Para bissu di Karnaval Budaya pada Hari jadi Sulawesi Selatan ke 348 tahun 2017 (Dok. pribadi Eman Memay Harundja)

Cerita Kerukunan Bissu Transpuan di Sulawesi Selatan

Ini adalah catatanku usai menyimak diskusi komunitas transpuan yang juga para bissu di Sulawesi Selatan. Mulai dari sejarah berdirinya hingga upayanya melawan diskriminasi yang mereka alami.

Pekan lalu, aku menghadiri pertemuan daring ‘Bincang Transpuan dari 2 Generasi’ yang diadakan Kerukunan Waria Bissu Sulawesi (KWRSS). Pada diskusi yang dimoderatori Dhea Charoline Runner Up Miss Transpuan 2015 itu, ada tiga narasumber yang hadir. Mereka adalah Haji Ida Hamid yang kini menjadi Ketua KWRSS.

Ada juga Amanda Sandova yang menjadi Miss Transpuan tahun 2015 sekaligus Miss Trans Global Asia Pasifik. Serta seorang aktivis perempuan, Nuraini Gee Gee. 

Perbincangan kami dimulai dari Haji Ida Hamid atau yang akrab disapa Ummi Ida. Dia menceritakan sejarah awal mula berdirinya KWRSS. 

Kerukunan Waria Sulawesi Selatan menurut Ummi Ida lahir diinisiasikan pada tahun 1999. Diawali pada tahun 1996, Mami Fitri yang merupakan tokoh transpuan dari Bone, memulai idenya untuk mempersatukan waria yang ada di Sulawesi Selatan. Ide tersebut muncul dari kegiatan fashion show yang dilakukan komunitas transpuan di pesta pesta perkawinan. 

Selain Mami Fitri dan Ummi Ida, dukungan komunitas juga datang dari Haji Karmila dari Sopeng, almarhum Haji Arifa Untung dari Wajo, Haji Asnawi dari Bone, Kepa dari Sinjai, almarhum Haji Nur dari Amparita.

Setelah itu pada tahun 1997, di rumahnya Haji Nur yang terletak Amparita di terbentuklah sebuah organisasi yang sekarang jadi KWRSS atau Kerukunan Waria Sulawesi Selatan. 

Setahun kemudian, pada tahun 1998 di acara porseni di Bola Soba Bone, para tokoh KWRSS menunjuk Mami Fitri sebagai ketua waria. Ia sekaligus menjadi koordinator pada saat itu. 

Baca Juga: Selenggarakan Pekan Olahraga dan Seni, Waria-Bissu Dibubarkan Polisi

Adapun susunan kepengurusannya: Mami Fitri sebagai ketua, Ade Rinalda sebagai Sekretaris dan Monika sebagai Bendahara. 

Pada Maret tahun 1999, barulah secara resmi KWRSS disahkan menjadi organisasi.

Pada tahun 2015, Kerukunan Waria Sulawesi Selatan berubah nama menjadi Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan. Hal itu berkaitan dengan bergabungnya beberapa Bissu menjadi bagian dari KWRSS. 

Sejak resmi berdirinya Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS), setiap tahun mereka rutin adakan kegiatan. Pernah pula sampai mengundang Amin Syam selaku Gubernur Sulawesi Selatan (2003-2008) pada porseni Waria di Kabupaten Pinrang. 

Hingga saat ini, KWRSS masih menjadi organisasi aktif dan tercatat sebagai salah satu komunitas tertua di Sulawesi Selatan.

Awal Mula Miss Transpuan 2015 Bergabung ke Komunitas Transpuan

Pada tahun 2009, Amanda Sandova, Miss Transpuan 2015 pertama kali bergabung di organisasi Persatuan Waria Luwu Utara. Ketika itu, sebuah lomba fashion show yang diikuti berbagai daerah di beberapa kabupaten seperti Palopo, Maliling, dan Bugis. 

Lalu pada tahun 2010 hingga 2015 ia ikut beberapa kegiatan di beberapa komunitas di beberapa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Sopeng, Bone, Wajo dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi. Pada saat itulah ia mengikuti porseni yang diadakan oleh KWRSS.

Kemudian 2015 Amanda direkomendasikan oleh Ketua Waria Kabupaten Luwu untuk mengikuti ajang Miss Transpuan. Namun pada waktu, Amanda menolak tawaran tersebut. Ia merasa tidak percaya diri. 

Setelah tiga hari ia dibujuk, akhirnya ia menerima tawaran tersebut. 

