Kasus Anak Anggota DPR Bunuh Pacar, Komnas Perempuan Dorong Hukuman Adil

Pelaku penganiayaan berujung kematian sang pacar, Gregorius Ronald Tanur (GRT), kini ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal penganiayaan.

Gregorius Ronald Tannur (GRT) menganiaya pacarnya–DSA–seorang perempuan asal Sukabumi Jawa Barat, hingga meninggal.

Ronald menendang dan memukul DSA dengan botol miras, lalu menggilas dan menyeretnya sejauh 5 meter dengan mobil. Sekitar pukul 02.30 WIB tanggal 4 Oktober 2023, DSA meninggal dunia ketika dibawa ke RS Nasional Hospital, Surabaya.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah menyampaikan bela sungkawa atas kematian DSA sebagai korban tindak kekerasan dalam pacaran. Dia menyoroti adanya penganiayaan yang disengaja dan terjadi berulang kali yang menyebabkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa pada korban sampai berujung kematian. 

DSA mengalami pemukulan sejak dari dalam ruangan, ke ruang parkir, penempatan korban di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, dan pelaku menunda membawa korban ke rumah sakit. 

“Rangkaian kondisi ini menunjukkan bahwa peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai femisida: pembunuhan perempuan dengan alasan ataupun karena ia perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacarnya,” ujar Aminah kepada Konde.co, Senin (9/10). 

Baca Juga: Femisida Terjadi Karena Pelaku Merasa Superior dan Misogini Terhadap Perempuan

Pihaknya menyampaikan dukungannya agar polisi menyegerakan proses hukum yang adil bagi DSA. Serta mendorong pusat layanan terpadu untuk mendukung keluarga korban mendapatkan pemulihan, dan mengajak semua pihak untuk turut mencegah peristiwa serupa berulang. 

“Karenanya, Komnas Perempuan mendorong pihak kepolisian untuk dengan sungguh-sungguh memastikan proses hukum pada tersangka utama berlangsung dengan akuntabel, juga kepada pihak-pihak lain yang mengetahui, membiarkan dan/atau turut dalam penganiayaan tersebut,” lanjutnya. 

Sebagai informasi, Gregorius telah ditetapkan tersangka itu hanya dijerat dengan pasal penganiayaan, bukan pembunuhan. Dia dijerat dua pasal yaitu pasal 351 ayat (3) dan 359 KUHP tentang penganiayaan. Dengan pasal tersebut, GR terancam 12 tahun penjara. Menyoal ini, pengacara Hotman Paris dalam postingan sosial media IG-nya pun menanggapi agar pelaku dihukum dengan pasal pembunuhan bukan sekadar penganiayaan. 

Komnas Perempuan juga mendorong agar aparat penegak hukum bisa mengenali pihak-pihak lain yang mungkin berada dalam posisi untuk mencegah tindakan penganiayaan, tetapi tidak mengambil langkah yang dibutuhkan. Misalnya saja, ketika berada dalam fasilitas lokasi pertama kejadian dan di tempat parkir. 

Dalam kasus femisida, Komnas Perempuan sudah melakukan sejumlah kajian dokumen tentang berbagai upaya yang dilakukan oleh negara-negara lain. Dukungan pada keluarga korban menjadi penting untuk melewati masa sulit karena rasa kehilangan dan proses hukum yang tidak singkat. 

“Pusat layanan terpadu bagi perempuan dan anak yang saat ini tersedia di berbagai provinsi, kota dan kabupaten, dapat menjadi simpul untuk menghadirkan dukungan pemulihan ini,” tambahnya. 

Femisida, 5 Perempuan Dibunuh Tiap Jam

Pembunuhan  ini termasuk dalam femisida, atau pembunuhan perempuan berbasis gender. Data UN Women dan United Nation Office on Drugs and Crime pada tahun 2021 menunjukkan, setiap jam, sebanyak 5 perempuan dibunuh oleh orang terdekatnya. Sebanyak 81.000 perempuan dan anak perempuan dibunuh karena identitasnya sebagai perempuan. 

Di Indonesia, hasil analisa Komnas Perempuan dari penelusuran kata kunci ‘pembunuhan perempuan’, ‘penganiayaan terhadap istri’ pada putusan pengadilan dan pemantauan media, dari 100 putusan pengadilan dalam kurun waktu 7 tahun ini, menunjukkan realita serupa. 

