Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Konde.co ngobrol bareng Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, soal situasi politik hari ini. Hal yang jadi sorotan termasuk soal kentalnya maskulinitas dan politik dinasti.

Panasnya cuaca hari-hari ini, rasanya tak kalah panas sama situasi politik di Indonesia saat ini.

Pesta demokrasi pemilihan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) tahun 2024 yang tinggal beberapa bulan lagi digelar, banyak diwarnai manuver politik. 

Dua hari jelang pembukaan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Konstitusi (MK) tiba-tiba mengabulkan sebagian gugatan syarat minimal usia capres/cawapres. Boleh di bawah 40 tahun, asal pernah berpengalaman jadi kepala daerah. 

Dengan putusan MK —yang ketuanya adalah adik ipar presiden Joko Widodo itu— Gibran Rakabuming Raka pun, bisa mulus melenggang jadi cawapres Prabowo Subianto. Pasangan Prabowo-Gibran itu kini berjejer dalam baris persaingan dengan bakal capres-cawapres lain yaitu Anies Baswedan-Muhaimin dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. 

Sejak saat itu, istilah dinasti politik pun, makin kencang berembus. Sebagaimana kita tahu, selama Jokowi jadi presiden para kerabat –anak dan mantu– menduduki jabatan pemerintahan dan partai. Anak sulung dan menantunya, Gibran-Bobby sama-sama jadi Walikota Solo dan Medan. Sedangkan, Kaesang Pangarep baru saja terpilih jadi Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan kini Gibran maju jadi bakal cawapres “jalur paman”. 

Meski jika kita telisik, praktik “kerabat” yang jadi pejabat memang bukan kali ini saja terjadi. Tapi yang ini, banyak disebut terasa begitu instan sekaligus dipaksakan. Bahkan sampai membawa-bawa lembaga konstitusi negara —yang disebut berpotensi merusak kepercayaan publik. 

Baca Juga: ‘Open Mic’ Perempuan Pemilu: Politisi Sibuk Pasangkan Capres, Tak Ada Tawaran Konkret untuk Perempuan

Di balik itu semua, situasi politik hari ini rasanya masih berkutat dengan konflik dan intrik, yang maskulin. Jangankan memperjuangkan kepentingan perempuan, komposisi partai dan koalisi yang didominasi “bapak-bapak” minim menghadirkan representasi perempuan.

Konde.co lalu ngobrol bareng Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) soal situasi Pemilu hari ini. Yuk, simak!

Bagaimana pendapatmu soal situasi politik hari ini? Termasuk kaitannya dengan proses pemilu 2024 dan dampaknya pada perempuan?

Secara umum ya, kondisi hari ini memang kalau kita bicara pemilu dari kerangka hukumnya, UU pemilu kita kan memang tidak berubah. Kita masih pakai UU yang sama dengan pemilu 2019. Jika aturan pemilu nggak berubah itu, kita sudah tau aturan main dari awal. Tapi memang di penyelenggaraan pemilu kali ini (2024) justru ada perubahan-perubahan yang dilakukan pada level peraturan teknisnya. Di peraturan teknis ini, kalau dikaitkan dengan isu perempuan justru memundurkan gerakan perempuan yang selama ini diupayakan. Misalnya soal pencalonan (kuota 30%), kemudian KPU mengubah PKPU-nya.

Baca Juga: Rugikan Caleg Perempuan, MA Didesak Segera Putuskan Uji Materi PKPU

Ada juga orang perginya ke MK karena UU-nya nggak diubah. Yang terbaru misalnya soal syarat usia yang dibawa ke MK. Sebelumnya, mau diubah dari terbuka ke tertutup jadi kemudian MK jadi tempat orang untuk mengupayakan perubahan itu. Kemarin juga pemerintah juga sempat mengeluarkan Perppu pemilu karena ada daerah otonom baru di Papua. Kan ada 4 provinsi baru yang kemudian menentukan jumlah pemilihan, jumlah kursi, dan lainnya. Itu situasi secara umum. 

Ekosistem politik termasuk pemilu 2024 dari mulai capres-cawapres beserta partai pengusungnya kini masih begitu maskulin? 

