Pada Kamis (7/9/2023), sebuah video menunjukkan penangkapan seorang perempuan di pinggir jalan oleh sekelompok laki-laki di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dalam video yang viral itu ditunjukkan, perempuan itu digotong paksa dan diangkut ke dalam mobil pick-up, lalu dibawa pergi. Peristiwa itu disebut sebagai ‘kawin tangkap’.
Diketahui, hal itu merupakan ‘kawin tangkap’ yang selama ini dikenal sebagai tradisi di Sumba. Meski disebut tradisi, praktik itu langsung mendapatkan berbagai reaksi negatif dari warganet.
Banyak yang terkejut dan mengecam aksi tersebut. Pasalnya, kawin tangkap adalah suatu bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Kecaman juga datang dari Komnas Perempuan. Melalui Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada Konde.co, Rabu (13/9/2023), Komnas Perempuan menyesalkan kawin tangkap yang terjadi di Sumba pada pekan lalu.
“Tindakan ini merampas hak perempuan untuk memasuki perkawinan secara sukarela, yang merupakan syarat sah perkawinan menurut UU Perkawinan,” tulis Komnas Perempuan.
“Ini berarti, tindak kawin tangkap melanggar hak konstitusional warga untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Hal ini juga bertentangan dengan tujuan perkawinan yaitu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.”
Tentang Kawin Tangkap di Sumba
Penulis dan aktivis asal Sumba, Martha Hebi, mengatakan bahwa kawin tangkap telah terjadi sejak zaman dulu. Di Sumba Tengah, aksi itu dikenal dengan istilah yappa maradda.
“Kalau zaman dulu, memang konteks sosialnya salah satunya untuk kepentingan perjodohan. Untuk orang yang memiliki hubungan antara laki-laki dan perempuan,” ujar Martha Hebi saat dihubungi Konde.co, Rabu (13/9/2023).
Lanjut Martha, pada zaman dulu demi keamanan perempuan, baik orang tua pihak laki-laki maupun perempuan sama-sama tahu sosok yang akan menjadi suami perempuan tersebut.
Maka dari itu, biasanya mereka memiliki relasi biologis maupun sosiologis. Misalnya, perjodohan antara perempuan dengan anak laki-laki dari tantenya, atau sebaliknya.
Namun di masa itu, yappa maradda juga bisa terjadi tanpa sepengetahuan orang tua pihak perempuan. Pengambilan paksa perempuan kerap terjadi di tempat umum, mulai dari di sawah sampai pasar. Aksi itu pun terjadi di siang hari atau saat matahari hadir, dan tidak bisa dilakukan saat gelap.
“Kalau sekarang ini, yang paling banyak terjadi itu di Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya,” kata Martha.
“Kalau misalnya keluarga laki-laki sudah mengambil sang nona, biasanya mereka mengirim utusan untuk beri tahu keluarga. Bahwa nona ini, anak perempuanmu, ada di kami.”
Kendati disebut-sebut sebagai bagian dari tradisi, praktik itu menuai kontroversi lantaran merenggut hak perempuan. Selain itu, jelas bahwa perempuan mengalami berbagai jenis kekerasan saat kawin tangkap terjadi.
“Di dalam kawin tangkap ini ada kekerasan fisik, kekerasan verbal. Orang omong apa saja, jadi kekerasan psikis,” kata Martha.
Kekerasan lain yang juga dialami perempuan dalam tradisi itu adalah kekerasan seksual. Kala perempuan diambil paksa, para pelaku secara sengaja maupun tidak sengaja memegang bagian-bagian tubuh perempuan di luar kendali dan keinginannya.
Baca Juga: Maskulinitas Laki-Laki Yang Harus Dilawan Dalam Kawin Tangkap
Tahun 2019, Martha pernah mewawancarai seorang perempuan penyintas kawin tangkap dari tahun 1980-an. Bahkan puluhan tahun setelah kejadian, rasa sakit dan trauma masih tampak dari bahasa dan perkataan perempuan tersebut saat diwawancara.
“Itu mengerikan dan membuat trauma berkepanjangan,” kata Martha.
“Betapa luka yang mendalam. Oke, bahwa dia sudah bisa hidup dengan suaminya. Tetapi ada luka secara personal, yang akhirnya dia ungkapkan di masa-masa tertentu.”
