Pemilih perempuan

Pemilih Perempuan Jadi Sasaran Politik Uang dan Janji Manis Kontestan Pemilu

Saya menelusuri bagaimana praktik politik uang terjadi pada para perempuan di pedesaan maupun perkotaan Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam gelaran pemilu 2024. Mengapa ini terjadi dan bagaimana upaya yang dilakukan?

Tak ada sebulan lagi, pemilihan umum (pemilu) tahun 2024 bakal digelar. Persaingan merebut kursi eksekutif dan legislatif semakin sengit. Kontestan berupaya ‘merayu’ rakyat dengan berbagai cara. Mulai dari janji manis sampai adanya praktik politik uang. 

Saya terjun langsung ke tengah masyarakat di beberapa tempat di NTB untuk melihat fenomena ini. Bagaimana praktik politik uang ini banyak menyasar para perempuan. Nama-nama mereka disamarkan. 

Di sebuah pasar di Kota Mataram NTB, Cakranegara, Nengah tengah melayani pembeli pagi itu. Sembari tersenyum, dia membuka percakapan tentang pemilu 2024. Bagi Nengah, pemilu kali ini cukup ‘semarak’. Banyak yang datang silih berganti ke area pasar tempatnya berjualan.

“Hampir setiap hari selalu ada caleg maupun timses kampanye ke sini. Ada banyak janji dilontarkan, tapi saya tidak peduli,” ujar Nengah saat ditemui di lapaknya pada Rabu (27/12/2023). 

Nengah mengaku, sampai sekarang dirinya belum menentukan pilihan. Siapa calon eksekutif dan legislatif yang bakal dia coblos. 

Dia pun tak tergiur dengan apapun yang mereka berikan. Ia menolak segala bentuk politik uang. Baginya, dia sudah cukup mendapat uang dari bekerja. “Buat apa ambil yang begitu, mending kita kerja, cari keberkahan walau sedikit,” katanya. 

Baca Juga: KPU Terbukti Langgar Kuota Caleg Perempuan: Koreksi 267 DCT Harus Dilakukan

Sama halnya dengan pedagang pasar lainnya, Salma (37). Ia mengaku sudah ada beberapa calon legislatif (caleg) ataupun simpatisan calon presiden (capres) yang datang ke lapaknya. Mereka menjanjikannya uang dan bantuan sosial (bansos). Namun, Ia memilih menolaknya. 

Bagi Salma, dia mencari sosok pemimpin yang punya visi misi jelas. Bukan sekadar iming-iming sesaat dalam bentuk praktik politik uang. Makanya, Ia tidak tergiur dengan bagi-bagi sembako, maupun ‘serangan fajar’ yang dibagikan. 

“Ada yang datang, janji-janji saya uang dan bansos, tapi saya tolak,” tegasnya. 

Sementara itu, Rina (40) mengatakan dirinya adalah loyalis dari salah satu partai di Indonesia. Dia mengaku punya kartu konstituen, yang membuatnya mendapatkan berbagai bantuan. Mulai dari bantuan bedah rumah sampai beasiswa kuliah untuk anaknya. 

Karena hal itu, dirinya bilang akan memilih partai termasuk capres dan caleg yang diusungnya. Baginya, partai itu cukup membantu hidupnya. 

“Itu menguntungkan saya dan keluarga,” kata Rina. 

Baca Juga: Dear Para Politikus, Apatisme Pemilu Menjalar ke Anak Muda dan Kelompok Minoritas

Saya juga mengunjungi salah satu desa di Kabupaten Sumbawa, NTB. Saat itu, ada sembilan ibu sedang menanam padi di sawah pada Minggu (31/12/2023). Di tengah aktivitas yang dilakukan di sawah itu, mereka saling melempar perbincangan soal pemilu 2024. 

Salah seorang ibu paruh baya usia 51 tahun, Ani, nyeletuk bakal milih salah satu paslon capres di pemilu nanti. Sebagai penerima bansos, Ani mengaku akan memilih paslon yang berjanji melanjutkan penyaluran bantuan kepada keluarga pra-sejahtera itu. 

Tak dipungkiri, Ani takut juga kalau dia tak memilih paslon itu, bansos bakal mandeg. Pun dengan Program Keluarga Harapan (PKH) yang dia dan keluarga terima tidak lagi didapatkan. 

“Takut bansos seperti bantuan pangan, PKH dan lainnya tidak dapat lagi (kalau tak pilih),” katanya. 

Hal serupa juga dialami oleh Fatma (53). Dia bilang punya pilihan partai yang langganan dia pilih termasuk caleg yang ada di partai itu. Alasannya, partai itu loyal untuk memberikannya bantuan alat penyemprot hama di sawah. “Saya selalu pilih caleg itu di tiap pemilu,” katanya. 

