Film ‘The Creator’, Saat Robot AI Ingatkan Soal Kemanusiaan

Konflik antara manusia dan robot kecerdasan buatan (AI) yang membuat kita mempertanyakan apa yang sebenarnya membuat kita benar-benar menjadi manusia. Dalam film 'The Creator', robot humanoid dan simulan bukan sekadar mesin, mereka adalah makhluk yang merasakan, berperasaan, dan mungkin lebih manusiawi daripada kita.

‘The Creator’ adalah sebuah film fiksi ilmiah yang menceritakan konflik antara manusia dengan robot humanoid dan tiruan manusia yang disebut dengan Simulan. 

Hal menarik dari film ‘The Creator’ adalah konflik yang dihadirkan bukan hanya sekadar konflik eksistensi pada umumnya. Lebih jauh dari itu, film ini mengupas konflik dengan sudut pandang humanisme. Para robot humanoid dan Simulan ini dianggap lebih berperasaan dan berperikemanusiaan daripada manusia itu sendiri.

Film ‘ini’The Creator’ disutradarai oleh Gareth Edwards dan dibintangi oleh John David Washington sebagai Joshua, Gemma Chan sebagai Maya yang merupakan istri dari Joshua, Madeleine Yuna Voyles sebagai Alphie yang merupakan entitas sentral di film ini. Film ini juga menghadirkan pemain-pemain dari multi etnis dan ras seperti Amar Chadha-Patel dan Ken Watanabe.

Konflik Manusia vs AI

‘The Creator’ dipenuhi dengan visual adegan perang dan ledakan yang mengesankan. Namun, meskipun kaya akan elemen-elemen tersebut, film aksi ini terasa seperti kumpulan film-film yang sudah kita kenal sebelumnya. 

Di genre film sejenis, seperti ‘Terminator’ atau ‘Blade Runner’ menempatkan robot sebagai negasi dari manusia. Namun di film ini, pihak manusia berusaha melindungi keberadaan robot humanoid dan Simulan dari perburuan. Hal ini karena humanoid dan para Simulan dianggap lebih berperasaan daripada manusia sendiri.

Joshua, adalah seorang militer Amerika yang menjalani peran sebagai agen ganda. Dia adalah militer Amerika berpangkat sersan sekaligus suami dari Maya yang merupakan anak dari Nirmata. Ia seorang tokoh yang diyakini sebagai pencipta AI (artificial intelligence) super canggih yang dianggap akan mengancam keberadaan manusia.

Konflik awal antara manusia dengan robot humanoid dan Simulan dimulai ketika jatuhnya bom nuklir yang menghancurkan Los Angeles, Amerika Serikat. Pihak manusia beranggapan bahwa robot humanoid dan Simulan inilah yang bertanggung jawab atas insiden tersebut dan menyatakan perang kepada robot humanoid dan Simulan AI. 

Pihak Amerika akhirnya memburu Nirmata dan melarang keberadaan AI di negaranya, namun di sebuah tempat bernama Asia Baru, para robot humanoid dan Simulan ini masih hidup berdampingan dengan manusia.

Bukan Hanya Sekedar Kecerdasan Buatan, Tapi Manusiawi

Joshua, yang merupakan militer aktif diselundupkan pada komunitas humanoid dan Simulan untuk mendekati Maya dan mencari tahu info perkembangan AI dan keberadaan Nirmata. 

Hingga pada akhirnya, pihak Amerika melalui fasilitas militer mereka yang bernama Nomad menjatuhkan rudal di kawasan hunian Joshua dan Maya. Hingga menyebabkan Maya diyakini meninggal dalam keadaan hamil. 

Pada waktu penyerangan yang genting tersebut, identitas Joshua sebagai agen ganda terkuak oleh Maya. Mereka berpisah karena Maya meyakini bahwa humanoid ini adalah keluarganya, sedangkan Joshua masih beranggapan bahwa humanoid tersebut tidaklah nyata karena mereka bukan manusia.

Konflik tersebutlah yang membuat plot cerita film ini berkembang dan membawa kisah hidup Joshua pada babak baru.

Kehadiran humanoid dan Simulan di film ini, disajikan bukan hanya dengan kecerdasan yang menyamai manusia, namun juga sampai pada level perasaan. Hal ini yang membuat konflik akhirnya bukan hanya sekadar peperangan atas eksistensi spesies, namun juga peperangan untuk mempertahankan kemanusiaan.

Saat menonton itu, penonton mungkin saja akan bimbang jika menyaksikan relasi humanoid dengan manusia lebih mendalam dan lebih manusiawi daripada manusia itu sendiri. Di tengah film yang mulai menampakkan konflik, kita akan dibuat bertanya siapakah yang sebaiknya kalah dalam perang ini? Apakah ras manusia murni ataukah manusia tiruan yang memiliki rasa kemanusiaan?

Baca Juga: Hati-Hati Penggunaan AI, Ancaman Bias Gender Dan Karir Pekerja

Keyakinan manusia yang beranggapan bahwa AI adalah potensi bahaya karena mampu menciptakan senjata yang sangat canggih, membuat Joshua kembali direkrut oleh pihak militer Amerika untuk memburu senjata super canggih bernama Alpha-O. Senjata ini diyakini berpotensi memusnahkan umat manusia. 