Pada masa lampau, kawin tangkap mungkin terjadi karena konteks zaman yang belum melek akan kesetaraan dan keadilan gender. Sayangnya, aksi tersebut masih terjadi hingga saat ini. Bahkan ketika Indonesia sudah meratifikasi CEDAW serta memiliki undang-undang dan kebijakan yang mengatur hak asasi manusia (HAM), juga Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Pertanyaannya, kenapa kok hari ini masih terjadi? Di saat kita sebagai warga negara, masih ada kekerasan-kekerasan yang diidentifikasi sebagai kekerasan berbasis gender, berbasis budaya, bisa terjadi hingga saat ini,” ungkap Martha.
Belum Ada Perda Spesifik, Pendekatan Humanis Harus Diterapkan
Sepengetahuan Martha, belum ada peraturan daerah (Perda) yang secara langsung menyebutkan isu kawin tangkap. Namun, “Tahun 2020, sempat ada MoU antara bupati empat kabupaten di Sumba dengan pemerintah Provinsi,” jelasnya.
Pertemuan tersebut merupakan respon dari dua kasus kawin tangkap yang terjadi di satu desa yang sama dalam rentang waktu kurang dari seminggu. Hal itu pun menjadi titik tolak kesadaran masyarakat akan urgensi penghentian kawin tangkap.
Martha tetap mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti isu tersebut. Memang, ujarnya, adanya peraturan mengenai kawin tangkap dan hukumannya bagi pelaku itu penting. Namun kebijakan apa pun yang dibuat pemerintah tidak akan berarti jika mereka melakukan pendekatan yang keliru pada masyarakat adat yang masih menjalankan tradisi kawin tangkap.
Menurut Martha, pendekatan humanis terutama penting dalam upaya mencapai kesepakatan dengan tokoh-tokoh adat terkait tradisi itu. “Apakah pemerintah sudah mencoba pendekatan-pendekatan dengan tua-tua adat?” Tanyanya.
“Bagi kami, jauh lebih penting ketika pemerintah daerah mulai membangun komunikasi intens dengan tua-tua adat,” tegas Martha. “Dengan jaringan masyarakat sipil, maupun selalu melakukan kampanye ke akar rumput.”
“Jaringan masyarakat sipil sendiri sudah melakukan. Sebenarnya, kekuatan pemerintah sebagai penjaga, penjamin, penyangga keamanan warga, perlu secara tegas melihat ini sebagai hal yang mendesak untuk dilakukan.”
Baca Juga: Magi Diela: Begini Rasanya Menjadi Korban Kawin Tangkap
Dengan pendekatan yang tepat kepada tokoh dan masyarakat adat, lanjut Martha, persoalan hukum adat akan lebih mudah dihadapi. Jadi, orang-orang dapat melihat kawin tangkap sebagai kejahatan kemanusiaan alih-alih bagian dari tradisi.
“Tua-tua adat ini juga orang yang punya hati, memahami isu itu. Yang ketika kita sampaikan dari hati ke hati, sentuh hati mereka untuk isu kemanusiaan,” ujarnya.
Menurut Martha, tentunya pengalaman ngeri perempuan dalam situasi kawin tangkap hanya bisa dipahami dan dirasakan oleh sesama perempuan. Namun tidak ada yang salah jika hendak coba mendekati para tetua adat untuk meluruskan ‘tradisi’ yang keliru.
“Pemerintah bisa melakukan ini. Dibandingkan secara buru-buru dan tergesa-gesa hanya untuk reaktif menghadapi tekanan publik,” imbuhnya.
Mendesak Peraturan Turunan UU TPKS
Di sisi lain, Indonesia saat ini memang sudah punya UU TPKS, yang mengatur kekerasan seksual sebagai tindak pidana. Komnas Perempuan dalam rilis pandangannya terhadap kasus kawin tangkap yang baru-baru ini terjadi, juga menilai bahwa langkah polisi untuk menggunakan UU TPKS pasal 10 adalah bentuk kemajuan.
“Dengan rujukan pada UU TPKS, bersama dengan Pasal 328 sub Pasal 333 KUHP Junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, korban diharapkan dapat memperoleh pelindungan yang lebih mumpuni. Meurujuk kepada UU TPKS, korban juga dapat mengakses sejumlah layanan yang menjadi haknya, termasuk atas pelindungan, pendampingan dan pemulihan,” demikian pandangan Komnas Perempuan.