Faktor kedekatan dengan keluarga caleg salah satu partai, juga menjadi alasan Fatma, menjatuhkan pilihannya ke pemilu mendatang. Malu rasanya jika dia tidak memilihnya. Apalagi, tiap kali reses calon itu selalu datang dan memberikan bantuan kepada keluarganya.

“Sekadar datang bertemu kita saat reses saja sudah senang. Apalagi, beri kita bantuan,” imbuhnya. 

Baca Juga: Awasi Pemilu, Pemilik Media Gunakan Televisi untuk Kepentingan Partainya

Masih di desa yang sama, saya juga menemui Fani (41). Dia tampak sedang beraktivitas di rumah panggungnya yang tampak baru. Dia bilang, rumah panggung itu adalah bantuan program rumah tidak layak huni yang direkomendasikan oleh salah satu Caleg setempat.

Dikarenakan itu, Fani dimintai syarat ‘kontrak politik’ mengajak 20 orang keluarga atau teman sejawatnya untuk memilih caleg itu di pemilu nanti. Jumlah yang baginya tidak begitu memberatkan karena sanak saudaranya banyak. 

Menurutnya, kondisi ekonomi lagi susah, maka ‘bantuan’ di momentum politik begini bisa jadi berkah. “Mumpung ada yang beri, kenapa tidak diambil saja,” katanya. 

Pun sama halnya dengan Dini (36) yang ditemui saat sedang memasak di sore hari. Dia menuturkan, ada caleg (incumbent) yang memberikannya hewan ternak kambing untuk memilihnya. Kambing itu Ia dapatkan dari aspirasi anggota dewan pilihannya jauh sebelum masuk masa kampanye pemilu 2024.  

Baginya yang tak seberapa hasilnya bekerja di desa, itu sangat berarti. “Saya otomatis pilih calon itu (pemilu mendatang), karena sudah dapat kambing,” kata Dini. 

Baca Juga: Tak Cuma Perempuan, Laki-laki Juga di Pusaran Manuver Politik Keluarga

Tak hanya menyasar individu yang banyak dari kalangan perempuan, modus politik uang itu juga diberikan kepada kelompok masyarakat dalam berbagai bentuk di desa itu. Tak hanya uang tunai, tapi pemberian berbagai fasilitas. Mulai dari pembangunan jembatan, pengaspalan jalan, renovasi masjid, pemberian jasa, maupun barang-barang yang bisa digunakan bersama oleh masyarakat setempat.  

Dari sekian banyak perempuan yang saya temui di Kabupaten Sumbawa, mereka memiliki pola yang sama. Tingkat pendidikan mereka rata-rata sekolah dasar (SD), bahkan ada yang tak tamat. Mereka juga banyak yang tak menyadari jika berbagai bantuan yang mereka terima itu adalah praktik politik uang yang melanggar aturan pemilu. 

Dengan kata lain, mereka tidak merasa disuap. Uang atau barang yang mereka terima dari caleg atau timses capres, dianggapnya sebagai hadiah. Mereka justru mempunyai kepercayaan yang positif bahwa caleg atau capres itu peduli, murah hati, pengertian, dan responsif terhadap kesusahan rakyat. 

Pemilih Perempuan Rentan Jadi Target Politik Uang

Berdasarkan hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  pada pemilu 2019, sebanyak 72% masyarakat menerima politik uang dengan sasaran terbesar penerima adalah pemilih perempuan. 

Senada dengan survei diatas, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sejak beberapa tahun lalu telah mengingatkan, bahwa pemilih perempuan di tanah air menjadi sasaran empuk praktik politik uang. 

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, menelisik lebih dalam fenomena kerentanan pemilih perempuan pada politik uang melalui penelitian berjudul “Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics.” 

Dari hasil riset, Neni menemukan bahwa perempuan sangat rentan terhadap iming-iming uang sebagai pengganti dukungan, baik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan umum (pemilu), dan pemilihan presiden (pilpres).

“Saya riset untuk melihat politik uang pada pemilu 2019 dan Pilkada 2020. Riset dimulai Juni 2021. Dari hasil riset, 97% pemilih perempuan mengaku menerima politik uang dengan bentuk dan nominal bervariasi,” kata Neni saat dikonfirmasi Minggu (31/12/2023). 

Baca Juga: Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik

Penelitian awal secara kuantitatif membuktikan bahwa perempuan memang rentan terhadap politik uang. Sedangkan penelitian lanjutan secara kualitatif menemukan fakta bahwa kerentanan itu antara lain disebabkan kurangnya literasi mengenai regulasi kepemiluan dan edukasi politik.

Pemilih perempuan mengetahui bahwa uang atau barang untuk membeli suara itu dilarang, tetapi tetap menerimanya. Ada presentasi 70% pemilih perempuan yang enjoy dengan money politik serta menerimanya. 

