Andai ‘Orpa’ Didengar, Kisah Anak Perempuan Papua

Orpa merepresentasikan anak perempuan yang ingin lepas dari tanggungan peran gender untuk pulih dari trauma keluarga. Andai perempuan didengar, seorang pasti masih hidup. Film Orpa segar, mencerminkan Papua dari sudut pandang orang Papua-nya langsung. Film ini juga hangat dan bikin kita banyak senyum.

Kemarin, saya memenangkan cendera mata, lalu ditraktir nonton Film Orpa. Film ini mengisahkan seorang anak perempuan yang baru lulus sekolah dasar dan kabur dari rumah karena akan dinikahkan dengan lelaki kaya beristri. 

Tak mau menikah dan menjadi ibu rumah tangga, Orpa (Orsila Murib) memutuskan untuk melarikan diri suatu malam untuk mengejar mimpinya bersekolah di Wamena, di mana dia ingin belajar lebih banyak tentang efek medis dari tanaman Papua. 

Rambut Orpa disisir, wajahnya dibedaki. Lalu, Ester–sang ibu (Otiana Murib)–memasangkan perhiasan mengalungi lehernya, menunjukkan bahwa Orpa sudah tumbuh dewasa. Dinamika ibu dan anak perempuan yang rasanya biasa saja, tetapi jadi berbeda saat penonton tahu bahwa ada yang beradu di dalam kepala keduanya. 

Rumah mereka sederhana, dibuat begitu menyatu dengan hadiah alam yang menggambarkan jelas pembangunan di Papua sana: minim. Biasanya, modernisasi dikaitkan dengan superioritas, tetapi stereotipe itu dipatahkan lewat dialog antara dua orang Papua dan satu orang Jakarta. Terwujud dari tipu daya soal “kanguru pohon”–hasil kawin kanguru dan kuskus–yang berhasil menipu sang modern.

Mungkin, film ini juga menunjukkan bahwa uang bukan semata kuasa. Kuasa orang kota adalah uang; kuasa orang Papua adalah kedekatannya dengan tanah yang mereka tempati. Namun, ada kuasa yang jauh di atas milik manusia, yaitu hukum alam yang tampil lewat serangan babi hutan. 

Baca juga: ‘Burung pun Tak Ada Lagi’: Riset Kondisi Perempuan Papua

Sistem sosial patriarki menjadikan perempuan–apalagi anak-anak–sebagai subordinat di bawah laki-laki. Membatasi perempuan terpaku pada dapur dan jaga anak sehingga mengejar cita-cita hanyalah angan belaka. 

Karakter Orpa merepresentasikan anak perempuan yang ingin lepas dari tanggungan peran gender untuk pulih dari kejadian traumatis yang dialami keluarga. Andai perempuan didengar, seorang pasti masih hidup. Andai perempuan boleh memilih, sekeluarga pasti masih akur. 

Secara personal, saya senang dengan dialog dan dinamika antara Orpa dan ibunya yang terjadi di beberapa bagian awal film. Penonton dapat merasakan kegelisahan dan umpatan ucap serta rasa yang terjadi dalam benak sang ibu (Otiana Murib). Kita dibuat paham lewat ucapan sang ibu yang berusaha mengerti anaknya, di satu sisi ia juga korban internalisasi patriarki dari generasi keluarga. Percakapan Orpa dan sang ibu sekali menohok, berkali-kali buat haru.

Di luar pesan soal peran gender perempuan, penulis cerita juga berusaha menampilkan ketidakadilan yang terjadi di Papua: miskin buku, minim guru, minim sekolah–efek “dimiskinkan” negara. Namun, Theo juga berusaha menunjukkan kekayaan daerah Timur yang tak terelakkan lewat sinematografi pemandangan Papua yang mengagumkan. Saya merasa beruntung bisa menyaksikan pemandangan Papua yang jernih via layar lebar bioskop kemarin.

Baca juga: Problem Perempuan Papua: Selalu Punya Hambatan Berkiprah di Ruang Publik

Orpa lalu berjumpa dan menjalin pertemanan dengan musisi lelaki dari Jakarta, Ryan (Michael Kho). Ryan ia temui secara tidak sengaja di tengah pelariannya itu. 

Saya mengagumi pemilihan karakter Ryan yang menggambarkan orang kota yang sekaligus mendobrak stereotipe tentang peran gender laki-laki. Ryan tak banyak memimpin, tak selalu yang mengambil keputusan, tidak kasar dan brutal, serta bisa menangis juga. Karakternya mencoreng miskonsepsi soal maskulinitas lewat penunjukkan sisinya yang lembut dan mau dipimpin.

Sebaliknya, karakter Orpa tangguh, berani, dan banyak wawasan. Tak sedikit pun kami ditontonkan bagian ia menangis, pasif, atau hanya mengikuti keputusan laki-laki. Orpa adalah gambaran perempuan yang saya dambakan untuk lebih banyak dicerminkan di perfilman dan terwujud dalam realitas kehidupan.

Menurut saya, penambahan beberapa karakter tiba-tiba dalam film ini jadi printilan penyegar yang tetap punya nilai. Seorang Mama yang mereka temui di tengah hutan seakan mengisi alur kosong saat mereka tersesat tengah malam. Di lain sisi, monolog singkat perempuan ini mengingatkan pada ajaran yang pernah saya terima tentang kefanaan (annica) sebagai salah satu aspek kehidupan. Bahwa mengharapkan kekekalan dalam hidup permanen hanya menyebabkan penderitaan pada manusia itu sendiri.

Baca juga: Direndahkan dan Dianggap Buruk: Yang Dialami Perempuan Papua

Annica mengajarkan agar manusia mengendalikan apa yang bisa dikendali saja, dan melepas kendali apa yang tidak bisa dikendalikan. Orpa menderita atas kehilangan yang dialaminya, trauma melanda ia dan keluarga. Namun, Orpa jadikan luka lama itu sebagai senjata untuk berjuang meraih cita-cita dalam hidupnya.

Saya harap semakin banyak perfilman yang menjadi antitesis konstruksi peran gender yang selama ini ada. Semakin banyak juga karya yang mengangkat kekayaan budaya dan identitas rakyat Indonesia menjadi budaya yang populer dan tidak Jawa-sentris melulu. 

Ditambah lagi, sutradara sekaligus penulis cerita dan pemeran film Orpa adalah orang yang benar berasal dari Papua langsung sehingga film terasa lebih otentik serta personal.

Film ini tayang perdana pada 27 November 2022 melalui program kompetisi JAFF Indonesian Screen Awards festival film Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022. Pada festival tersebut, Orsila Murib berhasil memenangkan penghargaan Best Performance untuk penampilannya sebagai Orpa.

Saya harap kita semua dapat turut mendukung dan merayakan kemajuan industri perfilman Indonesia ini.

(Foto: MUBI)

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!