Penelitian telah menunjukkan bahwa beraktivitas sepeda bermanfaat bagi kesehatan, lingkungan, juga sektor sosial dan ekonomi.
Sepeda menjadi alternatif yang ideal bagi perempuan yang memiliki mobilitas terbatas. Ini bisa akibat diskriminasi status sosial-ekonomi dan gender di berbagai kota berkembang di Asia. Bersepeda dapat membantu mereka bepergian sekaligus ke beberapa tujuan. Termasuk untuk memenuhi tanggung jawab mereka pekerjaan dan rumah tangga.
Di kota Surakarta, Jawa Tengah, kegiatan bersepeda sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Sejak dulu, jumlah perempuan yang bersepeda di kota yang juga dikenal sebagai Solo ini relatif sama dengan laki-laki. Bersepeda membantu perempuan Solo mengakses pendidikan dan pekerjaan melalui mobilitas yang lebih baik.
Zaman dahulu, pemerintah kota dan pelaku industri juga menerapkan kebijakan pro-sepeda. Seperti insentif finansial untuk penggunaan sepeda dan adanya fasilitas parkir.
Namun, layaknya berbagai daerah yang mengalami urbanisasi di belahan dunia selatan, berkembangnya industri motor membuat kepemilikan sepeda motor di Solo meningkat pesat. Yaitu dua kali lipat antara 2009 dan 2013 menjadi hampir 424,000. Hal ini membuat kualitas kebijakan yang mendukung penggunaan sepeda mengalami penurunan.
Penelitian kami di Solo menemukan cara bagaimana meningkatkan kegiatan bersepeda. Khususnya bagi perempuan yang tinggal di daerah yang memiliki minim transportasi umum.
Kami mengadakan diskusi kelompok (focus group discussion), wawancara, dan juga pengamatan lapangan yang melibatkan berbagai perempuan miskin dari 10 kelurahan di Solo. Mereka memiliki akses terbatas pada jaringan transportasi publik.
Bukan lagi kota ramah sepeda
Jumlah sepeda motor di Solo hampir menyamai jumlah populasinya. Solo dengan pesat bergeser menjadi kota yang fokus pada perencanaan transportasi. Yaitu untuk memperbaiki akses dan infrastruktur kendaraan bermotor.
Sepeda kini hanya berjumlah 1% dari sebaran penggunaan kendaraan di kota tersebut. Sedangkan sepeda motor 67%. Namun, peningkatan pesat kepemilikan motor ini bukan sesuatu yang bisa dinikmati oleh rumah tangga miskin.
Hal ini juga lebih berdampak pada perempuan karena kepemilikan motor biasanya diberikan pada laki-laki. Alasannya karena peran gender mereka dalam rumah tangga. Pada akhirnya, perempuan miskin di daerah miskin dengan akses minim terhadap transportasi umum seringkali hanya memiliki pilihan untuk menggunakan sepeda atau berjalan kaki untuk bepergian.
Kebijakan pemerintah daerah juga tidak mendukung penggunaan sepeda. Meskipun terdapat beberapa inisiatif.
Dalam upaya untuk merevitalisasi kegiatan bersepeda di antara warganya, pemerintah Solo menyulap jalan arterinya, Jalan Slamet Riyadi. Jalan ini menjadi ruang publik untuk berjalan, bersepeda, dan kegiatan komunal lainnya untuk ‘Solo Car Free Day’ sejak 2010.
Baca Juga: Ceritaku Datangi Kampung-Kampung di Jakarta: Pembangunan Maskulin Bikin Perempuan Jadi Miskin
Jalur lambat sepanjang 28 kilometer (km) di Solo – yang memisahkan sepeda dengan kendaraan bermotor di beberapa jalur utama – juga merupakan yang terpanjang di Indonesia.
Namun, inisiatif-inisiatif baik ini terkonsentrasi di pusat kota, yang berjarak lebih dari 9 km dari daerah tempat tinggal sebagian besar narasumber kami.

Pengguna sepeda motor juga sudah mendominasi penggunaan jalur lambat dan jalan kecil lainnya; ini seringkali membahayakan pengguna sepeda lain yang turut menggunakan jalan tersebut.
Kombinasi dari masalah akses dan juga dominasi sepeda motor, membuat jalanan perkotaan menjadi sangat susah diakses oleh mayoritas pengguna sepeda perempuan yang bertempat tinggal di daerah yang jauh dari jalur transportasi umum.
Di tengah berbagai hambatan, banyak perempuan yang memilih untuk tetap bersepeda di Solo, meskipun sebagian besar hanya bersepeda di sekitar kelurahan mereka. Hal ini karena jalan lokal membuat pengalaman bersepeda mereka menjadi sedikit lebih baik.