Dengan menggunakan pendekatan teori disonansi kognitif yang dicetuskan oleh Leon Festinger pada 1957, terang Neni, ada kondisi pemilih ketika antara perilaku dan keyakinan tidak sejalan. 

Di situlah terjadi moral hazard pemilih yang disebabkan tekanan dari pihak lain, bimbang dalam memilih keputusan (kalau tidak menerima uang tidak bisa makan), serta pemilih mengetahui bahwa pilkada itu tujuannya untuk melahirkan pemimpin yang jurdil tapi sampai saat ini ternyata nyaris tidak ada pemimpin yang berpihak pada rakyat.

Menurut Neni, hal tersebut akan menjadi tantangan untuk Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. Untuk itu, sosialisasi harus lebih massif lagi, terutama kepada kelompok rentan. Ada beragam faktor yang menyebabkan perempuan menerima politik uang yaitu karena kebutuhan ekonomi, psikologis dan literasi yang masih rendah. 

Kerentanan perempuan pada politik uang karena setiap hari harus memikirkan persoalan dapur seperti makan apa dan lauk apa hari ini. Politik uang bertransformasi dalam berbagai program yang berasal dari dana APBN maupun APBD seperti dana bantuan tunai nominal bervariasi.

Baca Juga: Demokrasi Ada di Tanganmu, Jadilah Pemilih Kritis di Pemilu 2024

“Paling krusial terjadi politik uang adalah saat H-2 sebelum hari pemungutan suara. Dari hasil wawancara mendalam yang saya lakukan pemilih perempuan mengaku terima uang tunai Rp 200.000, menerima sembako senilai Rp 60.000, dan penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dipolitisasi timses di lapangan dengan anjuran mencoblos kandidat tertentu,” papar Neni.

Menurutnya, mayoritas perempuan penerima politik uang mengatakan caleg ketika sudah terpilih tidak ingat lagi pada konstituen. 

“Mending kita ambil saja apa yang diberikan sekarang daripada tidak dapatkan apapun atau hanya sekedar janji palsu,” begitulah rata-rata pemilih perempuan menjelaskan saat interview mendalam dilakukan.

Neni mengelompokkan pemilih perempuan dalam lima tipe. Pertama, pemilih menikmati politik uang. Kedua, pemilih yang menolak politik uang, tetapi menerima uang. Ketiga, pemilih menolak politik uang dan menghindarinya, tetapi tidak mau melaporkan. 

Keempat, pemilih menolak politik uang dan mau melaporkannya. Kelima, pemilih menyaksikan politik uang dan berani melaporkan. Dari lima kategori itu, kategori pertama dan kedua memiliki persentase paling tinggi. 

Modus politik uang juga mengalami transformasi. Pada pemilu atau pilkada sebelumnya, politik uang hanya ditujukan kepada individu. Kini diberikan dalam bentuk barang atau pembangunan yang bisa dinikmati bersama oleh sekelompok masyarakat di lingkungan desa tertentu. 

Bahkan ada yang lebih canggih yaitu politik uang kepada individu dilakukan melalui e- money. Semua itu masih dapat dikategorikan sebagai praktik menyuap pilihan masyarakat. 

Baca Juga: Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang.

Namun, juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018. 

“Pemilu serentak 2024 politik uang jauh lebih permisif lagi,” ujar Neni.

Masih ingat bagi-bagi susu saat acara Car Free Day (CFD) yang dilakukan Cawapres Gibran Rakabuming Raka di Jakarta? Para penerima itu adalah kaum perempuan. Hal ini semakin menunjukkan kerentanan pada pemilih perempuan pada pemilu dan pilkada 2024. 

Direktur Fitra NTB, Ramli mengatakan, faktor tingginya kerawanan politik uang pada pemilih perempuan saat pemilu 2024, karena masih ada ketimpangan gender dan relasi kuasa yang cukup mempengaruhi pilihan politik pemilih perempuan.

Tidak semua perempuan mempunyai kuasa menentukan hak pilih, sehingga cenderung mengikuti kelompok besar untuk pilihan politik atas anjuran dari sang suami. Menurutnya, pemilih perempuan masih belum melek literasi politik. Hal itu karena tingkat pendidikan perempuan lebih rendah dibandingkan kelompok laki-laki.

Baca Juga: Aktivis Protes Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu, KPU Revisi Aturan Pemilu 2024

“Politik uang lebih rawan pada pemilih perempuan di wilayah dengan tingkat kesejahteraan rendah dan belum melek literasi politik daripada perempuan perkotaan dengan tingkat ekonomi menengah ke atas,” kata Ramli saat dikonfirmasi Selasa (26/12/2023).

