Transpuan

Feby Damayanti: Bagaimana Hidup Transpuan di antara Janji Capres dan Caleg

Kelompok transpuan di Surabaya sempat memberikan loyalitas kepada salah satu partai politik. Namun, setelah menang, mereka dilupakan begitu saja. Feby Damayanti, seorang waria atau transpuan menceritakan kondisi perjuangan politik mereka.

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Akhir Tahun soal refleksi perempuan muda yang  berjudul: Ini Tahun Politik, Girls, Refleksi Perempuan Muda di Akhir Tahun 2023. Edisi ini bisa dibaca 28 Desember 2023- 1 Januari 2024

Reporter Konde.co, Ika Ariyani mendatangi salah satu komunitas yang sering diabaikan dalam kebijakan maupun dalam Pemilu, mereka adalah komunitas waria atau transpuan.

Perwakos (Persatuan Waria Kota Surabaya) adalah komunitas transpuan yang eksis di tengah hiruk pikuk kota pahlawan. 

Feby Damayanti, adalah Koordinator Program di Perwakos. Ika Ariyani menghubunginya untuk mengetahui refleksi mereka selama ini dan bagaimana keberadaan mereka selama tahun politik.

Pemilihan umum yang sering disebut sebagai ‘pesta’ nampaknya menyisakan kelompok yang tidak diajak hadir dalam acara tersebut. Kelompok ini seperti hanya bisa nonton dari jauh dan terkadang jika beruntung, mereka dilibatkan sebagai bagian dari hiburan saja tanpa timbal balik yang sesuai.

Dalam perhelatan Pemilu, posisi transpuan sebagai kelompok marjinal belum menjadi perhatian. Janji-janji politisi masih seputar ide-ide yang hanya menguntungkan kelompok mainstream. Feby Damayanti menceritakan bahwa dirinya dan Perwakos memiliki pengalaman soal ini. 

Feby bercerita, dalam Pemilu-Pemilu sebelumnya, kelompok transpuan pernah dilibatkan untuk mendukung salah satu partai politik. Mereka sangat total dalam mendukung partai tersebut sebagai simpatisan. Mereka bahkan membuat petisi dengan darah dari jari sebagai bentuk komitmen. Namun setelah ‘pesta’ demokrasi berakhir, hilang juga janji yang pernah diberikan.

“Teman-teman itu dulu sampai bikin petisi dengan darah untuk milih salah satu partai, saking loyalnya. Temen-temen transpuan maju di garis depan, turun ke jalan ketika kampanye. Tapi apa, ketika partainya menang teman-teman ngga dapat apa-apa,” jelas Feby.

Kekecewaan itulah yang membuat Feby dan teman-temannya menjadi lebih skeptis terhadap partai-partai yang ingin mendekati mereka. Kelompok transpuan hanya dianggap sebagai objek politik untuk mendulang perolehan suara.

“Partai lain juga sama saja. Perwakos sudah capek komitmen-komitmen gitu. Sekarang teman-teman sudah pinter-pinter,” lanjut Feby.

Baca juga: Fatum Ade: Wahai Presiden Baru, Isu Disabilitas Mental Bukan ‘Objek Jualan Politik’

Pengalaman Feby sebagai transpuan yang terlibat dalam dunia politik sebenarnya bukan baru-baru ini. Pada dasarnya ia tidak anti terhadap partai atau aktivitas politik. 

Terdata ada sekitar 367 transpuan yang hidup dan beraktivitas di kota ini. Meskipun jumlah ini bukanlah angka yang pasti valid karena beberapa transpuan tersebut masuk dan berpindah dari Surabaya ke kota lain.  Selain Feby, Perwakos dikelola oleh mami Sonya Vanessa selaku ketua dan Denok sebagai staf administrasi. Feby menjelaskan bahwasanya Perwakos pada awalnya berupa shelter bagi transpuan.

“Perwakos awalnya shelter yang kami miliki secara swadaya dan open donasi. Kami berupaya untuk menjadi rumah aman transpuan” jelas Feby.

Selayaknya seperti komunitas marjinal lainnya yang sering terabaikan, Perwakos juga kerap diabaikan keberadaannya. Minimnya dukungan dan perhatian membuat eksistensi mereka tidak banyak diketahui atau bahkan dianggap vakum. Namun, Feby menyangkal anggapan tersebut.

“Perwakos masih ada dan aktif. Memang sempat beredar kabar kalau Perwakos vakum tapi itu tidak benar” ungkap Feby.

