Menjelang akhir tahun seperti sekarang, kerjaan kantor bisa dibilang lagi padat-padatnya. Di momen begini, terkadang aku merasa lelah dan pengen rehat bentar.
“Nonton series pendek enak kali ya.” Begitu pikirku.
Lalu, kuputuskan menonton series barunya Laura Basuki, Merajut Dendam. Meski awalnya, aku sempat ragu mau nonton series ini. Ya, biasalah banyak netizen yang sangsi sama platform penayangannya, karena sering dianggap kurang berkualitas dibanding platform layanan streaming OTT (over the top) sebelah.
Tapi, berhubung series ini direkomendasikan sama salah satu kreator konten favoritku, aku jadi penasaran sebagus apa. Eh ternyata beneran sebagus itu!
Perempuan Korban Selingkuh Yang Dibelenggu Seksisme
Alih-alih menghadirkan sosok perempuan yang terpuruk usai diselingkuhi, serial ini justru menampilkan sebaliknya. Nina (Laura Basuki) tak tampak merana di pojokan saat suaminya, Rasya (Oka Antara) berselingkuh.
Rasya digambarkan sebagai pengacara kondang yang punya karier cemerlang. Sementara Nina, yang sebelumnya seorang pengacara di sebuah firma hukum, memilih fokus dengan keluarga kecil dengan dua anaknya usai menikah.
Nina dan Rasya telah membangun pernikahannya selama bertahun-tahun. Namun nyatanya, sosok “sempurna” Nina juga tak menjadikan Rasya setia pada cintanya. Dia tetap saja mengingkari janji pernikahan dengan berselingkuh.
Dalam beberapa episode ‘Merajut Cinta’ ini kita akan dibawa bagaimana sosok Nina tangguh saat menjadi korban perselingkuhan.
Di satu sisi, ada isu menarik yang bisa kita lihat dari serial ini. Ya, soal seksisme yang masih banyak membelenggu perempuan di tengah masyarakat saat ini. Seksisme ini merujuk pada prasangka dan diskriminasi berdasarkan gender. Dalam hal ini, perempuan yang dianggap “tak bisa” setara dengan laki-laki.
Seksisme dalam serial ini, termasuk tampak pada saat Nina ingin terjun di dunia politik. Dikarenakan identitas gendernya sebagai perempuan, dia dianggap tak mumpuni.
Saat Nina ingin maju sebagai calon gubernur, Rasya tidak setuju dengan keputusan Nina. Bagi Rasya, hanya laki-laki lah yang pantas berpolitik dan memimpin. Sementara, perempuan semestinya berada di rumah saja mengurus anak dan kebutuhan domestik lainnya.
Baca Juga: Film ‘La Luna’ Saat Toko Lingerie Jadi Ruang Aman Perempuan Korban Kekerasan
Pun apa yang dilakukan oleh Ayah Rasya, yang masih kental budaya patriarki toksik. Kepada Nina dia bilang, kodrat perempuan itu seharusnya di bawah laki-laki. Tidak pernah bisa perempuan itu setara dengan laki-laki. Beliau pun menasehati Nina untuk selalu sadar diri dan selalu ingat sama kodratnya.
Apa yang dikatakan oleh ayah Rasya ini memang bisa jadi dekat dengan kehidupan di masyarakat kita. Perempuan masih terpinggirkan secara sosial dan sistem politik.
Lalu, apa dampak seksisme dan patriarki yang masih menjamur di tengah masyarakat ini? Di kehidupan sehari-hari kita bisa melihat Nina sebagai perempuan di sekitar kita yang minim bisa berpartisipasi di politik.
Itu senada dengan Laporan Independen Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia tentang 25 Tahun Pelaksanaan Kesepakatan Global Beijing Platform for Action (BPfA+25) di Indonesia menyatakan bahwa kebijakan partai politik memang masih bias gender.
Partai politik juga belum banyak melakukan langkah-langkah sistematis untuk mendukung pencalonan perempuan. Akibatnya, kerap terjadi politisasi, ancaman, intimidasi, teror dan eksploitasi isu-isu perempuan yang ditujukan untuk menghalangi perempuan sebagai calon.
Situasinya sama dengan itu, Nina mengalaminya sendiri. Banyak pihak yang ingin menjatuhkan Nina. Salah satu ancamannya, akan menyebarkan ke publik rekaman CCTV panti pijat yang pernah digrebeknya.
Mertua Nina pun berang hingga menamparnya, mengatakan bahwa Nina telah melawan visi misi yang selama ini ia bangun. Namun hebatnya, Nina tetap tegar dan berpegang teguh pada pendiriannya. Ia percaya, perempuan itu bisa memimpin dan memajukan daerah sebagaimana dengan laki-laki.
Diskriminasi Berlapis Terhadap Perempuan
Tak hanya di ranah domestik, perempuan juga mengalami diskriminasi secara sistematis. Fenomena ini sudah menjadi kekhawatiran Komnas Perempuan sejak tahun 2000. Dari tahun 2000-2016 saja, tak kurang ada 421 kebijakan yang diskriminatif. Bahkan ketika telah disahkannya UU TPKS, masih banyak hambatan yang membelenggu perempuan.
Jika dikaitkan dengan serial ini, perjuangan kesetaraan gender yang dilakukan sosok Nina memang tak mudah. Sebab perempuan seperti halnya Nina masih dibelenggu pandangan konservatif yang menganggap perempuan kelas “nomor dua”.
Harusnya negara banyak melakukan dialog terbuka tentang pentingnya keadilan gender. Salah satunya berkaca dari pandangan kuno seperti yang dipegang Rasya dan keluarganya itu sudah ketinggalan zaman.
Baca Juga: ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ Mungkin Cinta Tidak Harus Memiliki
Dialog ini harus dilakukan secara intens dan menyeluruh. Supaya kedepannya, tak ada lagi kelompok yang melanggengkan seksisme dan misoginis.
Secara keseluruhan, aku suka sekali dengan serialnya ‘Merajut Dendam’ ini. Terlepas dari banyaknya adegan 18+ yang memang tak bisa sembarang ditonton oleh anak di bawah umur.
Buatku, film arahan Razka Robby Ertanto ini bisa jadi bahan refleksi kita bersama. Bahwa di Indonesia masih banyak bertebaran seksisme dan misoginis.
Kita juga bisa belajar untuk mengambil sikap sederhana yang membawa perubahan. Seperti mulai mengedukasi kawan-kawan, keluarga dan anak-anak kita dengan perspektif yang sensitif gender.
Salah satunya, saat menonton film ‘Merajut Dendam’ ini kita bisa jelaskan bahwa tindakan Nina bisa jadi panutan karena sudah berani mendobrak standar di masyarakat.
Serial yang sudah mulai tayang sejak 13 Oktober 2023 di Vidio ini, tak hanya dibintangi oleh Laura Basuki dan Oka Antara. Ada juga Carissa Perusset (Sarah), Sheila Marcia (Indira), Tio Pakusadewo (Tresna) dan Andri Mashadi (Yogi).
(Gambar: Vidio.com)