'Open Mic' Perempuan Pemilu

‘Open Mic’ Perempuan Pemilu: Politisi Sibuk Pasangkan Capres, Tak Ada Tawaran Konkret untuk Perempuan

Politisi sibuk pasang-memasangkan Capres dan Cawapres. Tapi satu hal yang absen, tak ada tawaran konkret yang bisa menjawab persoalan riil yang dihadapi perempuan dan kelompok marjinal saat ini.

Para aktivis perempuan bicara soal situasi dan harapan jelang Pemilu 2024. Mulai dari isu partisipasi politik perempuan, toleransi dan keberagaman, hingga keberpihakan terhadap perempuan, marginal serta disabilitas.  Apa saja suara mereka?

Para aktivis perempuan satu suara, mereka mendesak komitmen negara untuk Pemilu yang setara, berkeadilan dan inklusif. 

Open mic diawali oleh Lilis Listyowati, Direktur Eksekutif Kalyanamitra yang menyoroti soal pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia yang belum tercapai. Salah satunya, keprihatinannya soal RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang hampir 20 tahun ini masih menggantung. 

“Ini mengingatkan bagaimana selama ini, partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan itu penting dihadirkan,” ujar Lilis, dalam open mic daring yang diinisiasi Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia, AMAN Indonesia, pada Senin (28/8). 

Kaitannya dengan politik, Lilis bilang, kebijakan afirmasi bagi perempuan dalam politik itu 30%. Namun, jangankan jumlah itu bisa dicapai, sampai 20% pun masih sulit. Maka, aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal pembulatan ke atas sudah semestinya terus didorong. 

Dia mendorong adanya ruang konsolidasi bersama untuk mengawal proses-proses pemilu 2024. Tak terkecuali kalangan masyarakat sipil untuk terus bersatu mendesakkan amanat UU yaitu keterwakilan perempuan. Bukan hanya secara jumlah, namun juga substansi. “Pesta demokrasi yang setara, inklusif, dan demokratis,” katanya. 

Hal itu pula yang disuarakan oleh Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bahwa affirmative action bagi keterwakilan perempuan di politik itu jangan sampai semakin diperkecil. Salah satunya, melalui pembulatan ke bawah yang banyak ditentang aktivis perempuan dan demokrasi. 

Baca Juga: ‘Infobesity’ Rentan Terjadi Pada Pemilih Pemula Menjelang Pemilu 2024

Mike mendorong, negara dan penyelenggara pemilu harus memperhatikan ini. “Bagaimana memperkuat affirmative action (keterwakilan perempuan di politik–red),” ujarnya. 

Imam masjid Istiqlal yang hadir dalam open mic itu, Nasarudin Umar, juga berkomentar. Dia mendorong para pemuka agama dan tokoh masyarakat bisa mengambil peran dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. 

“Tokoh-tokoh agama perlu lebih kencang menyuarakan partisipasi perempuan, jangan direduksi karena ayat dan hadist. Ambil hadits yang sebaliknya, spirit Al-Qur’an kebersamaan, toleransi,” imbuh Nasarudin. 

Kebijakan Diskriminatif Berbasis Agama

Berbagai peraturan daerah yang berpotensi mendiskriminasi perempuan, juga semestinya dihapuskan. Hal itu disampaikan oleh Suraiya Kamaruzzaman dari Balai Syura. Dia menyoroti kebijakan di Aceh yang menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Seperti, qanun jinayat yang berpotensi tidak dapat diterapkannya UU TPKS. 

“Inilah pentingnya perempuan dalam keterlibatan eksekutif legislatif. Saya prihatin dan kecewa mundurnya keterwakilan perempuan, (karena) elemen krusial memastikan keberagaman pandangan dan pengalaman mengambil keputusan. Kesetaraan gender, perlu upaya kolektif,” kata dia.  

Ruby Kholifah, Direktur AMAN Indonesia juga menyampaikan keprihatinannya atas isu perundungan dan terancamnya kebebasan berekspresi atas nama agama. Salah satunya soal kasus di Lamongan. Yaitu, guru yang mencukur paksa belasan siswinya, dikarenakan mereka tidak menggunakan ciput jilbab. 

Tak hanya di Lamongan, dia juga menyorot berbagai sekolah negeri lain di Indonesia. Misalnya saja, yang menerapkan aturan wajib jilbab termasuk bagi siswi yang tidak beragama Islam. Bagi Ruby, jelas hal tersebut merampas kebebasan berekspresi dan sekolah tidak mencerminkan ruang aman bagi murid. 

Baca Juga: 5 Hal tentang Pemilu Indonesia 2024, Disebut Pesta Demokrasi Terbesar di Dunia

Ia menambahkan, isu perundungan juga jadi ancaman baik secara langsung maupun sosial media. Misalnya saja perundungan karena minoritas agama dan ekspresi gender. Praktiknya di sekolah, Ia mencontohkan, ada anak-anak yang nilai rapor di pelajaran agamanya dikurangi atau dikosongi, karena label ‘ahmadiyah’

Hal tersebut bisa terjadi, kata dia, karena adanya tafsir tunggal agama dipaksakan. Cara pandang masyarakat yang lebih mengutamakan cara pandang simbolik dikampanyekan pula di sejumlah institusi pendidikan. Juga penyimpangan dalam pembuatan regulasi termasuk sinkronisasi kebijakan nasional dan daerah. 

