Feminisme Pancasila

Hari Kelahiran Pancasila: Menggali Feminisme Pancasila, ‘Ibu Bangsa’, dan Jati Diri Berkeadilan

Di Hari Kelahiran Pancasila, perjuangan atas keadilan gender pemaknaan 'ibu bangsa' dapat dibingkai menjadi Feminisme Pancasila.

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Tahun 1945 di tanggal tersebut, Soekarno—yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia pertama—menyampaikan konsep dan rumusan awal ‘Pancasila’ sebagai dasar negara Indonesia Merdeka. Hal itu termaktub dalam pidatonya berjudul ‘Lahirnya Pancasila’ yang dibacakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Kini, di tahun 2025, saya merayakan Hari Lansia—yang jatuh pada tanggal 29 Mei dan ‘saya banget’—bersama dengan Hari Kelahiran Pancasila. Memangnya ada hubungannya? Ada! Bagi saya, keduanya membuktikan sabda Tuhan dan ajaran semua agama. Siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhan-nya; maka berbahagialah hidupnya.

Kok, bisa?

Usia saya kini menuju kategori manusia lanjut usia (manula). Sebagai perempuan, inilah pula saat saya merasakan hidup, menjadi antusias dalam sebuah sisterhood. Semangat memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender lewat feminisme pun coba dibingkai menggunakan Pancasila. Konsep ini kemudian saya sebut ‘Feminisme Pancasila’; upaya menggali isu feminisme dengan kerangka berpikir Pancasila, yang kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini.

Baca Juga: Dilarang Ikut Acara Hiburan sampai Dipaksa Berhijab: Maraknya Diskriminasi Ragam Seksual dan Identitas Gender
Feminisme Pancasila: Konsep Kebebasan Perempuan dengan Bingkai Pancasila

Momen Hari Kelahiran Pancasila mungkin sudah berlalu pada 1 Juni, tapi semangatnya mesti tetap hadir bagi bangsa Indonesia. Terutama ketika membahas tentang pertemuan antara Pancasila dan feminisme—atau, saya menyebutnya: Feminisme Pancasila, proyek konseptualisasi yang saya mulai sejak 2007 sebagai proyek individual.

Di tahun 2025 ini saya mengubahnya menjadi proyek komunal. Saya mengembangkan modul Pelatihan Feminisme Pancasila, mengajarkannya dan mengundang peserta untuk mengembangkannya bersama-sama. Saya mengundang beberapa pembicara untuk menyampaikan topik-topik spesifik menggunakan kerangka berpikir (frame) Pancasila. Di setiap topik, para peserta membuat pendalaman secara berkelompok dan menyampaikan komentar. Sehingga, satu topik diperkaya oleh narasumber maupun peserta.

Ibarat Bima yang sedang mencari Tirta Perwitasari ke dasar samudera; Bima tidak sendirian, tetapi dibersamai para kawan satu visi dan misi. Samudera merupakan metafora jagat alit kita masing-masing dalam mencari jati diri. Jika para perempuan adalah madrasah bagi bangsa, maka kita sedang membuat kebenaran tentang Feminisme Pancasila. Prosesnya nyata dan merupakan pemberdayaan diri secara berkelompok. Kami sedang menjalankan prinsip sisterhood dalam gerakan feminisme. 

Memaknai ‘Ibu Bangsa’

Pelatihan Feminisme Pancasila dilakukan oleh Akademi Perempuan Nasdem. Pada pertemuan ke-5 tanggal 30 Mei 2025, ada lembar evaluasi berisi pertanyaan terbuka mengenai topik-topik terkait perempuan dan gender. Dari sana, kami mendapat jawaban-jawaban orisinil peserta pelatihan.

Misalnya terhadap pertanyaan, “Bagaimana seharusnya kepribadian seorang ibu bangsa sesuai Feminisme Pancasila?” Salah satu dari 254 peserta menulis: “Selalu mengenali diri sendiri, percaya diri, membentuk personal branding secara continue. Karena ibarat lari, personal branding itu lari marathon.” Saya rasa jawaban ini khas perempuan, rendah hati dan mau berproses. 