Iya, memang sulit bagi perempuan kalau mau masuk (politik) khususnya sampai Pilpres. Karena kalau bicara soal kebijakan afirmasi, kebijakan afirmasi di pemilu kita itu hanya ada pada pemilu legislatif yang kuotanya untuk DPR dan DPRD Provinsi, Kab/Kota. Tapi, untuk di Pilpres atau misalnya di DPD (Dewan Pembina Daerah) itu nggak ada ruang afirmasinya. Sehingga mekanismenya ya mekanisme bersaing bebas. 

Baca Juga: Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik

Bagi perempuan yang sudah ada kebijakan afirmasinya (kuota 30%) aja, misalnya di DPR atau DPRD saja masih susah. Kita ada kuota 30% tapi itu kan hanya dalam pencalonan, belum sampai keterpilihannya. Apalagi, kalau gak ada kebijakan afirmasinya. Ditambah lagi, perempuan ketika dia di partai politik misalnya sudah ada 30% keterwakilan di tingkat nasional pun, tapi kalau kita lihat perempuan-perempuan itu juga nggak pada level pengambil keputusan yang kemudian dia bisa menentukan. Rasanya jauh bagi perempuan untuk bisa masuk dalam konteks Pilpres. 

Selain kebijakan afirmasi yang realitanya masih banyak tantangan, apakah partai politik juga masih “setengah hati” mendukung perempuan? Bagaimana melihat ini? 

Saya masih melihat juga seperti itu. Untuk Pileg yang sudah ada 30%-nya (kebijakan afirmasi) aja, partai selalu mengeluhkan: kita kekurangan perempuan, caleg perempuannya nggak berkualitas, nggak berkapasitas. Selalu itu yang disampaikan. Padahal, kalau bicara soal kapasitas, kemampuan, ya memang laki-lakinya juga sudah berkualitas, kan begitu? Tapi itu selalu ditanyakan kepada perempuan politisinya. Jadi rasanya memang, parpol ini jadi lembaga yang justru sulit untuk ditembus kalau kita bicara soal keterwakilan perempuan di politik. 

Belum modalnya juga kan gede? Untuk modal politiknya? 

Betul. Partainya kan biasanya ketika pencalonan perempuan, partainya berhenti saat pencalonan itu aja. Tapi nggak di-support. Jangankan untuk uang, misalnya dibuatkan strategi berkampanyenya. Beberapa kali ngobrol juga bareng teman-teman perempuan caleg, mereka juga kampanyenya jadi sporadis gitu. Gak ada target perolehan suara berapa. Atau misalnya strateginya kampanyenya gimana, memanfaatkan sosial medianya gimana. Itu mereka kayak dilepas gitu sama partainya. 

Baca Juga: Pemilu 2024, Ini Pentingnya Organisasi Perempuan Siapkan Calon Potensial

Balik soal putusan MK terkait batas usia yang baru ini diketok, banyak disebut melanggengkan politik dinasti? Bagaimana dampaknya terhadap demokrasi?

Sebetulnya apa, terkadang kita jadi salah dipersepsikan. Seolah-olah kita tidak dukung anak muda. Saya rasa kalau bicara soal semangat mendorong kelompok muda di politik, saya rasa kita semua sepakat. Tapi kemudian, kalau dengan putusan MK itu kan kemudian jadi ada pertanyaan lanjutannya. MK itu kan tidak menurunkan batas usinya. Batas usianya tetap 40 tahun, tapi kalau pernah punya pengalaman sebagai elected official atau kepala daerah itu bisa kemudian dicalonkan sebagai capres atau cawapres. 

Memang ada kelompok muda ini bisa mengakses ke situ, untuk kepala daerah yg usianya di bawah 40 tahun. Tapi, kita lihat dulu nih, siapa dulu anak mudanya. Misalnya kayak kita (orang biasa–red) belum 40 tahun mau jadi capres cawapres kan jadi lebih sulit. Akhirnya, jadi pertanyaan lagi, ini semangatnya memang seolah-olah memberi kesempatan anak muda, tapi untuk masuk ke situ (pernah jadi kepala daerah), kesempatan dia susah.