Maka dari itu, dia menekankan, wakil rakyat dan pemimpin Indonesia nantinya, haruslah punya cara pandang berperspektif perempuan dan minoritas, terbuka dan mengedepankan toleransi. Dibandingkan sebatas kepentingan politik dan mencari ‘popularitas’ dengan mengendarai agama. 

Tak Hanya Jargon, Tapi Responsif 

Daniel Awigra, Deputi Direktur Human Rights Working Group (HRWG), melihat situasi hari ini masyarakat banyak diperlihatkan politisi sibuk pasang-memasangkan koalisi Capres dan Cawapres. Tapi satu hal yang absen, adalah tak ada tawaran program konkret yang bisa menjawab persoalan riil yang dihadapi utamanya perempuan dan minoritas saat ini. Misalnya, isu polusi udara, perusakan lingkungan, korupsi yang merajalela, hingga berbagai pelanggaran HAM yang tak juga dituntaskan. 

Dewi Tjakrawinata dari Yapesdi menambahkan, perempuan disabilitas selama ini juga seringnya hanya jadi “objek ketertinggalan.” Betapa minimnya isu disabilitas jadi perhatian dan kepedulian. 

Dia berharap, agar calon legislatif 2024 punya kepedulian terhadap disabilitas, punya program kerja yang jelas dan berpihak perbaikan akses hidup, dan menjamin kesetaraan. Selain itu, penting juga memasukkan representasi dari perempuan disabilitas dalam parlemen. 

Olivia Ch Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan lantas menyoroti harus adanya perubahan pola pikir dan cara pandang penentu kebijakan dan partai politik. Pendidikan politik dengan isu perempuan dan minoritas harus terus ditumbuhkan. Perempuan juga harus diberikan kesempatan dan suara dalam berpolitik dan punya posisi strategis menentukan kebijakan. 

Keterlibatan perempuan dalam politik tak bisa diremehkan. Iwan Misthohizzaman, Direktur Eksekutif INFID menyatakan keyakinannya terhadap kapasitas perempuan. Di kepemimpinan perempuan, justru mereka adalah sosok yang sangat berpengalaman dengan isu-isu sosial, adil dan dipenuhi nilai-nilai kemanusiaan. 

Pentingnya Perempuan Open Mic, Dengarkan Suara Mereka

Kurang dari 200 hari lagi Pemilu akan diselenggarakan yaitu pada 14 Februari 2024, serentak di seluruh Indonesia. Namun dalam proses menuju Pemilu 2024, ternyata masyarakat masih menghadapi berbagai tantangan serius, salah satunya adalah melemahnya komitmen negara dalam memastikan keterwakilan Perempuan minimal 30% dalam setiap tahapan Pemilu. 

Hal ini ditandai dengan masih minimnya Perempuan yang duduk dalam Lembaga Penyelenggara Pemilu baik Bawaslu dan KPU di tingkat provinsi sampai dengan kabupaten/kota. 

Dalam berbagai pengumuman komisioner yang berhasil diloloskan ternyata jumlah perempuan masih belum mencapai 30% bahkan ditemukan di beberapa tingkatan Provinsi, Kabupaten dan Kota formasi Bawaslu dan KPU berisi komisioner laki laki semua. 

Lebih lanjut, selain persoalan diatas tampaknya beberapa evaluasi untuk memperbaiki dan memastikan ruang dan partisipasi politik perempuan dapat terpenuhi juga masih menghadapi keruwetan yang semakin kompleks yang tidak menjadi perhatian negara untuk mempersiapkan Pemilu yang menjalankan prinsip adil, jujur, dan beretika. 

Sepanjang mempersiapkan Pemilu 2024 mendatang masyarakat seharusnya mendapatkan proses-proses sosialisasi yang kuat untuk ikut serta secara aktif dan bermakna dalam Pemilu, tetapi justru lebih banyak memperoleh informasi hoax, polapola kampanye SARA, ujaran kebencian, dan disinformasi yang memperkuat apatisme dan menjadi bagian yang tidak mendukung Pemilu berjalan dengan baik. 

Persoalan lainnya, yang juga muncul adalah persoalan money politics yang justru dianggap sebagai hal yang lumrah dalam menjalankan demokrasi, menjadikan perempuan dan kelompok rentan semakin sulit berpartisipasi dan memaknai demokrasi sebagai proses perebutan kekuasaan yang sangat berorientasi pada siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih mayoritas, dan siapa memiliki kekuatan finansial. 

Padahal Pemilu harusnya dijadikan sebuah perhelatan pemupuk sejumlah strategi perbaikan, kesejahteraan, perdamaian dan peningkatan kualitas hidup berbangsa dan bernegara. Masyarakat sipil khususnya gerakan perempuan mengamati ini sebagai sebuah peringatan yang harus direspon secara strategis untuk menjaga proses Pemilu tidak keluar jauh dari prinsip-prinsip penyelenggaran yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!