Baca Juga: Okupasi Ruang Lewat Aksi Piknik Melawan, Demo Damai yang Tetap Bikin Pemerintah Gerah

Ada pula jawaban lain terkait usulan definisi kepribadian Ibu Bangsa dari Feminisme Pancasila. “Ibu bangsa yang sesuai dengan Feminisme Pancasila mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila yang dipadukan dengan semangat kesetaraan gender dan peran aktif perempuan dalam pembangunan bangsa. Religius dan Berakhlak Mulia, Adil dan Menghargai Sesama, Mengutamakan Kepentingan Bersama, Demokratis dan Berani Menyuarakan Pendapat, Mandiri, Berdaya, dan Peduli pada Kesejahteraan Sosial.”

Antusiasme dalam sisterhood ini membuat saya merasakan antusiasme hidup, di saat usia menuju manula. Bersama-sama kami menyusun pemaknaan baru dari Ibu Bangsa—yang terminologinya diperkenalkan Soekarno pada 1931. Konsep ini harus diperbarui dan dikontekstualisasi dengan zaman ledakan teknologi komunikasi saat ini. 

Pelatihan dan proses yang sama, saya lakukan dengan kelompok mahasiswa di GMNI. Proses ini pun segera menyusul bersama komunitas mahasiswa Hindu. Topik-topik diskusi tentu disesuaikan dengan dunia mahasiswa yang sangat dinamis, berjiwa kritis, dan idealis, Merekalah pembawa perubahan sosial bahkan politik. 

Menggali Jati Diri, Menemukan Tuhan, Meyakini Kebebasan yang Setara

Feminisme Pancasila bagi saya adalah ruang pencarian jati diri, bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga laki-laki. Seperti Bima, saya berharap para perempuan dan laki-laki penggali Feminisme Pancasila ini nantinya akan bertemu dengan Dewa Ruci masing-masing. Menyatu dengan dewa dan menemukan jawaban atas jati diri masing-masing, dengan penanda adanya kesadaran yang tercerahkan. 

Penyelaman untuk bertemu dengan diri (Dewa Ruci) adalah proses spritualitas dalam menemukan Tuhan. Ini, menurut saya, adalah proses yang erat dengan azas-azas Pancasila. Pancasila meyakini bahwa setiap rakyat—perempuan maupun laki-laki—adalah entitas berdaulat, berjiwa bebas. Sehingga keduanya berkedudukan setara. Tidak ada supremasi satu seks atau jenis kelamin tertentu. Alhasil, tidak ada diskriminasi, marginalisasi, subordinasi berbasis ras dan gender dalam spiritualitas. Maka konstruksi gender yang seksis buatan masyarakat dan merendahkan perempuan adalah melawan sunatullah.  

Sayangnya, pendidikan dan pengasuhan masyarakat patriarkal sering tidak membekali kita untuk mempunyai kecerdasan emosi, apa lagi spiritual, yang tinggi—seperti yang diamanatkan oleh Pancasila. Pengalaman “disubordinasi” dalam masyarakat patriarki sepanjang hidup perempuan menjadikan mereka mempunyai konsep diri yang inferior. Perempuan jadi warga ‘kelas dua’ akibat beban bagasi emosi yang negatif. 

Baca Juga: Perempuan Lintas Iman Menolak Diam, Gemakan Doa Selamatkan Demokrasi

Penelitian menunjukkan bahwa emosi negatif seperti menjadi subordinat, marah, dendam, dan cemas berkepanjangan dapat memicu penyakit kronis. Mulai dari stress, depresi, hingga memicu penyakit medis. Seperti jantung, hipertensi, bahkan kanker. Sebaliknya, emosi positif seperti damai, cinta, dan syukur justru meningkatkan daya tahan tubuh dan memperpanjang usia.