Dari keyakinan ini, Amerika memiliki landasan untuk memburu para robot tiruan dan menginvasi pangkalan-pangkalan hidup mereka. Keyakinan adanya senjata yang sangat mengancam ini seperti me-recall ingatan penonton atas invasi yang dilakukan Amerika ke negara-negara lain. Alasannya Ia menyimpan senjata pemusnah massal. 

Sayangnya, jika di dunia nyata senjata pemusnah massal tersebut tidak pernah ada, di film ini senjata tersebut memang ada. Senjata yang dianggap sebagai senjata berbahaya tersebut berupa anak kecil.

Operasi pencarian senjata Alpha-O ini diikuti Joshua setelah pihak militer meyakinkan dirinya bahwa Maya masih hidup. Setelah bertemu dengan Alpha-O dan gagalnya operasi penghancuran senjata tersebut, Joshua menjadi buronan dari dua pihak, yaitu pihak Amerika dan pihak humanoid. Hal ini karena Joshua membawa lari Alpha-O Bersama dirinya untuk mencari Maya.

Para humanoid dan Simulan bukan hanya menjalankan peran sebagai robot, namun mereka hidup selayaknya manusia biasa. Alpha-O yang kemudian dipanggil Alphie oleh Joshua bermain selayaknya anak-anak dengan anak manusia. Terdapat juga humanoid dan Simulan yang berperan seperti biksu dan pemuka agama yang tinggal di kuil-kuil untuk menjaga tradisi.

AI Menjadi Keluarga

Peran humanoid dan Simulan juga ditunjukkan semakin dalam mengisi ceruk kekosongan yang dirindukan manusia. Humanoid dan Simulan bisa menjadi ibu pengasuh bagi anak-anak yang kehilangan orang tua. Mereka juga bisa menjadi anak-anak yang bermain sama seperti anak manusia seusianya, bahkan menjadi nenek yang mendongeng bagi anak-anak yang trauma akibat perang ini. 

Disinilah titik dimana humanoid dan Simulan ditunjukkan bukan sebagai ancaman atas eksistensi manusia, melainkan sebagai spesies yang bisa hidup berdampingan.

Relasi inilah yang membuat sudut pandang penonton dialihkan secara pelan-pelan. Melihat humanoid dan Simulan diinvasi secara membabi buta oleh Amerika selayaknya melihat negara dunia ketiga yang dijajah. Penderitaan dan pelarian para humanoid dan Simulan seperti para pengungsi yang harus kehilangan tanah dan rumah mereka, sebagaimana korban perang di dunia nyata.

Haruskah Kita Menyimpan Kekhawatiran Kepada AI?

Film The Creator dapat diinterpretasikan sebagai sebuah kritik terhadap potensi bahaya AI. Belakangan muncul kekhawatiran dari para pekerja yang beranggapan kehadiran AI akan menggantikan pekerjaan mereka. 

Kekhawatiran ini mulai ramai diperbincangkan setelah OpenAI merilis teknologi mereka berupa chatbot bernama ChatGPT. Teknologi berbasis AI ini diikuti oleh AI lainnya dengan beragam fitur dan fungsi masing-masing, seperti Midjourney untuk menciptakan gambar hingga AI yang bisa menciptakan musik.

Elon Musk dalam artikel time.com khawatir bahwa chatbot dan sistem kecerdasan buatan ini, terutama dalam kendali Microsoft dan Google, dapat menjadi terpapar secara politik. Bahkan mungkin, terinfeksi oleh apa yang dia sebut sebagai virus pikiran terjaga. 

Dia juga khawatir bahwa sistem kecerdasan buatan yang belajar sendiri mungkin berbalik melawan spesies manusia. Dan pada tingkat yang lebih mendalam, dia khawatir bahwa chatbot dapat dilatih untuk membanjiri Twitter dengan disinformasi, pelaporan yang bias, dan penipuan finansial.

Meskipun begitu, Elon tidak menghindari penggunaan AI sebagai teknologi. Dia sendiri menggunakan teknologi AI untuk mobil Tesla dan dalam rencana membesarkan perusahaan AI miliknya sendiri yang bernama xAI. Penggunaan AI hingga saat ini pun juga dirasa membantu banyak pekerjaan manusia.

Di suatu percakapan Elon dengan Shivon Zilis, eksekutif Neuralink, Elon bertanya “Apa yang bisa dilakukan untuk membuat kecerdasan buatan aman?” tanyanya. 

“Saya terus-menerus berjuang dengan itu. Tindakan apa yang bisa kita ambil untuk meminimalkan bahaya kecerdasan buatan dan memastikan kesadaran manusia bertahan?”

Di tengah penggunaan AI yang semakin masif, film ‘The Creator’ menggugah kegelisahan penonton apakah AI adalah teknologi yang berbahaya atau tidak. 

AI yang kini banyak membantu pekerjaan manusia juga menjadi ancaman akan hilangnya lapangan pekerjaan itu sendiri. Apakah menurutmu manusia bisa berdampingan hidup dengan AI? Ataukah manusia harus berpikir panjang untuk hidup dengannya?

(Sumber Gambar: IG The Creator)

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!