Berdesakkan, Antre, Pingsan: Perempuan Paling Terdampak Naiknya Harga Beras

Dalam sistem patriarki, perempuan dikonstruksikan memegang peran domestik yang lekat dengan urusan dapur seperti menjaga ketersediaan pangan. Saat krisis dan kenaikan harga terjadi, perempuanlah yang harus "memutar otak" dan paling terdampak di tengah kebijakan pemerintah yang tak berperspektif gender dan inklusif.

Rena (30) sudah beberapa hari ini kelimpungan mencari beras. Sejak menjelang berakhirnya masa pencoblosan pemilhan umum (pemilu), Ia kesulitan memenuhi stok beras untuk kebutuhan pangannya sehari-hari di kos. Beras yang biasanya mudah dia dapat di warung terdekat, kini kehabisan stok.

Jika pun ada, beras dijual dengan harga yang lebih mahal dari pasaran. Dia juga harus mencarinya lebih jauh ke minimarket atau supermarket. Uang yang Ia rogoh juga harus lebih besar karena tidak bisa membeli secara eceran, tapi minimal per kemasan dengan isi 5 kg.

“Aku karena anak kosan dan suka masak sendiri. Pas lagi anget-angetnya kemarin sebelum pemilu, beras yang harganya Rp 10-11 ribu stoknya habis karena udah diborong dan sisa stok beras yang Rp 14 ribu. Di minimarket, beras stoknya habis, ada pun merk Sumo (per 5 kg) yang biasa Rp 69 ribu jadi Rp Rp 77 ribu apa Rp 80 ribuan gitu,” jelas Rena, yang saat ini berdomisili di Gandaria, Jakarta Selatan, kepada Konde.co pada Selasa (20/2/2024).

Di Pluit, Jakarta Utara, Liana (32) dan keluarganya juga mempertanyakan soal kelangkaan beras akhir-akhir ini. “Beras sekarang 17 ribu terus jelek-jelek kualitasnya,” ujar Liana kepada Konde.co.

Ampe suamiku bilang, mending beli beras jepang sekalian,” dia menambahkan.

Sementara itu, krisis beras pun melanda sejumlah daerah lainnya, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Ngawi, ratusan ibu-ibu mengantre berjam-jam sampai berdesakkan demi mendapatkan beras murah dari operasi pasar Pemerintah Kabupaten Ngawi, Jumat (16/2/2024).

Sedangkan di Bandung, Pemerintah Kota Bandung menggelar operasi pasar dan pasar murah di 30 kecamatan sejak 19 Februari hingga 1 Maret 2024. Peluang mendapatkan beras murah kualitas medium Stabilisasi Pasokan Harga Pangan (SPHP), membuat banyak masyarakat, termasuk perempuan dan lansia, rela mengantri berjam-jam. Bahkan menurut pemberitaan, seorang ibu sampai pingsan usai mengantri 2,5 jam untuk mendapatkan beras murah pada Senin (19/2/2024).

Baca Juga: Beragamnya Makanan Saat Lebaran; Jangan Remehkan Peran Perempuan

Sulitnya membeli beras di Bandung juga dirasakan Okti (42). Menurutnya, pembeli dan pedagang beras sama-sama kekurangan stok beras. Malah, pedagang pun sudah menyerah dan merekomendasikan calon pembeli untuk mengonsumsi mie saja.

Ngerasain kemarin di Bandung susahnya bukan main. Yang dagang pun udah nyerah, rekomendasinya pindah ke mie aja sebagai sumber karbo,” keluh Okti saat dihubungi Konde.co, Rabu (21/2/2024).

Pada akhirnya, Okti berhasil mendapatkan beras untuk stok kebutuhan rumah tangganya. Namun, harga meroket dari Rp 69 ribu Rupiah menjadi Rp 87 ribu Rupiah per kantong berisi 5 kg. “Itu pun dibatasi, cuma boleh ambil segitu, nggak boleh ambil lebih,” ujarnya.

Isu Pangan adalah Isu Perempuan

Kelangkaan beras disinyalir terjadi di waktu yang berdekatan dengan pemberian bantuan sosial (bansos). Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) gencar membagikan bansos dalam bentuk beras di akhir masa Pemilu 2024. Pada hari-hari sebelum masa pencoblosan di linimasa Pemilu 2024 pula, warga menyadari harga beras terus naik dan stoknya berkurang di pasaran.

Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menanggapi situasi tersebut. Menurutnya, kenaikan harga pangan seperti beras dan bahan-bahan pokok lainnya sudah terjadi selama beberapa bulan terakhir. Kenaikan harga beras sendiri sebenarnya telah terasa sejak Oktober 2023. Meski berdasarkan laporan yang didapatkannya, tidak semua daerah mengalami krisis dan lonjakan harga beras yang terlalu signifikan.

“Terlepas ini, tidak dikaitkan dengan Pemilu, teman-teman perempuan sudah merasa bahwa kenaikan harga beras dan beberapa bahan pokok sudah naik,” ujar Mike saat dihubungi oleh Konde.co, Rabu (21/2/2024).

Di satu sisi, Mike mengakui, harga pangan memang sering naik dan nyaris tak pernah turun kembali ke harga yang signifikan. Hal tersebut dikeluhkan oleh perempuan dan kelompok marjinal yang paling terdampak oleh fluktuasi harga bahan pokok.

Namun di sisi lain, masyarakat dan pemerintah masih kurang mengakui bahwa beban untuk memastikan kecukupan pangan ada pada perempuan. Ketika krisis pangan melanda, perempuan yang harus memutar otak untuk menghadapinya.

