16 HAKTP dan kekerasan berbasis gender online

Maraknya KBGO dari AI: Pentingnya Semangat 16 HAKTP Terus Digerakkan

Momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) memang sudah berakhir. Namun, semangat perjuangannya tak boleh berhenti. Termasuk semangat perlawanan terhadap ancaman kekerasan KBGO dari AI (Artificial Intelligent).

“Kebebasan bersifat relatif, dan pembebasan perlu diperjuangkan.” (Julia Suryakusuma)

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) berlangsung sejak 25 November 2023 hingga 10 Desember 2023 lalu. Momentum yang diperingati serentak tiap tahun ini, digagas pertama kali pada tahun 1991 oleh Women’s Global Leadership Institute. 

Kehadirannya tentu bukan secara tiba-tiba. Ada sejarah kelam yang melatarbelakanginya. Berdasarkan sebuah artikel yang diterbitkan pada Sabtu, (25/11/2023) di laman Konde.co, peringatan 16 HAKTP ini bermula dari peristiwa tragis yang menewaskan aktivis perempuan tiga bersaudara Mirabal pada tahun 1960. 

Tiga perempuan tersebut bernama Minerva Mirabal, Maria Teresa Mirabal, dan Patria Mirabal. Mereka berjuang melawan budaya maskulinitas yang berlebihan serta agresif saat negara Dominika dijajah oleh bangsa Spanyol dan Portugis.

Baca Juga: Mengapa Kita Memperingati 16 HAKTP? Ada Sejarah Perjuangan Mirabal Bersaudara 

Dibawah pemerintahan Rafael Trujillo yang diktator tahun 1930 hingga 1960. Trujillo mencoba menjadikan perempuan sebagai objek serta alat untuk menaikkan statusnya. Selain itu, Ia juga menganggap perempuan sebagai objek dalam memenuhi kepuasan seksualnya.

Singkat cerita, suara lantang perlawanan ketiga perempuan Mirabal terhadap rezim Trujillo ini dianggap sebagai ancaman berbahaya. Akhirnya pada tanggal 21 November 1960, Patria, Minerva, dan Maria Teresa dicegat dan dicekik hingga meninggal dunia. Pembunuhan tersebut kemudian direkayasa dengan tubuh ketiganya ditaruh kembali pada mobil yang ditumpangi mereka. Selanjutnya mobil tersebut didorong dari puncak sehingga terlihat seperti kecelakaan belaka.

Perjuangan mereka ini dikenang setiap tahun saat hari kematiannya. Setiap tanggal 25 November dijadikan sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Selanjutnya, sebagai gerakan yang masif dan turunannya, ada kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Pentingnya Melanjutkan Semangat Kampanye 16 HAKTP

Upaya kampanye tersebut menjadi penting sebagai langkah dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Tidak hanya itu, dalam luasan yang lebih sempit misalnya ketika berbicara di Indonesia hal ini masih sangat penting.

Selama 16 hari kita dapat sama-sama memaknai dan merenunginya. Sebagai tema besarnya, 16 hari tersebut dapat berupa serangkaian peringatan secara Internasional. Berikut ini merupakan serangkaian peringatan juga turut menyertai 16 HAKTP.

25 November : diperingati sebagai hari penghapusan kekerasan terhadap perempuan, serentak secara Internasional.

29 November : Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia atau Women Human Rights Defender (WHRD) secara Internasional setiap tahunnya.

1 Desember : Hari AIDS sedunia jatuh pada tanggal 1 Desember ini. Pertama kali dicanangkan dalam konferensi internasional tingkat menteri kesehatan di dunia.

2 Desember : Hari internasional untuk penghapusan perbudakan di dunia.

3 Desember : diperingati sebagai hari internasional bagi penyandang disabilitas setiap tahunnya.

5 Desember : diperingati sebagai hari internasional bagi sukarelawan di seluruh dunia.

6 Desember : Hari tidak ada toleransi bagi kekerasan terhadap perempuan. Sejarahnya, adalah atas pembunuhan massal terhadap mahasiswi yang menewaskan 14 orang dan 13 lainnya yang merupakan perempuan.

9 Desember : Hari pembela HAM sedunia. Pertama kali diperkenalkan pada Deklarasi PBB tentang pembela HAM.

10 Desember : Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional jatuh pada tanggal tersebut dan diperingati setiap tahunnya.

Kampanye 16 HAKTP masih sangat relevan untuk terus dilakukan. Saya merangkum dalam 3 hal penting pembahasan yang perlu terus dikawal di Indonesia. Dan 3 hal tersebut saya ingin perkokoh melalui ungkapan Julia Suryakusuma dalam bukunya yang berjudul Ibuisme Negara.

