Kalau Kamu Jadi Korban Kekerasan Seksual, Pilih Lapor Satgas TPKS atau Polisi?

Saat mengalami kekerasan seksual, lebih efektif mana melaporkan ke Satgas TPKS dan kepolisian? Simak penjelasannya!

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Halo, Saya Mita. Belakang ini, saya tertarik pada isu kekerasan berbasis gender. Khususnya pada kekerasan seksual yang marak terjadi di Indonesia. Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), banyak dibuat aturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Seperti di Tempat Kerja, Pendidikan Tinggi dan yang terakhir di Lingkungan Satuan Pendidikan. Apakah melaporkan kasus kekerasan seksual kepada Satgas dimaksud dapat menghapus Hak Korban untuk melaporkan secara hukum ke Aparat Penegak Hukum? Mana yang lebih efektif melaporkan ke Satgas atau ke kepolisian?

Jawab:

Halo Mita, terima kasih banyak atas ketertarikannya pada isu kekerasan berbasis gender khususnya kekerasan seksual. Kekerasan seksual semakin marak terjadi di lingkungan masyarakat, pertanyaan yang Kamu sampaikan merupakan bagian dari partisipasi masyarakat. Termasuk, membudayakan literasi tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual kepada semua lapisan usia masyarakat. 

Apa yang Kamu lakukan itu, bisa berkontribusi mencegah terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Agar tak banyak orang yang menjadi Korban atau pelaku. Juga berguna mensosialisasikan peraturan yang mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana Pasal 85 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)

Setelah disahkannya UU TPKS, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara cepat, terpadu, dan terintegrasi. Ini bisa dilakukan pada panti sosial, satuan pendidikan dan tempat lain yang berpotensi terjadi tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 79 UU TPKS). Sampai saat ini, kita masih menunggu Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Baca Juga: Menggerutu Lihat CATAHU 2023, Bukti Nyata UU TPKS Belum Efektif Terlaksana

Namun, dengan meningkatnya angka kekerasan seksual yang terjadi di instansi Pendidikan dan tempat kerja, Kementerian/ Lembaga Negara yang membidangi Pendidikan dan ketenagakerjaan berupaya untuk melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual sesuai dengan kewenangannya dengan menerbitkan:

  1. Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (terbit lebih dahulu sebelum UU TPKS, namun nilai yang diatur menyesuaikan RUU PKS saat itu);
  2. Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama;
  3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja;
  4. Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Secara umum, dari keempat aturan di atas, mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual. Selain itu, juga untuk menangani, melindungi, dan memulihkan Korban. Berguna juga untuk melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidak berulangan kekerasan seksual.

Baca Juga: Cara Pemulihan Reputasi Korban Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual 

Aturan di atas, mendorong pemangku kepentingan yang memiliki kewenangan untuk terlibat aktif mendukung penghapusan kekerasan seksual. Termasuk, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Orientasinya adalah pada korban dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas). 

Di samping itu, aturan itu juga membuka ruang bagi Korban untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi kepada Satgas yang telah terbentuk. Tanpa korban harus takut kehilangan haknya untuk melanjutkan Pendidikan atau mempertahankan pekerjaannya.

Jaminan Hak atas Layanan Hukum Bagi Korban Kekerasan Seksual

Pelaporan kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban dan/atau pendamping korban kepada Satuan Tugas yang dibentuk di Lingkungan Tempat Kerja, Pendidikan Tinggi dan Satuan Pendidikan tidak menghapuskan Hak Korban untuk melaporkan secara hukum. Mengapa demikian?

Pelaporan kasus kekerasan seksual secara hukum kepada kepolisian merupakan bagian dari Hak atas Layanan Hukum bagi Korban kekerasan seksual (Pasal 68 huruf c UU TPKS). Korban berhak memilih untuk melaporkan pada satgas dan/atau kepada pihak kepolisian.

Namun, yang harus dipahami lebih lanjut oleh korban/ pendamping korban bahwa UU TPKS dan aturan pada tingkat Kementerian/ Lembaga Negara dalam penyelesaiannya menggunakan dua bentuk sanksi yang berbeda. UU TPKS mengatur sanksi pidana bagi Pelaku kekerasan seksual. Sedangkan, aturan pada tingkat Kementerian/ Lembaga Negara mengatur sanksi administratif bagi Pelaku kekerasan seksual. 

Apa perbedaan sanksi pidana dan sanksi administratif bagi Pelaku?

Perbedaan antara sanksi administratif dan sanksi pidana dapat dilihat dari tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administratif ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada pelanggar dengan memberi hukuman. 

Sebagai Contoh, X menjadi Korban kekerasan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh Y selaku Manajer Divisi Penjualan pada PT ABC. X kemudian melaporkan kekerasan tersebut pada Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada PT. ABC. 

Menindaklanjuti laporan kekerasan yang diterima, satgas  memberikan sanksi sesuai dengan bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh Y selaku pihak yang diadukan. Di antaranya bisa berupa: surat peringatan tertulis dan pemindahan atau penugasan ke unit kerja lain. Ada juga mengurangi atau menghapus sebagian atau keseluruhan kewenangannya di perusahaan. Selain itu, pemberhentian sementara dan/ atau pemutusan hubungan kerja sebagai sanksi administratif.

Sedangkan, jika saat bersamaan atau setelah penanganan kekerasan seksual yang dilakukan oleh satgas telah selesai. Kemudian X selaku korban melaporkan kekerasan seksual yang terjadi kepada pihak kepolisian, Y akan mendapatkan sanksi pidana penjara sesuai dengan kekerasan seksual yang dilakukan. 

Penting untuk diingat, pemberian sanksi administratif tidak menyampingkan atau menghapuskan sanksi pidana. Ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Efektivitas Pelaporan Kasus Kekerasan Seksual

Mengingat pelaporan kekerasan seksual kepada satgas tidak menghapuskan Hak atas Layanan hukum untuk melaporkan secara hukum. Maka, pertanyaan terakhirmu adalah menanyakan pelaporan mana yang lebih efektif antara pelaporan ke satgas atau kepolisian. 

Dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, efektivitas harus dimaknai dengan berpedoman pada asas kepentingan terbaik bagi korban. Yaitu bisa diwujudkan melalui pemenuhan Hak Korban atas Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan. Sebab sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban.

Setelah korban/pendamping korban telah mengidentifikasi kondisi dan kebutuhan korban serta risiko yang akan muncul, maka korban dapat secara mandiri memilih mekanisme pelaporan. Ini sesuai dengan harapan juga keadilan yang ingin dicapai.

Baca Juga: Apa yang Harus Kamu Lakukan Jika Temanmu Jadi Korban Kekerasan Seksual? 

UU TPKS mengatur bahwa Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan. Kecuali, terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. 

Jika, harapan korban atas kekerasan yang terjadi adalah sanksi pidana. Maka, dapat menempuh proses hukum. Namun, jika korban masih belum siap menempuh proses hukum, pelaporan kepada satgas juga dapat menjadi pilihan yang perlu dipertimbangkan.

Terlepas apapun mekanisme penyelesaian untuk memperoleh keadilan bagi korban, hal yang utama adalah mendukung pemulihan korban atas kekerasan seksual yang terjadi. Partisipasi masyarakat berperan penting untuk mencegah berulangnya kekerasan seksual. Selain itu, juga untuk mewujudkan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.

Tutut Tarida

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!