Selanjutnya, faktor keserentakan membuat pemilih jadi kebingungan karena terlalu banyak kontestan yang terlibat.

“Masyarakat cenderung lebih pragmatis, belum ada ditemukan formula untuk mengikis ini,” ujar Ramli. Selain merusak tatanan demokrasi sambung Khoirunnisa Perludem, politik uang merugikan pemilih, dalam jangka pendek sampai jangka panjang.

“Pemilih akan selesai transaksinya dengan caleg ketika uang diberikan, padahal kontrak politik antara pemilih dan yang dipilih itu lima tahun jangka waktunya. Tapi karena dia memilih diberikan uang, setelah terpilih dia (pemilih) akan ditinggalkan,” ujar Khoirunnisa.

Politik Uang Rampas Hak-hak Perempuan

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, mengatakan pemilih perempuan adalah kelompok yang paling rentan dan dirugikan akibat politik uang.

Mereka seringkali dijadikan sebagai objek pemberian politik uang. Selain posisinya yang bisa mendulang perolehan suara pasangan calon karena jumlah DPT perempuan lebih banyak, mereka dibungkam terhadap sejumlah pelanggaran yang terjadi termasuk politik uang dan lainnya.

Menurutnya, dampak politik uang merampas hak-hak perempuan karena pemimpin yang menghalalkan segala cara merebut kekuasaan tanpa peduli nasib mereka kedepan.

Pemilih perempuan tidak sadar bahwa apa yang diberikan adalah modus politik uang. Sehingga mereka menerima saja apa yang diberikan.

Fakta memperlihatkan adanya pemberian dari pasangan calon tertentu yang diasumsikan sebagai bantuan kepada masyarakat. Padahal, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai politik uang.

Baca Juga: Politik Dinasti Bisa Jadi Ancaman di Pemilu 2024, Kita Bisa Apa?

Perlu disadari bahwa sosialisasi kepemiluan bagi kaum perempuan, terutama kalangan ibu-ibu rumah tangga di pelosok daerah, masih sangat kurang.

Pemilih Perempuan harus mulai bangkit untuk melakukan perlawanan terhadap politik uang yang dilakukan oleh kontestan pada tahapan kampanye hingga menjelang hari pemungutan dan penghitungan suara.

“Politik kita hari ini dampak dari pemberian suap kepada pemilih semakin menunjukkan jauh dari etika moralitas dan keadaban,” kata Neni.

Politik uang sudah terjadi pada pemilihan tingkat paling bawah seperti pemilihan kepala desa. Saat Pilkades warga dapat uang suap Rp50.000 maka mereka berpikir masa pemilu Presiden atau legislatif cuma dapat 100.000 atau Rp50.000, mereka menginginkan lebih tinggi lagi sehingga lebih permisif.

Pencegahan politik uang penting dengan harapan pasca pemilu ada koneksi antara konstituen dan pemimpin yang terpilih sehingga tidak ada lagi istilah bahwa caleg itu datang hanya pada saat kampanye tetapi hubungannya lebih erat. 

Selama ini diketahui bahwa partai mendekati pemilih saat tahapan kampanye sehingga cenderung gunakan cara instan politik uang, ketimbang melakukan pendidikan politik kepada pemilih yang loyal.

Baca Juga: Dear Anak Muda, Waspadai Hoaks dan Ujaran Kebencian di Tiktok

Ke depan, ia berharap modifikasi sistem pemilu campuran perlu dilakukan agar hubungan antara pemilih dengan wakilnya di parlemen atau pemerintahan tidak sampai terputus pasca pemilu sehingga dapat meminimalisir suap atau pemberian politik uang.

Selain itu, dapat menekan jumlah caleg instan, modal popularitas dan elektabilitas tinggi bisa mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. 

Sebagaimana kita melihat banyak artis mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. 

Caleg instan itu dua hari masuk partai sudah dapat KTA dan langsung bisa menjadi calon atau mendapatkan nomor urut pada akhirnya ini menjadi begitu instan dan merusak proses demokrasi kita.

Praktik Politik Uang di NTB

Selama masa kampanye pemilu 2024, Bawaslu Provinsi NTB bersama jajarannya di 10 Kabupaten/Kota telah menangani temuan dan laporan sebanyak 42 pelanggaran terdiri dari 9 tindak pidana pemilu, 12 etik dan 21 pelanggaran hukum lainnya. 

“Pelanggaran pemilu hampir terjadi tiap detik, tetapi pengawas tidak tahu karena tidak ada laporan masyarakat dan sulit menemukan alat bukti dari temuan,” kata Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu NTB, Suhardi.

