Laki-laki merawat diri

Apa Salahnya Jika Laki-Laki Merawat Diri? Stereotipe Gender dalam Penampilan Sudah Basi

Tidak ada yang salah kalau laki-laki pengin merawat diri, karena merawat diri itu hak semua orang, perempuan dan laki-laki.

Apa benar, Jakarta ‘kekurangan’ cowok ganteng?

Pertanyaan itu mencuat di media sosial. Terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang menyatakan bahwa Jakarta sedang krisis laki-laki ‘ganteng, muncul berbagai diskursus mengenai seberapa penting laki-laki merawat diri agar dapat mencapai definisi ‘ganteng’ itu.

Topik pembicaraan pun meluas. Pro dan kontra hadir karena konsep ‘perawatan diri’ sering dilekatkan pada perempuan dan perilaku ‘boros.’

Salah satu hal yang menggangguku adalah ketika aku mendapati beberapa opini yang menyebut, laki-laki merasa lebih baik mengalokasikan uang untuk hobi mereka ketimbang perawatan diri (yang identik dengan perempuan). Padahal, kata siapa kedua hal tersebut tidak bisa berjalan beriringan?

Pernyataan itu membuat perempuan tampak seperti tak punya—atau tak boleh punya—hobi, dan hanya ‘menghamburkan uang’ untuk penampilan. Sedangkan, laki-laki bukan hanya terlihat cuek dengan penampilan (dan mereka menganggap itu keren), tapi juga membentuk persepsi bahwa alokasi ekonomi mereka lebih ‘bermanfaat’ dibanding perempuan.

Konsep-Konsep ‘Kegantengan’, Maskulinitas, dan Stereotip Gender

Kurasa lingkungan masyarakat secara umum masih melihat laki-laki yang tidak peduli dengan penampilan dirinya sebagai tanda ‘maskulinitas’. 

Konsep seperti ini kerap membuat laki-laki anti atau emoh dengan produk perawatan, memilih pakaian yang itu-itu saja, dan sebagainya. Padahal, maskulin bukan berarti cuek dengan penampilan diri.

Dalam persepsi-persepsi keliru tentang maskulinitas, feminitas, dan perawatan diri, ada stereotipe gender yang diturunkan dari masa ke masa. 

Stigma terhadap laki-laki yang merawat penampilan mungkin berasal dari budaya yang masih tradisional. Maskulinitas dilihat menekankan kejantanan, kekuatan fisik, dan ketidakpedulian terhadap penampilan. Laki-laki yang menunjukkan ketertarikan pada penampilan mereka sering dianggap melanggar norma-norma ini.

Tidak bisa dipungkiri, konstruksi realitas di media juga berpengaruh terhadap gambaran stereotipikal laki-laki ideal dan maskulin. Iklan produk kebutuhan rumah tangga, kecantikan, dan perawatan diri identik dengan perempuan. Sementara itu, iklan untuk laki-laki biasanya berupa produk otomotif hingga rokok—hal-hal yang lekat dengan istilah ‘hobi’. Tentu saja persepsi masyarakat sedikit banyak terpengaruh oleh media yang terus menampilkan citra laki-laki yang hanya peduli pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan mereka.

Kalau diturunkan sedikit, ada beberapa era tren fashion yang berpengaruh terhadap persepsi laki-laki maskulin dan ‘ganteng’. 

Baca Juga: Musik dan Film Korea: Gelombang Baru Menantang Stereotipe Asia

Misalnya, di Era Klasik (tahun 1940-1950-an), laki-laki dengan potongan rambut yang klasik, berpakaian formal, dan berperilaku sopan sering dianggap menarik—seorang gentleman. Lalu di Era Hippie (tahun 1960-1970-an), nilai-nilai kegantengan sering dikaitkan dengan tampilan yang lebih santai dan alami. Laki-laki berambut gondrong, dengan gaya berpakaian bebas dan sikap yang terbuka terhadap ekspresi diri jadi populer.

Sedangkan di Era Disco (akhir tahun 1970-an), laki-laki ‘ganteng’ berarti gaya pakaiannya mencolok, rambutnya bergelombang, dan kepercayaan dirinya tinggi. Di era ini juga muncul tren glam rock dan berpengaruh terhadap persepsi masyarakat atas penampilan laki-laki.

Era Grunge di tahun 1990-an mungkin jadi asal muasal konsepsi laki-laki yang jauh dari perawatan diri. Di era ini, laki-laki dianggap ‘ganteng’ dan ‘menarik’ ketika berpenampilan kasual dan ‘cuek’. Laki-laki dengan pakaian yang santai, rambut acak-acakan, dan penampilan yang kurang effort pun menjadi tren.

Bukannya tren tidak berubah sejak saat itu. Memasuki tahun 2000-an, kita mengenal tren ‘metroseksual’. Di sini, konsep laki-laki lebih peduli dengan penampilan dan perawatan diri mereka. Laki-laki yang merawat kulit, memakai produk kecantikan, dan memiliki gaya berpakaian yang terkini bukan lagi sesuatu yang betul-betul aneh bagi masyarakat.

Namun, stereotipe itu masih ada—erat, bahkan hingga saat ini. Ini mungkin karena konsep perawatan diri sangat lekat pada perempuan dan feminitas. Sehingga, laki-laki yang melakukannya dianggap kurang ‘laki’, dan perempuan yang melakukannya dianggap ‘boros’ hingga ‘tidak punya hobi’.

Merawat Diri (Bukan Cuma) Bentuk Konsumerisme

Zaman berubah. Saat ini, konstruksi gambaran laki-laki yang cuek akan penampilan mulai runtuh. 

Budaya dan media populer kini mewajarkan laki-laki menggunakan skincare dan lebih peduli akan penampilan—makanya kita dapat melihat wajah sejumlah idol K-pop laki-laki di toko-toko kecantikan. Meski demikian, masih ada bagian dari masyarakat yang belum dapat melihat laki-laki, maskulinitas, dan perawatan diri berjalan beriringan.

Kita tidak bisa mengelak bahwa masyarakat kadang masih melihat perawatan kulit, rambut, atau kecantikan, sebagai sesuatu yang kurang penting atau bahkan dianggap sebagai tuntutan kecantikan yang tidak perlu. Apa lagi bagi laki-laki. “Ngapain cowok skincare-an? Stereotipe ini dapat mengarah pada persepsi bahwa pengeluaran untuk produk perawatan diri perempuan hanya bersifat konsumtif.

Terkadang, masyarakat mungkin lebih cenderung memberikan nilai lebih pada aktivitas atau hobi yang dianggap produktif. Seperti olahraga atau kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan. Sedangkan aktivitas perawatan diri dianggap kurang penting.

Di sisi lain, dalam kerangka peran gender tradisional, peran perempuan mungkin lebih dikaitkan dengan penampilan fisik dan kecantikan. Sementara itu, peran laki-laki identik dengan aktivitas yang dianggap lebih ‘bermanfaat’ atau ‘bernilai ekonomi’. Maka menggunakan uang untuk ‘hobi’ laki-laki dianggap lebih baik ketimbang untuk perempuan ‘merawat diri’.

Padahal, perawatan diri dan hobi bisa berdampingan—dan perempuan maupun laki-laki bisa melakukan keduanya.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!