Pelatihan Feminisme Pancasila membebaskan mental perempuan dari konstruksi sosial yang menguras energi tersebut. Pancasila meyakini bahwa jati diri manusia—sebagai perempuan maupun laki-laki—adalah makhluk Tuhan yang bebas dan merdeka. Keduanya harus bekerjasama, saling menguatkan. Bukan bersaingan, saling menghancurkan. Apa lagi jika salah satu menindas yang lain. Karena keduanya saling membutuhkan untuk banyak kepentingan. 

Terbangunnya kesadaran atas kesejatian diri perempuan sebagai co-creator bagi nasib sendiri sejatinya merupakan pemberdayaan yang akan menyembuhkan luka emosi akibat subordinasi. Kebahagiaan sejati kemudian bisa dihadirkan. Bukan karena dunia berubah, tetapi karena hati perempuan yang telah berubah menjadi penuh cahaya cinta kepada diri dan Ilahi. 

Baca Juga: Pendidikan Perubahan Iklim di Indonesia Belum Tepat Sasaran, Mitigasi Harus Selaras

Dalam filsafat spiritual, dikenal prinsip “Hukum Koresponden”. Sebagaimana di dalam, demikian pula di luar. Artinya, apa yang kita rasakan dan pikirkan di dalam, akan menarik dan menciptakan pengalaman serupa di dunia luar. 

Kesadaran adalah energi yang akan menarik energy pada vibrasi yang sama dari luar. Inilah makna co-creator. Seseorang yang berjiwa bebas akan menolak ditekan atau direpresi dan tidak membiarkan hal serupa terjadi pada orang lain. 

Saat batin tenang, hidup akan terasa ringan. Lalu saat hati bersyukur, tubuh pun ikut sehat. Saat pikiran jernih, relasi yang ada adalah persahabatan yang harmonis.  Maka, sumber kebahagiaan bukanlah di luar — bukan anak, bukan harta, bukan pula tubuh yang sempurna — melainkan pikiran dan hati yang damai karena kita mencintai diri sendiri. 

Ketika kita sudah di kesadaran bahwa Tuhan ada dalam nafas kita (sedekat urat leher) maka frekuensi kita tinggi karena emosi terisi cinta yang bisa mengantar ke hidup yang damai. Senyum dan tawa akan selalu menghiasi wajah kita karena kita selalu bersyukur dan terhubung dengan Tuhan sebagai sumber energi, cinta dan perdamaian serta kebahagiaan kita. 

Baca Juga: Viral Kasus Kriminalisasi Guru, Apakah Guru Yang Lakukan Tindakan Pendisiplinan Pada Siswa Bisa Dipidana?

Bagi saya, Feminis Pancasila akan menolak perlakuan tidak adil. Sebab itu tidak sesuai dengan kesadaran dalam dirinya yang pro-kemanusiaan, harmoni persatuan, demokratis serta pro-kesejahteraan sosial—seperti yang diamanatkan Pancasila. Seorang Feminis Pancasila akan pula berupaya menciptakan nilai-nilai dalam dirinya (jagat alit) untuk terwujud di lingkungannya (jagat gede) karena ia adalah ibu bangsa. Transformasi internal (inner) akan diikuti dengan transformasi sosial karena keduanya harus selaras dan harmonis sebagaimana hukum korespondensi di atas. 

Feminis Pancasila—lagi-lagi, bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki—yang bahagia bukan hanya akan menyehatkan dirinya. Tetapi juga dapat menyembuhkan generasi di bawahnya. Anak-cucu terdampak kelembutan, ketenangan dan kebijaksanaan para lansia yang sudah tercerahkan oleh nilai-nilai Pancasila. 

Dengan menyelam ke dalam nilai-nilai Pancasila sebagai jalan spiritual dan sosial, kita — para Ibu Bangsa, para lansia, dan generasi penerus — bersama-sama menciptakan Indonesia yang lebih adil, bahagia, dan berketuhanan. Selamat Hari Kelahiran Pancasila! 

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Eva Kusuma Sundari

Direktur Eksekutif Sarinah Institute.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!