Aturan wajib pakai jilbab bagi siswa non-muslim

Kami Beragama Kristen, Tapi Sekolah Wajibkan Anak Perempuanku Berjilbab

Seorang ayah di Padang, Sumatera Barat, menceritakan pemaksaan jilbab yang dialami anak perempuannya di sekolah. Ini menambah panjang deret kasus perundungan terhadap perempuan dan anak yang dipaksa berjilbab.

Elianu Hia, seorang ayah di Padang, membagikan video di Facebook tentang pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah anaknya. Di sekolah tersebut, anak perempuannya harus memakai seragam jilbab. 

Kisah pemaksaan ini terjadi di sebuah sekolah di Padang, Sumatera Barat. 

Pada video yang Ia bagikan pada Januari 2021 itu, dia rekam pertemuan dengan wakil kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2

Alasannya, “Ini peraturan sekolah. Aturan wajib hijab.” 

Padahal, Hia bilang mereka keluarga Kristen. Termasuk anak perempuannya, sebut saja namanya Jenni.   

Papa dan anak itu lantas disuruh teken surat yang menyatakan bahwa Jenni, tak bersedia mengenakan jilbab. Langkah ini, dugaannya untuk mengeluarkannya dari sekolah.

Video tersebut viral di media lokal dan nasional. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim kemudian membuat video yang mengecam aturan wajib jilbab dan minta pemerintah daerah untuk mengubah aturan di sekolah ini.

Namun persoalannya, terdapat puluhan provinsi dan ratusan kota serta kabupaten di Indonesia yang memberlakukan aturan berpakaian yang diskriminatif. Juga keras terhadap para perempuan dan anak perempuan, termasuk di sekolah-sekolah negeri.

Sebagai peraturan dari pihak eksekutif atau pemerintah, aturan wajib jilbab muncul mulai tahun 2001 di tiga kabupaten, yaitu Indramayu dan Tasikmalaya di Jawa Barat, serta Tanah Datar di Sumatera Barat. 

Baca Juga: Peringatan Setahun Kematian Mahsa Amini di Iran, Aktivis Ditangkap dan Keluarga Ditekan

Ia menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir. Hal itu mendorong jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab. Biasanya baju jilbab ini dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.

Para pejabat tersebut berpendapat jika jilbab adalah “wajib bagi Muslimah” untuk menutupi “aurat” yang mereka anggap mencakup rambut, lengan, dan kaki, kadang juga lekuk tubuh. Siswi Kristen, Hindu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Buddha dan lainnya, lalu diminta “menyesuaikan.” Perempuan dan anak perempuan akan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi, kecuali mereka mematuhi aturan.

Pada 2021, Human Rights Watch mengeluarkan laporan, Aku Ingin Lari Jauh”: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia. Laporan itu mendokumentasikan perundungan yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memaksa mereka pakai jilbab, serta tekanan kejiwaan yang dapat ditimbulkan dari aturan ini.

Setidaknya ada 24 dari total 38 provinsi Indonesia dimana sejumlah anak perempuan terpaksa meninggalkan sekolah. Mereka juga mengundurkan diri karena tekanan, sementara sejumlah pegawai negeri perempuan. Termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri. Ada setidaknya 150,000 sekolah negeri di Indonesia. 

Pada 2012 dan 2014, Gerakan Pramuka dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan berpakaian dengan persyaratan jilbab khusus untuk “murid Muslimah” dari kelas 1 hingga 12. Peraturan tingkat nasional ini memperkuat keputusan di daerah. 

Baca Juga: ‘Membenci Tubuh dan Menggunduli Rambut’: Orangtua Memaksaku Pakai Jilbab

Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial. Human Rights Watch mendokumentasikan perundungan, intimidasi, dan ancaman kekerasan yang disampaikan melalui Facebook dan Whatsapp.

Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama dua menteri lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mengubah peraturan menteri pendidikan tahun 2014 tentang pakaian seragam sekolah. Surat keputusan bersama tiga menteri tersebut menetapkan bahwa para siswa perempuan bebas memilih untuk memakai jilbab atau tidak. Empat bulan kemudian, Mahkamah Agung membatalkan peraturan tersebut. 

Pada September 2022, Menteri Nadiem Makarim mengeluarkan aturan seragam sekolah baru dimana ditekankan “pengadaan seragam sekolah menjadi tanggung jawab orang tua atau wali.” Ia juga menekankan pakaian seragam “tak boleh mengatur kewajiban.” 

Aturan 2022 lebih baik dari aturan 2004. Namun itu belum berjalan baik mengingat ada puluhan aturan wajib jilbab tingkat daerah. 

Di Indonesia, sekolah menengah atas milik provinsi, sedang sekolah dasar dan menengah pertama milik kabupaten dan kota. Kementerian Pendidikan hanya punya wewenang langsung pada universitas. Kementerian Agama punya wewenang pada semua sekolah dan universitas berlabel agama. Sedangkan Kementerian Dalam Negeri, yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah daerah, seharusnya membatalkan berbagai aturan daerah tersebut. Jumlahnya 73 buah, menurut Komnas Perempuan. 

Padahal hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas menjalankan agama dan keyakinan seseorang, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. 

Baca Juga: Solidaritas Untuk Mahsa Amini Mengalir Dari Negara-Negara di Dunia

Perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki, termasuk hak untuk memakai apa yang mereka pilih. Setiap pembatasan yang dikenakan terhadap pemenuhan hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif.

Segenap pelindungan ini termasuk dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Indonesia telah ratifikasi semua perjanjian internasional tersebut. Aturan wajib jilbab melemahkan hak anak perempuan dan perempuan dewasa untuk merdeka “dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan pasal 28(i) UUD 1945.

Pada 2006, Asma Jahangir, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, mengatakan bahwa “penggunaan paksaan dan penerapan sanksi pada individu yang tidak mau mengenakan busana agamis atau simbol tertentu yang dilihat sebagai kewajiban oleh agama” menunjukkan “tindakan legislatif dan administratif yang tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.”

Hukum Indonesia memberi wewenang kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan keputusan eksekutif di tingkat lokal, dari gubernur, walikota sampai bupati, yang bertentangan dengan hukum-hukum nasional dan konstitusi. Kementerian Agama juga perlu menghapus aturan bahwa setiap guru pendidikan agama Islam perlu membuat siswi-siswinya memakai jilbab.

Di Padang, Elianu Hia bisa membela hak anaknya dalam memilih pakaian. Belakangan siswi-siswi Kristen di sekolah tersebut juga berhak memilih busana. 

Ini sebuah langkah kecil dari perbaikan yang diperlukan di seluruh Indonesia. Keluarga tersebut dapat ancaman, intimidasi serta boikot sosial. Mereka kehilangan bisnis keluarga dalam pemeliharaan AC. 

Hia bilang, kondisi ini adalah “harga dari perjuangan.” 

Andreas Harsono

Peneliti Human Rights Watch
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!