangkat, dengan mempertimbangkan bagaimana rawannya posisi perempuan dalam sebuah masyarakat.
Fatayat NU di Blitar telah menginisiasi kegiatan untuk mengatasi problem sosial yang dihadapi perempuan. Namun, sekali lagi, hal itu adalah langkah awal. Masih terdapat problem perempuan yang sepenuhnya belum mampu diselesaikan secara tuntas. Saya berharap kajian ini bukan hanya sebatas pada kontributif teoritik, tetapi juga bisa berkontribusi praktis untuk pengembangan program-program Fatayat NU dalam mengadvokasi dan membangun perempuan yang lebih baik dan sejahtera.
Komunitas keagamaan semacam ini, memang harus mampu berkontribusi lebih pada persoalan perempuan secara umum, bukan hanya berorientasi pada aktivitas keagamaan. Tantangan yang dihadapi perempuan, dengan begitu bisa diselesaikan secara bersama. Dengan begitu, agama atau lembaga agama seharusnya dapat menyelesaikan tantangan dan problem sosial.