Menurutnya, ada banyak cerita tentang pelanggaran yang dilakukan tim kampanye pemenangan Capres/Cawapres hingga Caleg. Tetapi sekedar cerita, tidak lengkap kronologi serta alat bukti belum cukup sehingga sulit untuk diproses ke tahap selanjutnya.

“Pemilih perempuan ceritakan tentang politik uang pada kontestasi Pilpres melalui beragam modus bansos tapi hanya sekedar cerita yang sulit dibuktikan,” sebutnya.

Kasus pelanggaran itu tersebar di 10 Kabupaten/Kota. Di antaranya satu kasus di Kota Mataram yang dilakukan oleh oknum Caleg DPRD Kota Mataram dengan dugaan melakukan praktik politik uang.

Baca Juga: Minimnya Capres Perempuan dalam Pemilu: Perempuan Harus Berjibaku Lawan Hegemoni

Kasus selanjutnya juga terkait politik uang di Lombok Utara. Dugaan tipilu tersebut dilakukan oleh oknum tim dari salah satu caleg DPRD Provinsi. “Kasusnya semacam pemberian sound system. Sekarang sedang menguji apakah tim itu terdaftar di KPU apa tidak. Kemudian di daerah yang sama, ada lagi kasus mengikutsertakan anak,” jelasnya.

Sementara di Lombok Barat ditemukan oknum Kepala Desa melanggar netralitas. Salah satu Kades dijelaskan sudah ditetapkan statusnya oleh kepolisian. Dia terbukti kuat ikut aktif mengampanyekan salah satu caleg.

Di Kabupaten Lombok Timur ditemukan sejumlah pelanggaran tipilu berupa dugaan politik uang pada oknum tim sukses caleg provinsi dan pusat. Selain itu, ada juga kades berkampanye untuk salah satu caleg, serta pelanggaran netralitas ASN.

“Kasusnya ada tim kampanye caleg DPR RI yang bagikan amplop berisi uang, dugaannya. Ada juga pembagian bahan kampanye berupa kaos. Kemudian dugaan tindak pidana yang dilakukan Kades, karena ikut berpidato di depan khalayak ramai mengkampanyekan salah satu caleg DPRD Provinsi,” terang Suhardi.

Sedangkan di Dompu dan Bima. Diduga oknum Kades melanggar netralitas dan kasus politik uang. Namun dalam proses penanganannya, Bawaslu tak menemukan ada unsur pelanggaran. “Sudah kita hentikan,” ucapnya. 

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Di Kabupaten Sumbawa ada dua temuan dugaan politik uang. Ketua Bawaslu Kabupaten Sumbawa Arnan Jurami mengatakan dugaan politik uang dan netralitas ada temuan, tetapi tidak bisa dilanjutkan ke tahap selanjutnya dari hasil pengkajian karena belum cukup bukti. 

“Temuan itu sebatas janji, belum bagikan barang. Dari verifikasi awal yang kami lakukan temuan tak cukup bukti untuk dilanjutkan ke proses pidana,” kata Arnan saat ditemui Jumat (12/1/2024). 

Politik uang di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk kategori sedang. Berdasarkan data jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di NTB untuk Pemilu 2024 sebanyak 3.918.291 pemilih. Sebanyak 1.916.798 merupakan laki-laki dan 2.001.493 perempuan. 

Dari data DPT tersebut pemilih perempuan di NTB lebih banyak dari pemilih laki-laki.

Di lapangan politik uang sudah menyasar semua kalangan pemilih. Bahkan banyak Caleg yang mengeluh saat mendatangi pemilih, ditanyakan bawa apa dan nominalnya berapa. Demikian disampaikan Ketua Bawaslu NTB, Itratip.

Ia mengatakan tren politik uang dilihat berdasarkan data dari laporan dan temuan. “Kami tidak punya data per wilayah kabupaten/kota untuk kerawanan politik uang. Mengacu dari data riset dan survei nasional, bahwa 30 persen pemilih sudah terpapar money politik,” kata Itratip saat dikonfirmasi Selasa (2/1/2024).

Baca Juga: Perempuan Bisa Menang Dalam Kontestasi Pemilu: Belajar dari Khofifah dan Dewanti Rumpoko

Ia mendorong masyarakat yang sadar dan menolak politik uang berani melaporkan. Sebab selama ini, masyarakat jarang mau melaporkan kepada Bawaslu secara langsung. Ketika ada laporan lewat medsos, kendalanya menghadirkan saksi.

“Masyarakat kita dalam pengalaman penindakan Tipilu 2019, masih takut tidak ada jaminan keamanan apabila menjadi pelapor atau saksi dan apakah ada pergantian transportasi bagi mereka?”

Selain itu, tantangan lainnya adalah waktu penanganan dan pengumpulan bukti dalam pelaporan dan temuan politik uang yang cukup terbatas.

