Nona dan Mama Papua Bekerja Keras di Tengah Ancaman Mahar dan Kawin Muda

Kawin muda dan pembayaran mas kawin atau mahar, adalah situasi yang menjerat perempuan Papua yang terus dialami nona dan para mama di sana.

Kali ini saya akan menuliskan tentang bagaimana kehidupan para perempuan: nona dan mama di Papua. Saya jumpa mereka ketika selama setahun saya menjadi volunteer pendidikan di salah satu desa di pesisir Kepulauan Yapen, Papua. 

Saya menyebut para nona dan mama di sini sebagai perempuan ajaib. Bagaimana tidak ajaib, mereka selalu bekerja keras di laut dan di darat, mereka luar biasa. 

Hidup dengan lingkungan geografis lekat dengan perairan dan tanah berbukit mungkin membuat mereka memiliki real life skill yang banyak. Kekuatan fisik dan ketangkasan yang lebih dibanding perempuan pada umumnya. 

Di laut, mereka sangat terbiasa dengan perahu, tiang belo (pengendali perahu), dayung, membuang umpan bahkan memancing. Di darat, mereka sangat terbiasa dengan keluar masuk-hutan, tokok-ramas sagu, bertanam, mencari kayu bakar, berjalan naik-turun bukit. Bahkan sekaligus dengan mengasuh anak-anaknya. 

Pemandangan setiap hari yang saya lihat adalah mama-mama/mace yang berjalan entah dari hutan atau bukit mana tanpa alas kaki dengan tali noken (tas lokal) tergantung kencang di tempurung kepala menahan keseimbangan kayu yang ia bawa di punggung. Sambil menggendong anak di depan, tangan kanan memegang parang tangan kiri menjaga kesimbangan mana bagian yang akan hilang kendali. 

Jalan yang ditempuh bukan sekian meter saja, tapi bisa berkilo-kilo meter plus naik turun tanjakan. Segala bawaan sepertinya tidak terlalu menjadi beban berarti. Buktinya di setiap perjalanan, para mama masih menyempatkan mengobrol dengan tetangga sembari berbagi pinang.

Baca Juga: ‘Glo, Kau Cahaya’ Jatuh Bangun Kehidupan Perempuan Atlet Renang 

Jika para perempuan biasa di laut dan di hutan, lantas bagaimana dengan rumah? Selain beraktivitas di luar, perempuan juga ada di rumah. Masyarakat pesisir Papua kebanyakan tinggal di rumah yang berlabuh di atas air, di pinggiran perairan. Para mama beraktivitas di rumah dari pagi hingga menjelang siang. Namun, untuk para mama dengan anak-anak yang masih kecil biasanya mereka akan tetap tinggal di rumah. 

Selesai dengan pekerjaan rumah, para mama maupun anak perempuan akan pergi bekerja ke kebun atau ke hutan untuk mencari sayur, kayu bakar atau bertanam singkong, keladi, ketela pohon dan tumbuhan apapun yang mudah tumbuh. 

Selebihnya di sore atau malam hari mereka (tidak jarang nenek-nenek) juga biasa terlihat membuang umpan atau memancing di laut. Malahan, di malam hari terutama saat bulan purnama, perairan di laut cukup ramai oleh para perempuan dan laki-laki yang memancing ikan atau suntung (cumi-cumi). 

Tidak ada pembagian ranah yang mengikat seperti domestik dan publik antara perempuan dan laki-laki Papua atau pembagian peran yang rigit seperti dalam budaya tradisional Jawa yang saya kenal. 

Baca Juga: Ada Dana Otsus, Kenapa Papua Masih Terancam Kelaparan dan Kemiskinan?

Sering saya melakukan obrolan seputar peran dan pekerjaan para mama, namun tidak ada kesan keberatan atau mempermasalahkan beban kerja mereka. Mereka melakukan perannya tanpa memusingkan peran lain dari suaminya. Mereka bisa berpendapat dan berkompromi dalam masalah keluarga.

Jika cerita di atas lebih banyak mengulas para mama, lantas seperti apa para nona atau para perempuan muda di desa tempat saya tinggal?. 

Para nona rata-rata berhenti sekolah setelah SMP atau SMA, meski ada juga beberapa yang melanjutkan kuliah di perguruan tinggi di kota seperti Serui, Jayapura maupun di Manokwari. Para nona yang sudah tidak bersekolah kebanyakan beraktivitas di rumah untuk membantu orangtua, ikut ke kebun atau menjaga adik yang jumlahnya cenderung banyak di setiap keluarga. Beberapa diantaranya lalu kawin muda atau menikah. 