Baca juga: Fatia Maulidiyanti: Joget Gemoy? No! Anak Muda Butuh Politik Gaya Baru

Feby sendiri memiliki segudang prestasi. Ia selain aktif sebagai aktivis transpuan dan HIV, juga kerap diundang sebagai pembicara di berbagai forum, baik nasional maupun internasional. Tentu saja ia hadir sebagai representasi transpuan dan Perwakos itu sendiri.

Beberapa prestasi Feby antara lain dalam event internasional Global Platform for Disaster Risk Reduction yang diadakan oleh lembaga INVEST DM 2.0 Mercy Corps Indonesia. Feby berperan  sebagai edukator Covid-19 untuk kelompok transpuan dan masyarakat umum. 

Ia menjadi perwakilan dari kelompok minoritas karena memiliki kisah sukses membantu komunitas dan masyarakat. Selain itu Feby menjadi inisiator berdirinya ASPA (Aliansi Surabaya Peduli AIDS), organisasi yang mendorong adanya kebijakan anggaran daerah untuk alokasi program HIV (CSO). Feby terpilih mengikuti event ini karena sebelumnya telah berhasil berperan positif bagi masyarakat saat pandemi.

Pada tahun 2021, saat pandemi melanda, Feby berperan aktif memberi advokasi kepada kelompok minoritas serta masyarakat umum untuk mendapatkan vaksin. 

Feby menjelaskan, vaksinasi gelombang awal sangatlah birokratis sehingga banyak masyarakat yang tidak mendapatkan vaksin karena harus memiliki ktp lokal atau berdomisili di Surabaya. Feby mengaku ia melobi pihak terkait seperti Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk membantu masyarakat umum mendapat vaksin.

Ia juga sebagai salah satu register yang meminum PrEP (pre-exposure prophylaxis), obat pencegah penularan infeksi bagi orang yang berisiko tinggi tertular HIV, pertama di Indonesia. Feby yang memiliki kemampuan public speaking yang bagus ini, mengaku bahwa ia tidak mencicipi bangku kuliah, kemampuan bahasa Inggrisnya juga ia rasa belum mumpuni.

“Saya ini cuma tamatan SMK lho mbak, bahasa Inggris juga masih kurang. Yo pengen seh belajar. Tapi belum ada kesempatan. Pertama kali pidato di depan banyak orang itu tahun 2010,” ucap Feby menjelaskan dirinya.

Pemilu Mestinya Mengubah Stigma Terhadap Transpuan

Dalam Pemilu kali ini, meskipun sedikit skeptis, namun Feby masih menyisakan ruang di dalam dirinya untuk mengambil peran dan berpartisipasi sebagai pemilih.

Tempat Feby melakukan pencoblosan nanti berada di luar kota Surabaya sejauh 5 jam. Namun, Feby memastikan bahwa sebisa mungkin dirinya akan memilih.

“Itu adalah bentuk kontribusi saya sebagai warga negara yang baik. Inginnya Pemilu ini sedikit banyak mengubah perspektif masyarakat tentang stigma transpuan. Apa yang bisa saya lakukan? Salah satunya nyoblos. Pulang ke daerah asal. Meskipun saya ngga terlalu punya harapan besar terhadap calon pemimpin. Temen-teman juga akan nyoblos,” jelas Feby.

Baca juga: Perjuangan Transpuan Mengurus KTP: “Mereka Tetap Memanggil Saya Mas”

Terkait dengan pernyataan salah satu anggota tim sukses calon presiden yang menyatakan akan memastikan seluruh warga Indonesia, termasuk kaum non-biner atau kelompok yang tidak mau diidentifikasi sesuai gendernya, memiliki hak yang sama di mata konstitusi, Feby menyambut baik hal itu sebagai angin segar, meskipun implementasi dari janji politis dianggapnya seringkali tidak sampai ke lapis bawah pemerintahan.

“Itu angin segar, semoga aja iya. Aku masih 60% ngga percaya, 40% percaya. Undang-Undang yang pro atau netral terhadap kami bagus sih. Tapi implementatornya ngga menerapkan itu, informasi ngga nyampe ke mereka. Contohnya isu kesehatan. Di Faskes pertama, ketika kami datang dengan identitas berbeda, para petugas masih menggunakan nila-nilai mereka. Kami malah diceramahi, aduh kamu itu eman, kamu itu ganteng kenapa suka sesama jenis. Mereka rasan-rasan (ngomongin) tapi melihat ke kita,” cerita Feby.

Bukan hanya soal kesehatan, Feby juga menceritakan keluh kesah soal masalah identitas kependudukan. Setiap warga negara berhak memperoleh identitas berupa ktp tanpa ada diskriminasi atas gendernya. Meskipun begitu, fakta di lapangan berbeda.