Baca Juga: Mari Menanam: Bukan Mie Instan dan Makanan Kaleng Yang Dibutuhkan Perempuan

“Ia punya beban untuk memastikan pangan di keluarganya itu terus berjalan dan terus berkualitas. Mungkin bukan cuma ibu, tapi saya rasa ini tugas setiap perempuan. Bahkan ketika perempuan juga sudah mengambil alih di ranah publik. Dia tetap harus kembali memastikan keluarganya, dalam hal pangan, juga tetap tercukupi,” terang Mike.

Penyusunan kebijakan yang diklaim memakmurkan rakyat juga mestinya berperspektif gender dan inklusi. Namun perbincangan mengenai kemakmuran masih dalam konotasi maskulin.

Nyatanya, lanjut Mike, perempuan dan kelompok marjinal kerap menjadi entitas warga yang tidak pernah dipikirkan ketika bicara soal kemakmuran dan kekuasaan.

“Jadi hanya dibilang kalau kenaikan harga beras, pasti ibu-ibu nih, yang ramai, yang teriak-teriak,” lanjutnya.

“Tapi pernah nggak sih, ada sebuah kebijakan yang betul-betul melihat bahwa kesulitan yang dialami oleh perempuan, ibu rumah tangga, itu harus betul-betul menjadi formulasi ketika mereka memikirkan soal kestabilan harga? Bagaimana soal inflasi yang itu juga berdampak kepada harga pokok dan daya beli masyarakat?”

Politisasi Bansos Menghancurkan Resiliensi Perempuan Saat Krisis Pangan

Krisis beras dan politisasi isu pangan melalui bantuan sosial sebenarnya bukan cuma terjadi di Pemilu saat ini. Secara umum, ini adalah taktik pemenangan penguasa ketika hendak meraih suara dan membuat masyarakat tunduk kepadanya.

“Politisasi bansos adalah cara-cara jelas untuk pembodohan rakyat,” tegas Mike.

“Bayangkan, sebenarnya rakyat ini kan, tidak tinggal diam ketika mereka menghadapi krisis. Mereka resilien, banyak sekali yang diupayakan oleh masyarakat. Saya tuh ironisnya seperti itu. Dan itu dihancurkan hanya dalam masa kampanye yang 75 hari ini; juga mungkin, bisa jadi sampai menuju hasil perhitungan.”

Ketergantungan rakyat Indonesia pada beras saat ini juga merupakan bagian dari ‘warisan’ hegemoni Orde Baru. Padahal, sebetulnya Indonesia punya ragam pangan yang dulu menjadi bahan pokok, seperti sagu, sorgum, dan sebagainya.

Karena isu pangan juga berkaitan dengan perubahan iklim, kelompok perempuan yang bergerak untuk memastikan kondisi pangan tercukupi juga mampu beradaptasi. Namun pemerintahan Orde Baru berhasil membentuk hegemoni bahwa rakyat harus makan nasi dari beras untuk hidup. Kini kondisi itu diperparah dengan bansos dan pembagian sembako dengan motif politik praktis.

“Ini semua seperti terlibas ketika bansos pemilu itu turun dan seolah-olah ‘bansos ini menolong’. Padahal ini adalah bagian dari pembodohan. Seolah-olah masyarakat dibuat, ‘oh ya, ini menyelamatkan hidup saya, sembako bansos ini’,” kata Mike.

Baginya, hal tersebut justru membumihanguskan resiliensi masyarakat dan kelompok perempuan saat menghadapi masalah pangan.

Baca Juga: Masyarakat Meninggalkan Makanan Tradisional. Apa Kontribusi Perempuan?

“Bansos beras itu tidak menolong perempuan sama sekali. Yang ada justru itu bagian dari pembodohan, pemberangusan gerakan-gerakan resiliensi ketahanan pangan yang sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh masyarakat, terutama kelompok perempuan. Bayangkan, dengan seketika mereka dibagikan beras dan itu hanya untuk mencoblos salah satu capres atau caleg. Menurut saya, ini adalah sebuah pola yang—di pemilu dan pilkada ini—dijadikan cara meraup suara agar menang.”

Penguatan regulasi harus dilakukan, apa lagi mengingat bansos adalah fasilitas negara dan tidak dianggarkan untuk keperluan Pemilu. Bantuan tersebut mungkin bermanfaat untuk sementara waktu, tapi ia seringkali tidak berkelanjutan.

Negara seharusnya juga memastikan harga bahan pokok tetap stabil agar tidak mempersulit rakyat. Pun ketika harga bahan pangan naik, bukan berarti rakyat malah diberikan pengganti dengan harga terjangkau tapi kualitas lebih buruk. Dengan atau tanpa kontestasi Pemilu, semua itu harus dilakukan oleh negara demi kelangsungan hidup masyarakat.

Mike mengatakan situasi saat ini ironis sekali. Sebab menggunakan pemilu dan pemenangan hanya dengan beras 5 kg. Sayangnya, kebijakan tak cukup membantu dan peka terhadap perempuan dan kelompok marjinal untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

“Sebenarnya tamparan buat pemerintah, ya. Bahwa ternyata pemerintah yang sedang sibuk Pemilu ini juga lalai terhadap situasi-situasi pangan rakyat. Sehingga orang kehabisan beras, beras mahal sehingga harus antri, sampai ada yang pingsan. Menurut saya pemerintah atau negara harus malu,” pungkasnya.

(Gambar Ilustrasi Warga Mengantre Beras Murah dari Bulog. Sumber: Faktual News)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!