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024 Masih Jadi Pekerjaan Rumah di Indonesia

Jadi kan, kita jadinya nggak bicara soal apa yang sudah dilakukan untuk memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anak muda. Tapi, kalau kita lihat background-nya oh ternyata yang bisa masuk ke situ (kepala daerah), yang punya sirkel elit. Punya modal dinasti yang besar. Kalau anak muda secara umum, anak muda biasa, sulit menembus ke situ.

Usai putusan MK, Jokowi Cs dilaporkan atas dugaan nepotisme ke KPK, bagaimana melihat ini? 

Putusan MK kemarin, saya rasa nggak mungkin kalau publik nggak marah, nggak protes. Kemarin, ada beberapa permohonan, ada 7, 1 ditarik, 3 ditolak. Nah, yang 90 ini (Perkara No 90/PUU-XXI/2023) diterima, kan publik melihat bahwa MK ini berubah ini. MK berubah posisinya dalam waktu yang cukup singkat. Perubahan ini terjadi karena Ketua MK yang tadinya di 3 permohonan sebelumnya tidak ikut, ternyata yang 90 ini ikut membahas. Saya rasa kecurigaan dan asumsi “ini syarat politis” (publik) ya ini jadi wajar.

Baca Juga: Putusan MK Jadi Peluang Gibran Maju Pilpres 2024, Jokowi Disebut Mirip Suharto?

Terus ada yang ke KPK, ada yang melaporkan ke Mahkamah Kehormatan MK, itu menurut saya sebagai upaya membuka asumsi dugaan ini. Kita bawa ke wilayah terang. Apa sih (ketidakberesan) yang terjadi dalam pembahasan permohonan ini. Harapannya bisa dibuka jadi terang benderang karena publik kan jadi curiga, karena nggak lama setelah diputuskan MK, ada satu kelompok/pihak yang beberapa hari selanjutnya mendeklarasikan pasangan calon (Gibran). 

Dari visi misi dan program yang sudah beredar di publik, bagaimana menilai keberpihakan bakal capres-cawapres ini kaitannya dengan isu perempuan dan kelompok marjinal?

Saya udah singkat-singkat saja baca terkait visi misi mereka. Baca sekilas-sekilas, memang ada ya concern (perhatian) terhadap isu perempuan. Ini yang perlu dikawal. Kan nanti setelah mendaftar, kan ada kampanye, setelah itu debat ya. Menurut saya, ini yang perlu didalami lagi, karena kalau baca visi misi kan pointer aja ya

Baca Juga: Jalan Panjang Perempuan dalam Politik, Bukan Sekadar Pelengkap Kuota

Ini yang menurut saya oleh KPU, masyarakat sipil bisa ke KPU apa nih yang jadi masukan materi debat. Yang perlu diperdalam soal isu-isu pr. Karena supaya nggak jadi cuma lip service “o kita peduli kok sama isu perempuan” tapi konkretnya apa? Itu yang perlu didalami lagi atau misalnya kita bedah bareng-bareng, oleh masyarakat sipil soal isu perempuan, marjinal, anti korupsi dan lainnya. 

Dari visi misi yang disampaikan oleh pasangan capres-cawapres soal isu perempuan dan marjinal, kemudian dicocokkan dengan latar belakang mereka atau citra yang mereka punya, apakah sudah mencerminkan? Termasuk, karena ada citra yang dikaitkan sama masing-masing capres: soal pelanggaran HAM 1998, politik identitas, isu lingkungan wadas? 

Memang penting untuk bisa mencermati, latar belakang visi misi setiap kandidat ini. Memang nggak dipungkiri, ada orang yang dalam pemilu ini nggak lihat visi misi tapi figurnya siapa. Ini (kesadaran) yang perlu dibangun budaya kritisnya, karena tadi kita memilih kan dampaknya ke kita juga selama 5 tahun ke depan. Dampaknya ke kita juga. Ini yang seharusnya difasilitasi penyelenggara pemilu. Kita dapat info kandidat ini dimana. Apalagi ini kan, masa kampanye cuma 75 hari. Pemilu kita nggak cuma Pilpres, ada Pileg juga, yang kita perlu telusuri. Jadi ini pentingnya memberikan informasi komprehensif kepada publik. 

