Debat Capres Cawapres Minim Soroti Isu Hak Perempuan

Penelusuran Konde.co menemukan, dalam visi dan misi dan debat Capres Cawapres, minim isu perempuan. Aktivis perempuan, Damairia Pakpahan dan Vivi Widyawati, mendesak agar isu perempuan jadi isu serius.

Sampai saat ini, sudah tiga kali debat Capres-Cawapres tayang di TV. Dilihat dari temanya, tak satupun yang menyebutkan spesifik soal isu perempuan. 

Begitu juga pada debatnya, Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden atau Capres-Cawapres minim sorotan isu tersebut. Tak elak, tema tiga besar debat seperti Hak Asasi Manusia (HAM), ekonomi, dan pertahanan masih tampak jadi adu argumen maskulin dari bapak-bapak Capres-Cawapres. 

Pada debat terbaru 7 Januari 2024 misalnya, hanya sekilas saja misalnya menyebut perlindungan perempuan dan anak serta isu kekerasan seksual kaitannya reformasi kepolisian. Namun, tak ada penjabaran dan komitmen konkret. Judul dan spesifikasi isu perempuan juga tak ada dalam debat itu.

Dalam visi-misi Capres-Cawapres yang sudah beredar sejak Oktober 2024, ditemukan memang ada beberapa penyebutan soal isu perempuan. Tapi, jumlahnya masih begitu minor dibandingkan banyak bahasan isu lainnya. 

Penelusuran Konde.co mendapatkan data, penyebutan kata ‘perempuan’ dalam dokumen visi misi ada sebanyak 9 kali (pasangan 01), 6 kali (pasangan 02) dan 2 kali (pasangan 03). Sementara, jumlah halaman visi misi cawapres terbanyak mencapai 143 halaman. 

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Aktivis Perempuan, Damairia Pakpahan, turut menyoroti minimnya isu hak perempuan diangkat para Capres Cawapres ini. Hal yang paling tampak selama debat dan kampanye yang ada di tengah publik. 

“Gak diomongin bahkan (dalam debat). Ada gak strategi mereka memajukan perempuan Indonesia? Mau menghapus perkawinan anak? Kalau ngomongin stunting harus ngomong kesetaraan gender,” ujar Damairia saat berbincang dengan Konde.co, Selasa (9/1/2024).

Pada tema debat Pertahanan misalnya, juga tak disebutkan soal upaya memajukan perempuan dalam pertahanan. Ini bisa dilihat pada minimnya perempuan yang menempati posisi strategis di bidang pertahanan. Sehingga implikasinya bukan hanya kebijakan yang ramah perempuan, tapi juga mengikis budaya patriarki yang masih begitu kental. 

“Pendidikan tentara masih sangat maskulin, susah bagi perempuan (maju di pertahanan) selama gak ada perempuan bintang 4 yang signifikan. (Perempuan hadir) harus signifikan, bermakna dan bermanfaat. Jangan asal ada saja, jadi etalase aja,” katanya. 

Damairia lalu menceritakan pengalamannya saat menjadi konsultan di bidang pertahanan kemaritiman oleh salah satu organisasi masyarakat, yang nyatanya perempuan juga masih terpinggirkan. Ada jurusan tertentu yang perempuan dihalangi terlibat. 

“Dia bilangnya melindungi perempuan. Ya mestinya melindungi perempuan itu dengan menyediakan fasilitas keamanan (untuk perempuan). Bukan menutup jalan (kesempatan). Artinya, perempuan harus diajari berenang, jangan sampai ada pelecehan ketika perempuan belajar dll,” terangnya. 

Menyoal narasi keadilan yang dibicarakan Capres Cawapres dalam debat ataupun kampanye, Damairia juga melihat hal itu masih begitu abstrak. Pun upaya dan strategi menuju itu juga harus jelas.

Menurutnya harus dipastikan, keadilan itu harusnya tegas berpihak pada perempuan dan minoritas. Keadilan juga harus menekankan pada kesetaraan, gender equality and equity. Keduanya tak bisa dipisahkan. 

“Keadilan (yang dimaksud) itu seperti apa? Jangan-jangan keadilan mayoritas. Nanti dia (malah) menindas. Makanya, kita hati-hati ngomong keadilan, keadilan itu yang bagaimana?,” lanjut perempuan peraih SK Trimurti Award tahun 2023 itu. 

Baca Juga: Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Tak kalah penting, perempuan pembela HAM itu juga menegaskan soal sikap politik Capres Cawapres. Publik bisa melihat mereka, tak bisa dilepaskan dari partai pengusung dan pihak-pihak yang berkepentingan di sekitarnya. 

Salah satunya menyoal komitmen untuk menggolkan UU yang pro pada rakyat. Utamanya, bagi perempuan dan minoritas. 

Ia menyoroti soal RUU Perlindungan Rumah Tangga (RUU PPRT) yang mangkrak hampir dua dekade. Pun dengan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) hingga RUU Perlindungan Masyarakat Adat, yang sampai kini tak kunjung disahkan. 