Perempuan banyak yang menjadi korban pembunuhan. Yaitu, sebesar 83 persen berakhir dengan meninggalnya istri di tangan suami. Sementara dari pantauan media, jumlahnya lebih besar dalam setahun ada 307 kasus pembunuhan suami terhadap istri.

Fakta itu menguatkan kondisi bahwa femisida itu nyata. Namun, seringkali istilah femisida tak banyak dikenali. Dampaknya bukan saja pada pencatatan kasus yang tidak komprehensif, tapi juga terhambatnya upaya pencegahan, penanganan hingga pemulihan.

Baca Juga: Riset Jakarta Feminist: Perempuan Paling Banyak Jadi Korban Femisida di Rumah

Definisi femisida yang dirumuskan Komnas Perempuan yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini serta rasa pelaku memiliki perempuan dan ketimpangan-ketimpangan relasi kuasa lain yang hadir. 

“Pada banyak kasus yang kita temui, sangat tampak kepuasan sadistik yang diarahkan oleh pelaku terhadap korban. Karenanya ketika femisida terjadi tidak jarang ditemukan penganiayaan yang berat,” ujar Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan dalam pembukaan Peluncuran Pengetahuan Femisida: Lenyap Dalam Senyap: Korban Femisida dan Keluarganya Berhak Atas Keadilan awal tahun ini. 

Menyoal unsur-unsur femisida, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy M. Hutabarat menyampaikan, setidaknya ada lima hal yang Ia kutip menurut pakar, WHO, pelapor khusus PBB, UN Women. Di antaranya, pembunuhan berbasis gender (intensional) yaitu ketika terdapat semua aspek kekerasan terhadap perempuan (dominasi, hegemoni, serangan atas tubuh, penyiksaan).

Selanjutnya, femisida ada unsur langsung dan tak langsung. Disengaja dan disertai kekerasan lainnya, kekerasan paling ekstrim dan terdapat nuansa politik patriarki. 

“Unsur-unsur diidentifikasi untuk menggambarkan bahwa ketika seorang perempuan dibunuh, ia tidak hanya menjadi korban kejahatan umumnya, melainkan korban dari kondisi tidak adil yang melatari kejahatan tersebut,” imbuhnya. 

Dia melanjutkan, Deklarasi Wina 2012, kondisi dan faktor yang melatari femisida bisa terjadi akibat dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan, pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas dasar menjaga kehormatan, hingga pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang. 

Ada pula femisida bisa saja terjadi karena pembunuhan terkait mahar, akibat dari orientasi seksual dan identitas gender, pembunuhan terhadap perempuan masyarakat adat, pembunuhan bayi perempuan dan janin berdasarkan seleksi jenis kelamin, pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan, tuduhan sihir dan femisida terkait dengan kejahatan terorganisir dan sejenisnya.

Waspadai Redflag dalam Hubungan 

Siti Aminah dari Komnas Perempuan menekankan pentingnya mengenali kondisi kekerasan dalam pacaran. Sebab hal ini seringkali terjadi, bahkan tanpa disadari. 

Kekerasan dalam pacaran adalah jenis kekerasan terhadap perempuan di ruang personal yang terbanyak ke-2. Ini setelah kekerasan terhadap istri dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan dalam 5 tahun terakhir. Bahkan di tahun 2022, dilaporkan 3.950 kasus, naik lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya. 

Bentuk kekerasan dalam pacaran termasuk kekerasan fisik dalam berbagai tindak penganiayaan; kekerasan psikis seperti larangan berteman dengan pihak lain, penguntitan, pelecehan dan pengkerdilan kepercayaan diri; dan kekerasan seksual seperti eksploitasi seksual, perkosaan dan pemerasan untuk tujuan seksual. 

“Komnas Perempuan menghimbau agar pemerintah membangun kampanye-kampanye yang dapat mendorong warga turut mengambil langkah proaktif untuk mengenali adanya tindak penganiayaan. Juga, memastikan informasi mengenai kontak untuk mengakses pendampingan atau melaporkan kasus sehingga akibat-akibat fatal dapat dicegah,” ujar Siti Aminah. 