Baca Juga: 4 Perempuan Muda Bicara Pemilu: Copras-Capres, Isu Minoritas Jangan Cuma Jadi Lip Service

Soal citra, menurut saya nggak bisa dilepaskan dari publik. Misalnya soal isu HAM (Prabowo), politik identitas (Anies). Kalau Ganjar, orang mengasosiasikan dengan Wadas. Orang pasti image itu akan ada ke mereka, mungkin lawannya akan menggunakan itu untuk saling menjatuhkan satu dan lain. Kita sebagai publik, calonnya ada 3, ya kita berpikir kritis misal soal Wadas yang merupakan isu lingkungan, apa yang sebenarnya terjadi? Soal politik identitas apa yang terjadi? Ketika memilih calon, kita sudah dapat informasi yang utuh. Mungkin akan berseliweran di medsos, kan bisa siapa aja yang ngomong. Pendukung A akan bilang ini, pendukung B bilang itu. Cara berpikir kritisnya pemilih juga perlu dibangun. 

Soal hoaks-hoaks yang muncul jelang pemilu? Mengapa ini terjadi? Dan apa yang harus dilakukan?

Soal jangan kemakan hoax dan sebagainya, jangan-jangan ada gap informasi yang orang itu gak bisa mengakses informasi yang valid itu dimana sih. Informasi soal pemilu ini, mungkin akan diupload di web KPU. Tapi, orang tau nggak sih, ketika buka di web KPU itu di bagian mana? Orang di daerah yang internetnya nggak bagus, gimana mendapatkan informasinya. Jadi kita butuh informasi yang utuh. Bukan cuma kapan hari H, jam berapa dibukanya, tapi publik perlu tau semuanya di tahapan pemilu: Nanti kapan masa kampanye? Publik perlu tau tentang dana kampanye? Uang dari mana? Dipakai untuk apa? KPU harus memfasilitasi ini. 

Baca Juga: Dear Anak Muda, Waspadai Hoaks dan Ujaran Kebencian di Tiktok

Apa saja isu perempuan dan marjinal yang masih jadi PR dan perlu kita kawal dalam politik? Termasuk kaitannya dengan gelaran pemilu 2024 

Kelompok yang terpinggirkan tadi, ada perempuan, disabilitas, masyarakat adat kaitannya dalam penyelenggara pemilu. Itu aja masih susah (partisipasinya di parpol). Kedepannya parpol perlu semakin dikuatkan atau institutionalized. Misalnya hambatan perempuan di parpol itu salah satunya hanya dijadikan untuk pelengkap syarat administrasi aja, harus 30%. Tapi, kemudian ditinggalkan dalam proses kompetisinya. Sehingga, banyak perempuan yang gak mau lagi terjun di politik, ya mereka akan merasa sendirian. Atau misalkan pada kelompok masyarakat adat dan disabilitas, suaranya kemudian hanya dijadikan vote getter (pendulang suara). Oh, ada sekian juta, tapi ketika sudah terpilih kemudian mereka dilupakan.

Apa saran yang bisa kita lakukan sebagai pemilih di pemilu 2024?

Pemilu 2024 sudah kurang dari 200 hari lagi. Sekarang kita sebagai pemilih perlu didorong jadi pemilih yang bisa berdaya, bicara soal partisipasi politik. Bukan hanya kita datang ke TPS, tapi juga terlibat aktif pada seluruh prosesnya. Termasuk, mengawasi pencalonannya (capres-cawapres). Ada visi misinya mereka, kita bedah, kita lihat juga dana kampanye mereka. Kita benar-benar terlibat mengawal, kalau kita bicara soal meaningful participation. Apalagi tahun 2024 mayoritas pemilih adalah kalangan anak muda, yang saya yakin anak muda nggak apatis sama politik.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!