Baca Juga: Miskin dan Putus Asa, Para Perempuan Putuskan Jadi Pekerja Migran
Lebih dari sepertiga responden kami menggunakan sepeda untuk belanja di pasar dan juga toko kelontong.
Bersepeda juga cukup populer di kalangan siswi Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, yang memiliki persentase penggunaan sepeda tertinggi di antara perempuan.
Ketika berangkat sekolah, misal, 52% siswi menggunakan sepeda. Bandingkan dengan 20% yang berjalan dan hanya 5% yang menggunakan transportasi umum.
Tapi, angka ini turun secara signifikan untuk siswi di level Sekolah Menengah Atas, kemungkinan besar karena sekolah mereka terletak di pusat kota atau jauh dari tempat tinggal.
Berubahnya peran gender seiring usia juga bisa menjelaskan penurunan ini. Perempuan muda dengan usia 16-25 tahun memiliki angka penggunaan sepeda terendah, disusul dengan perempuan berusia 25-34.
Temuan-temuan ini mengindikasikan bahwa bersepeda masih memiliki peran penting di kehidupan banyak perempuan di Solo.
Tanpa dukungan yang cukup dari pemerintah, perempuan miskin di daerah yang minim akses transportasi umum adalah yang paling banyak dirugikan.
Apa yang harus dilakukan?
Dalam wawancara yang kami lakukan, banyak responden mengusulkan perluasan jalur lambat untuk juga diterapkan di jalan-jalan lain di luar jalan utama.
Artinya, pemerintah seharusnya juga mempertimbangkan daerah-daerah penduduk di Solo yang tersebar untuk memperbaiki akses sepeda supaya mereka bisa melakukan kegiatan sehari-hari, seperti bekerja, bersekolah, dan kegiatan ekonomi penting lainnya – bukan hanya untuk rekreasi warga yang ada di tengah kota.
Setelah menyambung jalan utama di tengah kota dengan daerah-daerah di pinggiran pun, tantangan lain muncul: sepeda motor makin mendominasi jalanan dan juga ruang publik secara umum.
Banyak responden kami merasa tidak berdaya dan kesulitan menempatkan diri di antara pengguna sepeda motor – mereka selalu dibayangi rasa takut akan ditabrak dari berbagai arah.
Untuk perempuan yang bersepeda jarak jauh di luar tempat tinggal mereka, strategi yang umum digunakan adalah bepergian melalui jalan alternatif.
Baca Juga: Perempuan Marjinal Kota: Kemiskinan Seperti Nyawa yang Tak Pernah Lepas dari Kehidupan Mereka
Mereka yakin bahwa dengan bersepeda di jalanan yang yang lebih lokal dan kecil, mereka dapat berkendara dengan lebih cepat, nyaman, dan menjangkau lebih banyak tempat.
Untuk mendukung praktik-praktik tersebut, pemerintah perlu menerapkan intervensi aktif di berbagai jalanan untuk mengurangi, membatasi, dan di kasus tertentu, melarang kendaraan bermotor sepenuhnya.
Responden kami menekankan bagaimana pengguna sepeda merasa tidak dihargai karena tidak ada fasilitas parkir yang disediakan. Bahkan ketika mereka bersedia membayar harga yang sama dengan pengguna motor.
Mereka menekankan pentingnya memperbaiki infrastruktur sepeda. Seperti menyediakan jalur atau kantong parkir khusus – seperti yang sudah ada untuk sepeda motor. Hal ini sangat penting untuk perempuan yang memiliki banyak keperluan dalam sekali jalan.
Kerentanan terhadap pelecehan dan tindak kejahatan, ditambah lagi dengan norma budaya, juga menjadi hambatan bagi perempuan untuk bersepeda.
Baca Juga: #BreakTheBias Perempuan Miskin: ‘Kami Bukan Orang Malas dan Tak Mau Kerja’
Beberapa menyarankan perempuan untuk bersepeda secara berkelompok untuk mencegah pelecehan, serangan fisik, atau perampokan – khususnya di pagi hari ketika mereka harus pergi ke pasar atau masjid.
Beberapa responden lain mendiskusikan upaya pendidikan masyarakat yang menyasar berbagai kelompok usia perempuan. Adapun fokusnya memberikan penjelasan tentang manfaat bersepeda bagi kesehatan, lalu kemudahan dan lingkungan ramah sepeda.
Penelitian “Women on Wheels” (Perempuan Bersepeda) di Solo didukung oleh Yayasan Kota Kita dan dilakukan bersama dengan John Taylor (FAO Bangladesh) dan Mariel Kirschen (Nelson/Nygaard Consulting).
(Sumber Gambar: Yayasan Kota Kita)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.