Namun bagi Martha Hebi, hal itu masih belum cukup. Pasalnya, penerapan UU TPKS sesungguhnya tetap membutuhkan sejumlah perangkat hukum turunan. Tampak belum ada peraturan turunan untuk digunakan pada kasus-kasus spesifik, seperti persoalan kawin tangkap di Sumba.
“Saya rasa ini juga jadi momentum yang baik, agar pemerintah mulai membuat peraturan turunannya, peraturan pemerintah. Dan itu mesti menjadi panduan,” kata Martha.
Kawin tangkap menjadi satu dari sekian jenis kasus penting yang membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Kasus seperti ini bisa jadi contoh, betapa mendesaknya kebutuhan peraturan turunan UU TPKS.
“Sekian tahun lalu kami bicarakan itu. Dan sekarang, setelah undang-undang tersebut jadi, ini terjadi lagi, dan ini membutuhkan aturan turunannya,” Martha menegaskan.
Stop Kawin Tangkap: Bukan Melawan, Tapi Melindungi Adat Sumba
Martha meluruskan, bukan berarti seluruh praktik budaya adalah keliru. Namun masyarakat tidak bisa terus menutup mata akan fakta bahwa ada beberapa tradisi dan praktik budaya seperti kawin tangkap di Sumba, yang sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan karena melanggar HAM.
“Jadinya orang di luar Sumba berpikir bahwa adat Sumba ini ‘brutal’, ‘orang Sumba ini jahat’,” kata Martha. “Jadinya pandangan terhadap tradisi kita, budaya kita, itu menjadi negatif di mata orang luar.”
Tegasnya, budaya dan tradisi Sumba sebetulnya banyak yang sangat baik dan berpihak kepada perempuan, manusia, dan lingkungan. Ia berharap, jangan sampai tradisi dan budaya baik di Sumba tertutupi oleh wacana negatif akibat tradisi kawin tangkap.
Mengakui kawin tangkap sebagai tradisi yang menindas perempuan dan harus dihentikan adalah sebuah langkah pula untuk melindungi budaya Sumba secara menyeluruh. Hal ini penting diingat termasuk oleh para laki-laki Sumba, tutur Martha. Sebab, fenomena kawin tangkap justru dapat merendahkan martabat mereka.
“Kasihan juga teman-teman kita, laki-laki. ‘Eh, jangan dekat-dekat dengan laki-laki Sumba!’ Karena orang melihat sepintas budaya Sumba (yang buruk).”
Baca Juga: Pandangan Laki-Laki tentang Kawin Tangkap: Perempuan Hidup di Lingkungan Patriarki
Martha mengatakan, sebetulnya banyak sekali laki-laki Sumba yang tidak sepakat dengan aksi kawin tangkap. Isu ini memang bukan untuk menghadapkan laki-laki versus perempuan Sumba. Alih-alih, membahasnya adalah upaya untuk mengatasi ketimpangan gender dalam konstruksi sosial terhadap perempuan.
Terang Martha, “Mungkin ini momen yang bagus juga untuk duduk bersama dan memulai refleksi. Mana sih, tradisi yang bisa kita lanjutkan?”
“Kalau mau lebih cepat untuk saat ini, tokoh adat (bisa) menolak ketika ada yang mengajak dirinya untuk menjadi juru bicara adat dalam praktik kawin tangkap. Tolak, karena ini melanggar hak-hak dan nilai-nilai kemanusiaan. Terutama terhadap perempuan.”
Sedangkan kepada masyarakat umum, Martha meminta agar isu ini jangan dilihat sebagai kasus orang Sumba saja. Masalah ketimpangan gender dalam konstruksi sosial adalah persoalan global yang tidak memandang lokus geografis tertentu.
Meski bentuknya berbeda-beda, bias gender dalam konstruksi sosial sesungguhnya masih terjadi di mana-mana. Kawin tangkap di Sumba hanya salah satu contoh dari sekian banyak praktik tersebut.
“Saya mengajak agar kita tidak memandang batas-batas geografi. Tapi mari kita lihat ini sebagai gerakan bersama untuk banyak pihak di mana pun berada. Cukup sudah praktik kawin tangkap, kawin paksa—praktik-praktik perendahan martabat perempuan. Praktik ketidakadilan atas nama apa pun,” pungkas Martha.
Membangun perspektif HAM dan gender dalam menilik kasus ini, serta mendesak dihentikannya tradisi tersebut, sesungguhnya bukan upaya melawan adat. Sebab musuh sesungguhnya adalah ketidakadilan konstruksi sosial terhadap salah satu gender.