Tak disangka, Amanda justru bisa menjadi pemenang dari kontes itu. Atas prestasinya itu,  ia pun mendapat apresiasi oleh ketua waria. Hingga Ia diangkat menjadi wakil ketua di Perwalut. 

Berbekal pengalamannya selama mengikuti pelatihan-pelatihan di Miss Transpuan, Amanda pun membagikan ilmu yang yang ia dapat kepada komunitas di daerahnya. 

Pada tahun 2015 hingga 2017, Amanda pun aktif mengikuti beberapa pelatihan secara intensif. Dia ingin terus menambah pengalaman dan pengetahuan.  

Baca Juga: Kisah Eman, Transpuan yang Berjuang Jadi Pengacara di Sulawesi Selatan

Selang beberapa tahun kemudian, pada tahun 2021, Ia bisa terpilih sebagai Wakil Indonesia dalam kompetisi Internasional yaitu Miss Transglobal. Amanda juga berhasil masuk 9 besar dan keluar sebagai urutan ke-6 sebagai Miss Trans Global Asia Pasifik 2021.

Dari perjalanan hidup Amanda itu, dia bilang, mengikuti sebuah organisasi atau komunitas adalah hal yang sangat penting. Bagi Amanda, dari berorganisasi lah dirinya dapat belajar dan bersinergi dengan lembaga-lembaga lain. Ini bisa memperbanyak relasi yang seperjuangan. 

Dia juga mengajak para teman-teman lainnya untuk aktif berorganisasi. Bukan saja menambah pengalaman dan jejaring, tapi juga untuk memperjuangkan keadilan kelompok Transpuan. Utamanya, dari kelompok-kelompok intoleran yang saat ini selalu menghantui para komunitas transpuan.

Para Transpuan Melawan Stigma

Nuraini Gee Gee, seorang aktivis perempuan berpendapat bahwa stigma negatif yang dilekatkan pada kelompok transpuan, terjadi karena adanya ideologi patriarki. Itu sudah diinternalisasi di tengah masyarakat dalam jangka waktu lama. 

Ia juga berpendapat bahwa seorang yang mengaku sebagai feminis, semestinya mengakui pula keberadaan transpuan. Sebab ideologi feminist telah lama mengakui transpuan sebagai perempuan. 

Trans feminism berpandangan, bahwa kesesuaian gender (gender conformity) sebagai mekanisme kontrol patriarki atas tubuh transpuan yang mengakibatkan stereotip transpuan.  

Terry O’Neill (President of National Organization for Women), pegiat feminisme yang mengatakan juga bahwa perjuangan melawan transphobia adalah isu feminis. Trans feminism bergerak untuk perjuangan transpuan diposisikan secara setara dan adil dari setiap perlakuan salah terhadap tubuhnya. 

“Teman-teman feminis harus mengetahui bagaimana sejarah SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Sex Characteristics),” katanya. 

Baca Juga: Aku Ingin Merdeka, Bahasa Aksi dan Perjuangan Queer Lepas dari Kolonialisme

Nuraini memaparkan, selama ini kelompok transpuan seringkali mendapatkan stigma negatif. Salah satunya yang paling sering dianggap sebagai “penyebab” dan “penyebar” penyakit HIV. Padahal, secara data itu juga tidak terbukti. 

Menurutnya, pandangan tersebut merupakan bagian dari ideologi patriarki. Itu adalah persoalan sistem atau ideologi yang mengkonstruksi atau membentuk apa yang sudah diyakini. Satu sisi, bagaimana masyarakat menilai bahwa kelompok transpuan dianggap sesuai yang “menyimpang”.

Maka dari itu, dirinya mendukung dengan adanya komunitas-komunitas transpuan yang terus berupaya mengedukasi. Juga menciptakan ruang aman dan saling menguatkan di tengah situasi yang diskriminatif terhadap minoritas. 

“Saya berharap dengan ideologi dan motivasi dari para kelompok Transpuan dan feminis, perlahan pandangan masyarakat terhadap komunitas Transpuan akan berubah. Strategi berikutnya adalah campaign, yang mengkampanyekan perjuangan substansi para pejuang Transpuan,” pungkasnya.

Foto: Bissu transpuan pada Karnaval Budaya pada Hari jadi Sulawesi Selatan ke 348 tahun 2017 (Dok. pribadi Eman Memay Harundja)

 

Dizafia Zafira Mayyasya

Mahasiswa S2 Kajian Gender Universitas Indonesia (UI)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!