kencan

Ghosting sampai Backburner: Rumitnya Cari Pasangan di Aplikasi Kencan

Kencan online apalagi belum pernah bertemu langsung membuat ghosting sampai memiliki backburner menjadi lebih mudah. Apa alasannya?

Kencan online dan aplikasi kencan telah mengubah cara kita memulai, membentuk, dan mengakhiri hubungan romantis. Kita mungkin juga mempertanyakan apakah kenyamanan dari aplikasi-aplikasi ini telah mendorong kita berperilaku berbeda dari yang kita lakukan di “kehidupan nyata”. Lebih khusus lagi, apakah aplikasi kencan melahirkan perilaku buruk atau antisosial?

Jika kamu menggunakan aplikasi kencan, mungkin kamu pernah mengalami “di-ghosting” (seseorang tiba-tiba berhenti menghubungimu). Atau mungkin kamu sendiri yang meng-ghosting seseorang. Mungkin karena kamu mengetahui bahwa seseorang yang kamu ajak mengobrol di aplikasi kencan ternyata sudah memiliki pacar. Atau jika kamu tidak menggunakan aplikasi-aplikasi ini, kamu mungkin pernah mendengar cerita-cerita tersebut dari teman.

Mari kita lihat beberapa perilaku buruk yang paling sering muncul – dan bagaimana psikologi menjelaskannya.

Baca juga: Mau Jalani Hubungan Tanpa Status? Pahami Ini Dulu

Salah satu tema utama yang dilihat adalah seberapa umum orang menggunakan aplikasi kencan ketika sedang menjalin hubungan. Data dari Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa sekitar 42% orang yang memiliki profil Tinder sedang berpacaran atau sudah menikah.

Dalam sebuah penelitian terhadap mahasiswa sarjana di AS, sekitar dua pertiga mengungkapkan bahwa mereka menemui seseorang di Tinder. Padahal mereka tahu sedang menjalin hubungan. Lebih lanjut, 17% partisipan mengatakan bahwa mereka mengirim pesan kepada seseorang di Tinder ketika sedang menjalin hubungan. Bahkan, 7%-nya terlibat hubungan seksual dengan seseorang yang mereka temui di Tinder meski sedang menjalin hubungan.

Ada juga bukti bahwa orang-orang menggunakan aplikasi kencan untuk mempertahankan apa yang disebut sebagai hubungan backburner. Ini adalah ketika seseorang di aplikasi kencan mempertahankan kontak dengan orang lain dengan harapan suatu hari nanti akan melakukan sesuatu yang romantis atau seksual.

Yang mengejutkan, studi tahun 2018 di AS yang melibatkan 658 mahasiswa sarjana,, menemukan bahwa jumlah backburner yang dilaporkan tidak berbeda secara signifikan. Hal ini terjadi antara mereka yang masih lajang, berpacaran biasa, atau dalam hubungan yang berkomitmen. Sekitar 73% dari semua responden melaporkan bahwa mereka memiliki setidaknya satu backburner.

Baca juga: ‘Tinder Swindler’ Indonesia: Saya Ditipu Dokter Gadungan, Gimana Menjeratnya secara Hukum?

Komunikasi online, tentu saja, membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Para peneliti telah menyarankan bahwa pemeliharaan hubungan dalam hubungan backburner melibatkan kepositifan. Yaitu bersikap baik pada orang lain dan memastikan bahwa interaksi dengan mereka seru dan menyenangkan. Lalu keterbukaan (mengungkapkan informasi pribadi pada mereka, bahkan mungkin berbagi rahasia), dan jaminan (menunjukkan harapan agar hubungan tersebut dapat bertahan dari waktu ke waktu).

Kencan online juga membuat ghosting menjadi lebih mudah. Sebuah studi tahun 2019 menemukan bahwa responden telah meng-ghosting 29% orang yang mereka kencani, dan telah di-ghosting oleh 25% teman kencan mereka sendiri. Selain itu, 74% responden percaya bahwa ghosting adalah cara yang tepat untuk mengakhiri sebuah hubungan.

Partisipan dalam penelitian ini melaporkan adanya kasus ghosting yang tiba-tiba dan ghosting bertahap (memperlambat kontak sebelum menghilang sama sekali). Ghosting bertahap meningkatkan tingkat ketidakpastian bagi orang yang dihantui.

Baca juga: Kena Ghosting Hingga Manipulasi Foto: 3 Hal Negatif Aplikasi Kencan yang Wajib Kamu Tahu

Ghosting mungkin sering terjadi karena mudahnya mengakhiri hubungan dengan cara ini. Terutama jika pasangan belum pernah bertemu langsung. Para penulis dari studi yang sama juga menyoroti bahwa kencan online menawarkan banyak sekali kemungkinan pasangan. Orang-orang yang “meng-ghosting” satu pasangan mungkin melakukannya lagi ke pasangannya yang lain.

Orang-orang tidak hanya menggunakan aplikasi kencan untuk mencari hubungan atau seks – banyak orang yang melaporkan bahwa mereka menggunakannya hanya untuk bersenang-senang. Dengan demikian, pengguna yang lebih tulus dari aplikasi-aplikasi ini dapat menjadi sasaran empuk bagi para troll. Mereka hanya ingin menciptakan konflik dan menyebabkan kesusahan pada pengguna online lainnya demi hiburan mereka sendiri.

Sebuah studi 2017 menemukan bahwa troll aplikasi kencan mendapat skor tinggi dalam ukuran perilaku sadis. Menunjukkan ketidakpedulian terhadap rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan pada orang lain. Dan skor tinggi dalam hal impulsif disfungsional, yang dicirikan dengan tidak menindaklanjuti janji-janji.

Beberapa alasan umum untuk perilaku buruk

Kenyamanan dan banyaknya pilihan dalam kencan online mungkin mendorong budaya “disposabilitas” – “bertukar pasangan” di pasar kencan. Dan meninggalkan pasangan yang dimiliki saat ini dengan lebih mudah. Perangkat seluler pribadi, yang dilengkapi dengan kode sandi atau perlindungan pengenalan wajah, memungkinkan dan bahkan mendorong perilaku yang lebih sembunyi-sembunyi dan rahasia.

Perilaku online pada umumnya sering dicirikan oleh disinhibisi. Kita cenderung berperilaku lebih bebas saat online daripada saat bertatap muka. Hal ini disebabkan, salah satunya, oleh perasaan anonimitas yang kita miliki saat online.

Terakhir, cara orang menggunakan aplikasi kencan sangat terkait dengan karakteristik kepribadian. Misalnya, orang-orang dengan gaya kepribadian terbuka terhadap pengalaman (berjiwa petualang) dan kurang menyenangkan (kurang peduli dan perhatian terhadap orang lain) cenderung menggunakan aplikasi kencan dengan cara yang lebih santai.

Jika perilaku buruk atau disfungsional sekarang tampak lumrah di aplikasi kencan, dan online secara umum, teknologi yang memunculkan perilaku ini akan terus berlanjut. Sehingga, kita mungkin perlu menyesuaikan ekspektasi kita.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Martin Graff

Senior Lecturer in Psychology of Relationships, University of South Wales
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!