Baca Juga: 4 Perempuan Muda Bicara Pemilu: Copras-Capres, Isu Minoritas Jangan Cuma Jadi Lip Service

Upaya pencegahan politik uang saat masa kampanye ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yaitu melalui sosialisasi dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan lain-lain agar menjadi aktor di lapangan. 

Pengawas partisipatif di tingkat desa juga perlu dimasifkan agar mampu mencegah segala bentuk pelanggaran pemilu.

“Sosialisasi maupun himbauan kepada pemilih secara sadar dan bertanggung jawab agar pemilu sesuai napas kedaulatan rakyat tanpa transaksional sehingga berjalan sesuai kualifikasi yang ditentukan masyarakat,” harap Itratip.

Gerakan Anti-Politik Uang di Akar Rumput

FITRA NTB melakukan pendampingan jaringan anti politik uang di tingkat akar rumput. Melalui berbagai kegiatan, perempuan desa pesisir di Kabupaten Lombok Timur mendapatkan penguatan kapasitas dan literasi politik.

“Kami dorong perempuan pesisir dan nelayan tradisional agar memilih calon yang memperjuangkan aspirasi mereka. Jangan lihat keuntungan atau barang yang diberikan tetapi dalami program dan visi misi yang disampaikan calon,” kata Ramli.

Apa yang dilakukan FITRA NTB menjadi praktik baik munculnya desa anti politik uang yang dapat meningkatkan literasi politik perempuan akar rumput melalui kesadaran aktor Non Government Organization (NGO). 

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendorong sanksi terhadap praktik politik uang di pemilu diperberat. Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Seira Tamara mengatakan, sanksi politik uang yang diatur di Undang-Undang Pemilu masih tergolong ringan.

“Kalau kita melihat sanksi terhadap politik uang di Pasal 523 baik dari ayat 1 sampai dengan ayat 3 di Undang-Undang Pemilu, masih tidak terlalu baik tidak terlalu tinggi, baik dari pemberian pidana penjaranya maupun juga pidana dendanya. Pemberian sanksinya ada yang 1 tahun, kemudian ada yang 2 tahun dan itu masih bisa ditingkatkan,” kata Seira.

Regulasi saat ini yakni undang-undang pemilu belum cukup komprehensif mengatur tentang politik uang. Di dalam undang-undang pemilu tidak ada ketentuan secara spesifik yang mengatur apa itu politik uang. 

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024 Masih Jadi Pekerjaan Rumah di Indonesia

Biasanya kalau diregulasi lain ketika kita mencari suatu definisi tindak pidana korupsi misalnya akan dijelaskan korupsi adalah apa pengertiannya dan lain-lain. Dalam undang-undang pemilu tidak dijelaskan secara spesifik penyebutan politik uang.

Ia mengakui ada sejumlah ketentuan dalam undang-undang pemilu yang mengatur kegiatan aktivitas atau perbuatan yang mengarah pada politik uang yaitu pasal 280 dan pasal 253. 

Kalau dilihat pada pasal 253 ada periode waktu aktivitas atau perbuatan bisa disebutkan politik uang yaitu dibagi menjadi tiga diantaranya dilakukan pada masa kampanye, masa tenang, hari pemungutan suara dan perhitungan suara. Sementara di luar itu tidak bisa disebut politik uang.

“Ini menurut kami belum cukup komprehensif, kenapa? karena proses pemilu sangat panjang,” sebut Seira.

“Peluang atau potensi politik uang terjadi di luar periode itu sangat besar,” imbuhnya.

Konsekuensinya ketika terjadi di luar periode yang telah diatur maka tidak bisa dilanjutkan ke penanganan ke tahap berikutnya.

Baca Juga: ‘Open Mic’ Perempuan Pemilu: Politisi Sibuk Pasangkan Capres, Tak Ada Tawaran Konkret untuk Perempuan

Salah satu contoh yang bisa dijadikan rujukan ketika salah satu anggota dewan yang akan nyaleg lagi pada pemilu 2024 dari PDIP viral membagikan uang di salah satu masjid wilayah Sumenep akhir April 2023. 

Alibinya uang yang dibagikan tersebut adalah zakat mal dimasukan ke dalam amplop berlogo partai bersangkutan dan ada foto dirinya.

Saat itu belum masuk pada masa kampanye sehingga Bawaslu tidak bisa menindaklanjuti temuan tersebut. Hal ini implikasi dari tidak komprehensif aturan politik uang sehingga tidak bisa dilanjutkan ke tahap penanganan.

“Bawaslu juga mengatakan tidak bisa disebut pelanggaran, karena belum masuk pada masa kampanye padahal jelas bentuk dan bukti yang ada merujuk politik uang,” ujar Seira. 