“Dari organisasi Suara Kita, mereka sudah turun ke provinsi-provinsi untuk mengedukasi hak transpuan mendapatkan ktp. Tapi ketika teman-teman ngurus di tingkat kelurahan masih dipersulit, sosialisasi yang dilakukan Suara Kita seperti tidak berlaku,” keluh Feby.

Kekerasan di Tengah Janji Utopis Capres dan Caleg

Feby juga mengungkap, tahun ini, ada 1 kisah kekerasan yang dialami oleh transpuan yang bekerja sebagai pekerja seks. Ia mendapatkan kekerasan setelah menolak memberikan uang yang diminta oleh preman di lokasi tempat ia bekerja. Kepalanya dipukul hingga otaknya cedera parah. Kini ia masih dalam perawatan dan masih sulit untuk berkomunikasi.

“Iya mbak, risiko kerja di tempat prostitusi memang besar. Sudah 2 kali dipalak preman, kalau ngga dikasih uang dianiaya. Sekarang bicaranya lambat merespon dan matanya jadi juling. Belum bisa kerja lagi,” cerita Feby.

Di tahun 2018, Perwakos juga menampung korban kekerasan akibat premanisme. Tidak jauh beda dengan kasus tahun ini, kekerasan ini juga terjadi di lokasi prostitusi. Korban mengalami luka parah di bagian mulut karena ditusuk obeng berkali-kali. Perwakos dan LBH sudah melaporkan hal ini ke kepolisian. Namun hingga sekarang penyelesaian kasus ini belum berakhir.

Setelah pulih dari luka, korban juga tidak punya pilihan selain kembali bekerja di lokasi yang sama saat dianiaya preman. Trauma dan rasa takut menjadi nomor sekian demi mengisi perut.

“Sebetulnya Perwakos sudah mengedukasi teman-teman di lokasi. Baik keamanan diri maupun pencegahan penyakit menular seksual. Kami sudah arahkan mereka jika ada bahaya, jangan berpencar, selalu bersama-sama. Tentukan titik kumpul yang aman. Jika keadaan gawat, lari ke titik kumpul itu. Tapi, yang namanya musibah, arahan itu tidak bisa dipraktikkan,” jelas Feby lebih lanjut.

Baca juga: Cerita Mak Echi, Tak Gentar Perjuangkan KTP untuk Transpuan

Selain kekerasan, diskriminasi terhadap transpuan yang terkena HIV juga ditangani oleh Perwakos. Mereka ditolak oleh masyarakat dan keluarganya sendiri.

“Ada transpuan lansia HIV didiskriminasi. Perwakos melakukan upaya pengobatan di shelter. Tapi kemampuan kami merawat dia cuma 1 bulan. Kendalanya biaya. Akhirnya kami kembalikan ke pemerintah. Pemerintah nerima dan dimasukkan ke Liponsos. Waktu itu kami jenguk, 2 minggu sudah gemuk, kita senang. Kemudian 3 bulan meninggal,” kata Feby.

Masalah-masalah ini adalah masalah yang dihadapi oleh transpuan yang kerap diabaikan dan selalu berulang. Jaminan akan keamanan ataupun mendapatkan jaminan kesehatan yang sama dengan warga negara lainnya nampaknya tidak terasa bagi mereka. 

Di tengah hiruk pikuk pemilu yang menebar janji-janji utopis kepada masyarakat seperti kesehatan gratis dan supremasi hukum, Feby dan rekan-rekan transpuannya memiliki keraguan apakah mereka menjadi bagian dari orang yang dijanjikan itu ataukah tidak.

“Memang sebagian besar transpuan di Surabaya sudah punya ktp. Tapi banyak yang belum punya bpjs. Berat di bayar bulanannya. Mau ngurus bpjs bantuan pemerintah, harus pulang ke daerah asal, sementara kebanyakan mereka tuh enggan untuk mengurus karena hubungan dengan keluarga di kampung sudah renggang,” ungkap Feby.

Dalam ‘pesta’ demokrasi yang akan dihelat tahun depan, Feby memiliki harapan agar transpuan dihargai keberadaannya selayaknya warga negara pada umumnya.

“Harapannya negara melihat kami sebagai warga negara, menghormati keberagaman, kami setara dengan identitas gender lainnya. Setiap warga negara dilindungi UU, harusnya kami mendapat hak yang sama. Jika menurut mereka kami ini berbeda atau menyimpang, tolong jangan melihat perbedaannya, tapi lihatlah kami sebagai warga negara,” harap Feby.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!