Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI telah memutuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terbukti melanggar administrasi pemilu. Yaitu dengan menetapkan DCT anggota DPR yang tak memenuhi syarat keterwakilan 30 persen perempuan sesuai UU Pemilu. DCT ini telah ditetapkan pada Jumat (3/11).
“Menyatakan terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi pemilu,”ucap Ketua Majelis Pemeriksa Bawaslu, Puadi saat membacakan Putusan Perkara Nomor 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI.2023.
Dalam hal ini, KPU telah mengabaikan putusan Mahkamah Agung Nomor 24P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023. Putusan ini memerintahkan KPU mencabut Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 yang bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Terdapat 267 daftar calon tetap anggota DPR dari 17 partai politik yang persentase keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 254 UU Pemilu dan normal Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 sebagaimana putusan Mahkamah Agung,” papar anggota Majelis Pemeriksa Bawaslu, Herwyn J.H Malonda yang disiarkan secara daring.
Bawaslu lantas memberi teguran kepada KPU agar tak mengulangi pelanggarannya lagi. KPU juga diminta untuk melakukan perbaikan administrasi terhadap tata cara prosedur dan mekanisme tahapan pencalonan anggota DPR.
Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay turut mendesak agar KPU segera melaksanakan keputusan Bawaslu.
“Demi konstitusionalitas dan legitimasi pencalonan dan hasil pemilu anggota DPR dan DPRD tahun 2024, KPU harus melaksanakan putusan Bawaslu No.010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 secara konsisten dan menyeluruh,” katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima Konde.co.
Baca Juga: KPU Tak Segera Revisi Aturan Keterwakilan Perempuan, Aktivis: Ini Pembohongan Publik!
Pihaknya menegaskan, pelaksanaan Putusan Bawaslu harus dilakukan dengan mengoreksi 267 DCT Pemilu Anggota DPR Tahun 2024. Itu sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 245 UU 7/2017 yang mengatur bahwa “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).”
Di sisi lain, daftar calon dengan keterwakilan perempuan kurang dari 30% harus diputuskan oleh KPU sebagai tidak sah. “(Jadi) tidak dapat mengikuti pemilu DPR dan DPRD Tahun 2024,” imbuhnya.
Dia juga mengajak publik dan media diharapkan mengawasi pelaksanaan Putusan Bawaslu. Guna memastikan tidak ada upaya untuk menyimpangi atau menghindarkan diri dari kepatuhan atas Putusan dimaksud.
“Hendaknya menjadi bentuk penegakan keadilan pemilu, yang selama ini pelanggaran yang dilakukan KPU telah mengakibatkan banyak bakal calon perempuan yang kehilangan hak politiknya dalam pencalonan,” katanya.
Kemunduran partisipasi politik perempuan
Terbitnya PKPU No. 10 Tahun 2023 memang berdampak pada awal kemunduran partisipasi politik perempuan pada pemilu. Pembulatan angka 30 persen ke bawah ini justru membatasi hak politik perempuan.
Padahal, UU Pemilu membuka peluang seluas-luasnya untuk partisipasi perempuan di legislatif.
Angka keterwakilan perempuan di legislatif terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2014. Kendati begitu, angkanya tetap belum bisa mencapai kuota 30 persen.
Ada berbagai macam faktor yang melatarbelakangi, salah satunya adalah budaya patriarki yang seringkali menghalangi langkah perempuan.
Tak hanya itu, partai politik juga tak memberi dukungan kepada calon legislatif (caleg) perempuan. Seringkali peran partai hanya berhenti saat pencalonan saja.
Selebihnya, partai tak hadir untuk membantu menyusun strategi kampanye maupun memberi dukungan modal bagi caleg perempuan. Mereka seolah dilepas oleh partai yang menganggap adanya perempuan hanya sebagai formalitas belaka.
Lantas, bagaimana jika PKPU No. 10 Tahun 2023 tetap dijalankan? Tentu saja kuota perempuan di parlemen justru akan menurun. Hal ini dapat berimbas pada kebijakan yang diambil tak responsif gender.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan meminta agar KPU mengoreksi 267 DCT pemilu anggota DPR tahun 2024. DCT yang tak memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan harus diputuskan oleh KPU sebagai tidak sah dan tidak dapat mengikuti pemilu DPR dan DPRD tahun 2024.
“Kebijakan keterwakilan perempuan melalui affirmative action dalam konstruksi hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan bersama, khususnya oleh para terlapor (KPU) selaku penyelenggara pemilu,”ujar Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.
Tanggapan KPU
KPU menyebut akan segera menindaklanjuti keputusan yang ditetapkan Bawaslu RI soal keterwakilan caleg perempuan pada Pemilu 2024. Seluruh komisioner akan menggelar rapat dan membahas putusan tersebut.
“Kami akan pelajari salinan putusan lengkapnya, putusannya kita pelajari. Kita tindak lanjuti apa yang harus ditindaklanjuti,”ucap Komisioner KPU, Mochammad Afifuddin di Kantor Bawaslu RI pada Rabu (29/11), dikutip dari RRI.
KPU juga belum bisa memastikan terkait revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023. Mereka menyebut perlu menyusun laporan, hasil sidang, hingga menyampaikan keputusannya. Namun, dapat dipastikan putusan ini tak akan mengganggu tahapan Pemilu 2024.
“Kami akan pelajari salinan putusan lengkapnya, putusannya kita pelajari. Kita tindak lanjuti yang harus ditindaklanjuti,” katanya.
Sebelumnya dituliskan Konde.co, sebanyak 12 pelapor yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melaporkan dugaan pelanggaran administratif pemilu kepada Bawaslu pada 13 November lalu.
Hal ini disebabkan karena KPU tetap menjalankan ketentuan keterwakilan perempuan dengan rumus pembulatan ke bawah (math rounding) sesuai dengan PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Baca Juga: Aktivis: KPU Tak Wajib Tunduk pada DPR Untuk 30 Persen Suara Perempuan
Aturan tersebut sejatinya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada 29 Agustus 2023. Pembatalan ini juga melihat pada hasil uji materi yang dilakukan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang terdiri dari NETGRIT, Dosen FHUI, Pegiat Maju Perempuan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Kalyanamitra, INFID, KIPP, Puskapol UI, Perludem, JPRR, Institut Perempuan, dan Dosen Pemilu FHUI, MPI.
Selain MA, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga menjatuhkan sanksi peringatan keras pada Ketua KPU dan semua anggotanya karena dinilai melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Sanksi ini disampaikan melalui Putusan DKPP No. 110-PKE-DKPP/IX/2023.
Sayangnya, KPU tidak mengindahkan putusan-putusan tersebut. Pihaknya tetap meresmikan DCT Anggota Pemilu 2024 tanpa memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan. Dari 18 partai politik (parpol) yang mendaftar ke KPU, hanya satu yang memenuhi syarat keterwakilan perempuan yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sisanya tak memenuhi syarat, tetapi tetap diloloskan oleh KPU.
“(Parpol) Tidak peduli (keterwakilan perempuan). Penyelenggaranya sendiri (KPU) tidak peduli. Sesuatu yang menurut mereka nyaman begini,”ujar Hadar dalam diskusi Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Kamis (9/11).