Ketika unsur periode waktu tidak terpenuhi mempersulit masuk ke penegakan berikutnya. Padahal kalau kita lihat personalnya adalah petahana DPR dan akan mencalonkan lagi. Ia mempertegas apa tujuannya membagi-bagi uang kalau bukan ingin mempengaruhi psikologi pemilih yaitu jamaah yang ada di masjid untuk memilih dia lagi.

Ia menjelaskan, ICW saat ini sedang mengumpulkan putusan-putusan dari Bawaslu pada pemilu tahun 2019 berkenaan dengan politik uang. Pelanggaran terjadi di semua provinsi tetapi tidak terlalu banyak jumlah putusan, padahal faktanya politik uang semakin banyak modusnya dan sudah bertransformasi dalam beragam bentuk.

“Kami menyoroti 5 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, NTT, Jakarta, dan Jawa Timur,” papar Seira.

Baca Juga: ‘Infobesity’ Rentan Terjadi Pada Pemilih Pemula Menjelang Pemilu 2024

Faktanya, pada masing-masing provinsi tersebut putusannya dua, tiga dan rata-rata di bawah 10, tidak sampai belasan atau puluhan, artinya sedikit banget jumlahnya. Tidak banyak yang memenuhi unsur hingga sampai diproses penegakan hukum dan keluar putusan di Sentra Gakkumdu. Bahkan di provinsi Jawa Timur, tidak ada putusan sama sekali dan ini patut dipertanyakan.

Apakah faktor-faktor yang menyebabkan ini, apakah karena tidak ada atau sulit memenuhi unsur pidana atau ada faktor lain yang menyebabkan politik uang ini tidak bisa ditindak. Selain itu, ICW juga menelaah di daerah-daerah Provinsi lain yang memiliki putusan.

“Kita coba telaah isinya tetapi masih minim upaya dari hakim untuk menggali keterkaitan antara operator atau tim di lapangan dengan kandidat yang sedang berkontestasi yang dipromosikan.

Sebagai contoh misalnya ketika saya menjadi Caleg punya tim yang bergerak di lapangan untuk membagikan uang. Saat operator atau tim tersebut ditangkap kemudian diproses, upaya untuk menggali keterkaitan langsung dengan kandidat yang dipromosikan masih sangat minim.” 

Jadi, yang dihukum dan kena sanksi hanya si operator atau tim itu saja sementara kandidat caleg yang dipromosikan tak disasar hukuman juga. 

Baca Juga: Terganggu Dengan Baliho Pemilu Karena Rusak Lingkungan? Banyak Pohon Dipaku Dan Bikin Sampah

Hal ini kemudian berimplikasi pada tidak akan adanya efek jera dari para pelaku politik uang. Dampaknya setiap kali ada pemilu, pilkada maupun pilkades akan terus terulang lagi siklusnya.

“Politik uang akan tetap ada selama masih ada yang memberi dan menerima. Oleh karena itu semua elemen harus satu suara perangi politik uang,” harap Seira.

Efek jera atau sanksi yang patut diberikan kepada orang yang melakukan tindak pidana politik uang ini seharusnya didiskualifikasi dari keikutsertaannya dalam kontestasi karena sangat besar dampaknya. 

Regulasi semestinya diperbaharui agar lebih progresif mengikuti perkembangan politik uang. Tentu supaya kewenangan Bawaslu bisa lebih kuat dalam penindakan maupun pencegahan potensi pelanggaran.

Upaya Kampanye Cegah Politik Uang  

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusung kampanye antikorupsi dengan tema ‘Hajar Serangan Fajar’ untuk meningkatkan kesadaran publik terkait pencegahan praktik politik uang. Demikian disampaikan Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan, Ipi Maryati saat dikonfirmasi Selasa (9/1/2024).

“Harapannya, melalui kampanye Hajar Serangan Fajar, masyarakat dapat menolak pemberian uang/fasilitas/barang dari para peserta pemilu dan tidak memilih partai/calon pemimpin yang masih melakukan politik uang demi meraup suara,” kata Ipi.

Serangan Fajar merupakan istilah populer dari politik uang. Serangan fajar sendiri dapat diartikan sebagai pemberian uang, barang, jasa atau materi lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di tahun politik atau saat kampanye menjelang pemilu.

Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang. 

Namun, juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018. 

Baca Juga: Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Lazimnya politik uang ini diberikan dalam tiga bentuk, antara lain: uang atau pemberian amplop berisi uang antara Rp 25.000 hingga ratusan ribu. Sembilan bahan pokok (sembako) juga sering dibagi-bagikan saat pemilu kepada para pemilih. Dalam kemasan sembako biasanya diselipkan identitas peserta pemilu/caleg/capres. Selain itu, barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya.