Dari beberapa RUU itu, Damairia menyesalkan, belum tampak ada capres cawapres yang secara serius memperjuangkan.

Pun dalam narasi-narasi kampanye yang tersebar para Capres Cawapres, Damairia menilai nuansanya masih maskulin. Bukan saja tak peka pada perspektif perempuan bahkan semakin meminggirkan perempuan. 

Kaitannya ini, dia mengaku pernah mengkritik salah satu paslon karena menyebutkan ‘tuanku rakyat’, yang seolah menihilkan perempuan ‘puan’. Sampai menyoroti ada Cawapres yang juga pernah mengeluarkan pernyataan ‘istri penyebab korupsi suami’. 

Menggugat Nasib Buruh Perempuan 

Aktivis buruh perempuan, Vivi Widyawati ikut bersuara. Sepanjang masa kampanye Capres Cawapres ini, dia bilang, mengikuti prosesnya. Mulai dari menyimak visi misi, dialog saat kampanye sampai debat terakhir. 

Dari pengamatannya, Capres Cawapres belum ada yang berpihak pada kepentingan buruh utamanya buruh perempuan secara konkret. Melainkan, lebih condong kepentingan investasi dan pengusaha. 

“Gak disorot spesifik perempuan itu kan, dalam konteks pembangunan ketiganya mereka narasinya melanjutkan ekonomi neoliberal. Semuanya bilang bagaimana agar investor mudah masuk, bagaimana membangun kepercayaan investor,” ujar Vivi saat berbincang dengan Konde.co, Rabu (10/1/2024). 

Salah satunya, tampak pada sikap politik mereka yang tak tegas bakal Mencabut UU Cipta Kerja yang banyak merugikan buruh. 

“Gak ada yang berani bilang misalnya ‘saya akan mencabut UU Omnibus Law’. Karena itu adalah problem dari persoalan buruh sekarang dan bagaimana ketika UU itu dijalankan luar biasa dampaknya (bagi buruh),” kata dia. 

Dampak yang begitu nyata bagi buruh menurut Vivi adalah merosotnya kualitas hidup buruh karena sistem pengupahan yang tak adil dan minimnya jaminan perlindungan kerja. 

Konde.co pernah menuliskan setidaknya 5 hal yang mengancam buruh perempuan kaitannya dengan UU Cipta Kerja seperti politik upah murah, perluasan sistem outsourcing, ketidakpastian kerja, ancaman kebebasan berekspresi, hingga dampak perampasan wilayah adat dan perusakan lingkungan bagi buruh.  

Baca Juga: 5 Hal yang Mengancam Perempuan dalam UU Cipta Kerja

Sistem pengupahan yang adil menurutnya, harus sensitif terhadap perspektif perempuan. Upah yang berkeadilan gender. Dikarenakan masih banyaknya diskriminasi upah berbasis gender yang selama ini terjadi. Juga banyaknya sistem upah yang tidak mempedulikan kebutuhan perempuan.  

Menyoal itu, ketiga paslon menurutnya belum menyampaikan program-program konkret yang dampaknya signifikan kepada buruh perempuan. “Masih abstrak kalau dilihat dari kacamata perburuhan,” lanjutnya. 

Semisal pula narasi kampanye capres cawapres soal penitipan anak (daycare), mereka tak menjelaskan bagaimana program itu akan dijalankan. Bagaimana pemerataan daycare itu di area-area strategis dan terjangkau bagi buruh. Pun, standar dan perspektif daycare itu yang berkualitas. 

“Memastikan penitipan anak itu sebetulnya memang tanggung jawab pemerintah, bagaimana menyediakan tempat penitipan anak yang punya perspektif. Bukan sekadar nitipin anak saja,” terangnya. 

Tidak hanya itu, isu penyediaan ruang laktasi bagi perempuan buruh juga menjadi penting. Menurutnya, setiap tempat kerja semestinya berpihak pada kebutuhan buruh perempuan dengan penyediaan ruang laktasi yang aman dan nyaman. 

Para buruh termasuk buruh perempuan juga semestinya mendapatkan jaminan perlindungan dari segala bentuk kekerasan di dunia kerja. Tak terkecuali, pelecehan dan kekerasan seksual. 

Konsep pembangunan manusia termasuk terhadap buruh perempuan itu, menurutnya juga berkesinambungan dengan jaminan kebutuhan dasar. Seperti, pengupahan yang adil gender juga dibarengi dengan harga kebutuhan pokok terjangkau sampai hunian yang terjangkau. 

Dia juga menyoroti soal jaminan hak kebebasan berekspresi dan berserikat pada buruh. Utamanya buruh perempuan yang menghadapi kompleksitas beban ganda. 

“Sehingga konsep pembangunan ekonomi itu juga memprioritaskan pembangunan manusianya sendiri. Termasuk memperjuangkan nasib dan kepentingan buruh perempuan. Bukan sebatas pembangunan fisik investasi, pabrik, dan lainnya,” pungkasnya.  

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!