Konde.co lantas merangkum dari berbagai sumber, 5 tanda-tanda red flags dalam hubungan yang mesti dikenali. Ini bisa menjadi pertimbangan bagi kamu buat memantapkan diri memutus hubungan jika memang bukan hubunganmu tidak sehat bagimu. Apa saja?

1.Sering Bersikap Manipulatif (Gaslighting)

Kenali perilaku pasangan yang secara intens atau seringkali melakukan gaslighting. Gaslighting ini sebagai bentuk pelecehan emosional yang membuat pasangan yang jadi korban meragukan dirinya sendiri. 

Pelaku memanipulasi dan mengendalikan korban, yang tak jarang tanpa disadari. Biasanya mereka berbohong dan narsistik. Hanya mementingkan diri dan tidak peka dengan perasaan pasangan. 

Setiap kali pelaku ‘tertangkap’ melakukan kesalahan. Dia bisa balik mempertanyakan atau bahkan memutarbalikkan situasi yang justru malah jadi menyalahkan (lagi) korban. Bisa juga pelaku akan merubah sikapnya jadi lebih baik untuk sementara yang meluluhkan korban, sebelum kembali berulah. 

Dampak dari perilaku gaslighting ini, korban bisa merasa sendiri dan ditinggalkan. Secara mental, kepercayaan diri dan self love nya juga bisa terganggu.

2.Berselingkuh

Waspadai jika pasangan punya riwayat berselingkuh, apalagi tidak sekali dua kali. Meskipun tampaknya dia berubah dan berjanji tidak mengulanginya, tapi ini mestinya bisa jadi catatanmu. 

Kamu bisa bertanya ke dirimu, apakah kamu nyaman dengan pasangan yang dulunya berselingkuh? Dia juga sering kedapatan flirting ke sana-sini atau melanggar komitmen yang kalian buat, apakah kamu terusik dengan itu?

Ingat, hubungan yang sehat itu butuh rasa percaya satu sama lain. Bukan hanya satu pihak yang memperjuangkan.  

3.Sering Cemburu dan Tak Mempercayaimu

Dalam sebuah hubungan, cemburu itu wajar. Tak jarang, cemburu itu diartikan sebagai bentuk perhatian atas pasangan. Tapi, jika perilaku cemburu itu terjadi terus menerus bahkan seringkali tanpa alasan. 

Terlebih, jika seringnya cemburu itu disertai dengan kecurigaan. Dia tak percaya dan sampai menuduh yang tidak-tidak. Maka kamu perlu mengenali red flag itu. 

4.Mengontrol, Mendominasi dan Posesif Berlebihan

Hubungan yang sehat itu semestinya bisa saling dan setara. Jika berat sebelah, sebab pasangan yang selalu mengontrol, mendominasi, dan posesif secara berlebihan. Itu bisa jadi hubungan toksik. 

Jika terus melanjutkan hubungan seperti itu, bisa jadi pasanganmu membuatmu terisolasi dan terasingkan dari lingkungan sekitarmu bahkan dirimu sendiri. 

5.”Ringan Tangan” Melakukan Kekerasan

Jika pasangan sudah dengan terang-terang melakukan kekerasan, baik itu fisik, mental bahkan seksual. Ini bisa jadi tanda bahaya yang paling jelas. 

Data UN Women menyebutkan, 1 dari 3 perempuan di dunia menyebutkan bahwa dirinya pernah menjadi korban kekerasan fisik dan seksual dalam menjalin hubungan. Hal itu belum termasuk kekerasan secara emosional, verbal dan psikologis yang juga lebih banyak menimpa perempuan. 

Petunjuk lainnya, lihat bagaimana dia memperlakukan orang-orang terdekat seperti orang tua, teman, orang asing, bahkan hewan sekalipun. Jika dia terbiasa melakukan kekerasan verbal, menyiksa, ataupun menindas, maka kamu bisa segera say good bye dari hubungan itu. 

Jika kamu sedang menjalin hubungan dengan pasangan yang punya ciri-ciri di atas. Sadari dan segera ambil keputusan. Ingat, kamu layak mendapatkan pasangan di hubungan yang lebih sehat. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!