“Politik uang menjadi pemicu terjadinya tindak pidana korupsi karena mengakibatkan politik berbiaya tinggi. Berbagai hasil studi dan kajian yang dilakukan berbagai pihak menunjukkan tingginya biaya politik yang dikeluarkan oleh setiap peserta pemilu,” jelas Ipi.

Sejalan dengan hasil studi tersebut, kajian KPK pada pilkada 2015, 2017, 2018 dan 2019 menunjukkan adanya gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta cakada/cawakada berdasarkan data LHKPN. Kebutuhan dana ini yang kemudian dipenuhi oleh donatur/sponsor mulai dari pencalonan, kampanye, proses pencoblosan, hingga gugatan pilkada.

Berdasarkan hasil survey juga menyatakan bahwa donatur/sponsor akan mengharapkan balasan dan lebih dari 80% cakada/cawakada mengaku akan memenuhi balas budi tersebut. Jenis balasan yang diinginkan, antara lain dalam bentuk: prioritas dalam mengikuti pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah, kemudahan perizinan, serta keamanan dalam berbisnis dan kemudahan akses kepada pejabat daerah. 

Baca Juga: 5 Hal tentang Pemilu Indonesia 2024, Disebut Pesta Demokrasi Terbesar di Dunia

“Beberapa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK juga berkorelasi dengan praktik politik uang, para tersangka pelaku korupsi tersebut memiliki motif untuk mengembalikan modal kampanye yang telah dikeluarkan dan dibagi-bagikan selama proses kontestasi politik. Beberapa modus korupsi yang umumnya dilakukan adalah jual beli jabatan, korupsi di sektor perizinan, atau sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah,” papar Ipi.

KPK bekerja sama dengan segenap pihak dalam mendorong kampanye Hajar Serangan Fajar. Kampanye ini secara khusus ditujukan kepada kaum perempuan usia 36 – 55 tahun yang rentan terhadap upaya serangan fajar menjelang pemilu.

Hal ini sesuai dengan kajian DEEP Indonesia pada Riset Dinamika Komunikasi Politik Perempuan Terhadap Godaan Politik Uang di Pilkada 2020 yang menyatakan bahwa 44% pemilih menolak politik uang tetapi menerima politik uang dan sebanyak 28% pemilih menikmati politik uang.

Sebelumnya, di tahun 2019 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan survey Pengaruh Politik Uang dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan mendapati hasil sebanyak 40 persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019 tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Sementara itu, 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. 

Baca Juga: Apa Kata Anak Muda Tionghoa Soal Pemilu 2024: Pilih Coblos atau Golput? 

Latar belakang ini yang mendorong KPK mengkampanyekan Hajar Serangan Fajar. Target kampanye anti-politik uang meliputi 2 (dua) pihak, yaitu penerima dan pemberi. Untuk para penerima atau pemilik suara, dibedakan menjadi 2 target primer dan target sekunder. Target primer yang disasar dalam kampanye adalah perempuan karena memiliki kecenderungan menerima politik uang dengan persentase paling besar.  

Sedangkan, target sekunder yang disasar adalah generasi Z dan Milenial. 

Dengan jumlah yang signifikan sebagai pemilih muda dan pemula, gen Z dan milenial memiliki potensi sebagai media untuk mempengaruhi keputusan (influencer).  Selain itu, kampanye ini juga ditujukan kepada pemberi. Melalui berbagai pesan yang dikemas, berupaya untuk menekan keinginan pelaku serangan fajar menggunakan politik uang dalam meraup suara pemilih.

KPK menyadari keberhasilan kampanye ini tidak terlepas dari peran serta seluruh elemen masyarakat. KPK mengajak berbagai pihak untuk turut menyuarakan tagline Hajar Serangan Fajar sebagai bentuk literasi dan edukasi untuk masyarakat agar menolak, menghindari dan membentengi diri dari godaan politik uang. 

Selain itu, KPK juga menyediakan satu fitur baru dalam aplikasi Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) sebagai medium untuk melibatkan peran serta masyarakat mengawasi proses pemilu dari praktik politik uang atau penyimpangan lainnya. Masyarakat dapat menyampaikan keluhan atau laporannya atas praktik penyimpangan dalam pemilu kepada KPK melalui aplikasi JAGA Pemilu.

“KPK akan meneruskan laporan dan keluhan masyarakat tersebut kepada penyelenggara atau pengawas pemilu, KPU, Bawaslu dan Panwaslu untuk ditindaklanjuti,” pungkas Ipi.

Artikel ini mendapatkan dukungan dari Fellowship Peliputan Isu Pemilu AJI Indonesia dan Google News Initiative (GNI)

Susi Gustiana

Penulis yang sedang mendalami isu perempuan, anak dan keberagaman. Menyuarakan yang pinggiran, bersolidaritas untuk kemanusiaan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!