Implementasi UU TPKS

Setelah resmi disahkan sejak tanggal 12 April 2022 lalu, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bukan menjadi tujuan akhir dari segala perjuangan yang ada. Yang menjadi sorotan juga adalah bagaimana bentuk implementasi pasca disahkan. Memang, dengan adanya pengesahan ini kemudian arah penentuan hukum akan menjadi lebih jelas dengan keberpihakan terhadap penyintas kekerasan seksual.

Saya sebenarnya masih agak bingung untuk muluk-muluk. Tidak akan 100 persen dapat diterapkan dengan utuh setelah disahkan. Ia masih perlu aturan turunan yang juga masih belum kunjung disahkan hingga saat ini. Atau undang-undang satu ini, masih terus terhambat hingga saat ini dalam implementasinya. 

Ia masih terhambat peraturan pelaksana dan kapasitas pemahaman dari aparat yang menjadi pelaksana dalam implementasi undang-undang ini pun masih minim. Per Oktober 2023, lebih dari satu tahun disahkan, peraturan pelaksana UU TPKS masih terus menjadi wacana untuk dirampungkan.

Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

Kita tentunya belum bisa bernapas lega karena peraturan pelaksana UU TPKS yang tak kunjung rampung. Sementara kekerasan di Indonesia terus ada dan berkembang. Masifnya teknologi kemudian memperparah keadaan.

Kekerasan gender online menjadi ancaman bagi siapa saja. Kehidupan yang terus berjalan ini kemudian berkembang dalam bentuk kejahatan serta kekerasan yang lainnya. Kekerasan jenis ini akan menjadi lebih sukar untuk ditangani. Akses internet dan teknologi yang kemudian membentuk manusia dalam sekat-sekat tanpa batas.

Kekerasan seksual online bahkan masih memiliki turunan yang banyak sekali. Membayangkannya saja sudah terdengar mengerikan. Setidaknya terdapat 11 jenis KBGO ini. Mulai dari Cyber Grooming, Cyber Hacking, Cyber Harassment, Cyber Flashing, Menguntit, Meniru Identitas, Media Buatan/Morphing, Pemerasan Seksual/Sextortion, Sexting, Non Consensual Intimate Image (NCII), dan Online Defamation.

Yang paling baru, KBGO menjadi lebih mengerikan akibat adanya Artificial Intelligence (AI). Dengan bantuan teknologi tersebut dapat mengubah wajah seseorang yang dengan balutan nuansa intim padahal seseorang tersebut sebenarnya tidak berlaku demikian. Hal ini dikenal melalui bantuan deepfake pada Artificial Intelligence (AI) tersebut.

Pemaksaan Perkawinan

Pemaksaan perkawinan sebenarnya telah masuk ke dalam bagian dari UU TPKS dan diatur secara rinci. Tapi, jika saya boleh menarik ulur ke belakang. Pemaksaan perkawinan memang tidak ada habisnya. 

Bahkan lebih dari 100 tahun, menyoal ini masih juga belum kunjung selesai. Raden Ajeng Kartini bahkan menulis soal ini dalam suratnya di tahun 1899. Terhitung sampai tahun 2023, berarti sudah 124 tahun Indonesia membicarakan soal pemaksaan perkawinan.

Soal pemaksaan perkawinan yang harus terus dibicarakan adalah karena dampaknya yang sangat merugikan. Terutama jika pemaksaan perkawinan ini terjadi pada anak-anak di Indonesia.

Pada 2021, Komnas Perempuan dalam siaran persnya menyebut perkawinan anak sebagai praktik berbahaya yang dapat menghambat kemajuan Indonesia Emas 2045. 

Sebagai bentuk bahaya dari perkawinan anak ini akan merambah dalam 6 dampak. Yaitu, aspek pendidikan yang dapat membuat anak putus sekolah, dari aspek ekonomi dapat menyebabkan kerugian sejumlah 1,7 persen dari pendapatan kotor negara (PDB), kekerasan dan perceraian, meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), serta resiko tingginya angka stunting.

Secuil kutipan yang ditulis pada awal tulisan ini adalah sesuatu yang boleh disebut mantra untuk mengawal ketiga hal yang telah dijabarkan di atas. Sebagai langkah awal, kutipan tersebut sebaiknya dijadikan perenungan dan pijakan setelah membaca ketiga uraian. Agar hal ini bisa kita kokohkan dan tanamkan ke dalam diri soal landasan dan alasan ‘mengapa’ kita harus terus mengawal serta berdiri di garda depan untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan Indonesia.

Fatmawati

Mahasiswa semester 5 Sastra Indonesia Universitas Jember yang sedang menikmati hari-harinya yang pasang surut saat belajar soal gender dan feminisme.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!