Persoalan Mahar dan Kawin Muda 

Biasanya, tidak lama berselang setelah tidak bersekolah, bisa dipastikan sudah terdengar kabar bahwa si A atau si B telah “kawin”. 

Banyak fenomena “kawin muda” di Papua terutama di pedesaan kepulauan Yapen, kenapa kawin dan bukan nikah

Istilah kawin merujuk pada sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang memutuskan menjalin ikatan dan biasanya hidup bersama layaknya suami-istri. Hubungan ini diakui secara budaya/adat, namun tidak diakui resmi secara hukum negara. 

Sementara menurut masyarakat dimana saya pernah tinggal, istilah nikah cenderung digunakan jika pasangan melakukan ikrar atas hubungan mereka di depan agama/gereja. Maka yang biasanya terjadi adalah pasangan bisa kawin kapanpun dengan kesepakatan, dua keluarga telah bersepakat atas hubungan tersebut dan biasanya disusul dengan kesepakatan pembayaran mas kawin tertentu oleh keluarga pihak laki-laki pada pihak perempuan. Serigkali mas kawin ini berupa piring gantung, gelang, perahu motor beserta sejumlah uang. 

Mas kawin bisa dibayar sekaligus ataupun secara berkala, sehingga dalam kenyataannya tidak mengherankan jika ditemui pasangan yang baru seumur jagung yang telah tinggal bersama, secara tiba-tiba akan berpisah begitu saja tanpa masalah yang berarti dan tanpa proses berbelit. 

Baca Juga: Andai ‘Orpa’ Didengar, Kisah Anak Perempuan Papua

Sebaliknya jika pasangan kawin bertahan lama, maka setelah beberapa tahun berselang, mereka akan melakukan nikah di gereja. Sehingga tidak mengherankan jika di Yapen ditemui pasangan kakek-nenek yang sudah bertahun lamanya berkeluarga dan memiliki banyak cucu, namun baru melakukan pernikahan.

“Kawin” memang lebih mudah dan terkesan fleksibel karena tidak perlu menggelar acara tertentu ataupun melengkapi administrasi tertentu. Namun, resikonya juga lebih banyak seperti nihilnya administrasi untuk anak-anak mereka, mudahnya memutuskan hubungan, ketidakjelasan nafkah anak jika berpisah dan rawannya KDRT. Untuk hal terakhir ini kasusnya mudah menguap serta tidak bisa diproses secara hukum. 

Pelanggaran dalam perkawinan orang Papua di Yapen memang di bawah payung adat, namun payung adat tersebut tidak kuat legitimasinya secara kolektif sehingga tidak akan ada sanksi berarti. Bukankah telah digambarkan bahwa perempuan pesisir Papua tangkas dan kuat? Mengapa kasus seperti KDRT bisa terjadi?. Jelas perlu pengamatan yang lebih komprehensif tentang hal tersebut, namun dalam pengamatan saya selama ini terlepas dari musabab awal terjadinya hal tersebut, terdapat nilai budaya yang melandasi semua itu. Sehingga apa yang bisa terjadi tidak terkait dengan kemampuan fisik. 

Baca Juga: ‘Burung pun Tak Ada Lagi’: Riset Kondisi Perempuan Papua

Pembayaran mas kawin terhadap seorang perempuan seakan-akan meneguhkan perempuan tersebut telah menjadi milik laki-laki. Sehingga jika ia melakukan tindakan kekerasan hal tersebut seperti menjadi hak laki-laki. 

Bukan sekali atau dua kali saya dengar kasus KDRT di desa tersebut, namun berkali-kali. Tetapi seperti uap garam yang menguap dari permukaan laut dalam kurun waktu setengah hari, seperti itu pula kasus-kasus KDRT sering terabaikan dan menguap dengan sendirinya.

Tulisan ini murni dari catatan lapangan yang saya tulis apa adanya tanpa motif atau bumbu tambahan apapun. Ibarat memegang koin saya tidak ingin memperlihatkan citra perempuan papua dari satu sisi saja. Namun sisi sebaliknya juga ingin saya perlihatkan. 

Saya juga tidak bermaksud untuk memperlihatkan sisi ‘buruk’ budaya tertentu. Saya hanya ingin realitanya. Highlight dari cerita tersebut adalah kasus kekerasan menjadi poin yang tidak bisa dianggap remeh. Sekalipun di lingkungan yang perempuannya dikenal kuat dan luar biasa.

(Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi Penulis)

Alfi Indah K.

Alumni Pengajar Muda-XIX (Indonesia Mengajar). Mahasiswa Antropologi yang hobinya suka ngeliatin langit.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!