Pemilu Tak Inklusif Bagi Disabilitas: Tak Ada Braille, Tangga Licin, dan Diabaikan

Pada pemilu 2024 ini, ada berbagai temuan pelanggaran terhadap hak kelompok rentan termasuk disabilitas dalam mengakses hak pilihnya. Ada pula ancaman hak politik perempuan yang semakin terkikis. Ini jadi catatan penting yang mestinya jadi perhatian serius untuk pemilu yang inklusif dan berperspektif gender.

Pesta demokrasi seharusnya dinikmati oleh semua orang, nyatanya tidak bagi disabilitas. Begitulah, Ranie Ayu Hapsari, mengeluhkan situasi berlangsungnya pemilu 2024 yang belum inklusif. 

Perempuan yang bekerja di Pusat Rehabilitasi YAKKUM (Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum) itu, menyoroti banyaknya fakta di lapangan yang mengabaikan pemenuhan hak untuk orang dengan disabilitas. 

Padahal, hak politik disabilitas telah dijamin dalam Undang-undang No 8 Tahun 2016. Yaitu tentang hak penyandang disabilitas yang semestinya mutlak diberikan. Termasuk dalam penyelenggaraan pemilu seperti aksesibilitas dan akomodasi layak untuk disabilitas menggunakan hak pilihnya. 

Namun realitanya, ada ketimpangan antara kebijakan dengan implementasi di lapangan. Ini jadi persoalan serius.  

“Faktanya hasil pemantauan ini menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu abai terhadap pemenuhan hak (disabilitas) tersebut,” ujar Ranie dalam pernyataan resmi FORMASI Disabilitas yang diterima Konde.co, Rabu (21/2/2024). 

Data pantauan yang dimaksud Ranie adalah pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Sassana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM.  

Mereka memantau pemungutan suara yang dilakukan di lebih dari 223 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 20 provinsi seluruh Indonesia. Ada catatan hambatan signifikan bagi pemilih disabilitas dalam memanfaatkan hak pilih mereka. Apa saja? 

Bentuk-bentuk Pelanggaran Hak Disabilitas Pada Pemilu 2024

Pertama, ketiadaan alat bantu pencoblosan bagi disabilitas berupa template braille untuk kertas suara DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilih disabilitas sensorik penglihatan mengeluhkan ini, sebab mereka tidak dapat memilih secara mandiri. 

Di semua TPS yang terpantau, adanya alat bantu untuk disabilitas sensorik netra yang tersedia hanya template braille untuk kertas suara Presiden dan Wakil Presiden. Satu lagi, kertas suara DPD RI. 

Dampaknya, pemilih (disabilitas) dengan hambatan penglihatan masih tetap membutuhkan seseorang, baik petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) ataupun keluarga untuk sekadar memasangkan kertas suara pada template yang tersedia. 

“Ini tentu memberi peluang besar atas pelanggaran kerahasiaan pemilu,” kata Ranie. 

Di sejumlah tempat TPS bahkan, salah satunya di TPS 03 Jalan Nusakambangan, Denpasar Barat, hanya membolehkan pemilih disabilitas mencoblos dua surat suara (Presiden dan DPD). Sedangkan, ketiga surat suara lainnya tidak diberikan. Dalihnya, KPU tidak mengizinkan.  

Baca Juga: Mimbar Demokrasi Perempuan Desak Presiden Hentikan Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Pemilu

Kedua, tempat atau bangunan TPS tidak mudah diakses bagi disabilitas. Seperti, gedung/bangunan yang cukup tinggi dengan akses tangga yang tak ramah disabilitas. Para pemilih disabilitas juga ada yang harus memilih di luar bilik suara dan di luar TPS dengan pencoblosan disaksikan oleh banyak orang. 

Ini jelas melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana aturan penyelenggaraan pemilu. Kejadian ini seperti yang ditemukan di salah satu TPS di 020 Baturan, Sabdodadi, Bantul, Yogyakarta. 

Ketiga, minimnya pembekalan bagi petugas KPPS terhadap kelompok pemilih rentan. Satu sisi, apresiasi patut diberikan kepada petugas yang berinisiatif mendatangi pemilih disabilitas atau rentan lainnya di tempat tinggal untuk pencoblosan. Namun sayangnya, asa kerahasiaan dan kebebasan ini rentan terlanggar. 

“Karena saat mencoblos, pemilih disaksikan petugas. Di lebih banyak kasus, petugas KPPS sayangnya banyak menunjukkan sikap yang tidak mengakomodasi kebutuhan pemilih difabel,” katanya. 

Baca Juga: Suami Istri Cerai Karena Beda Pandangan Politik, Sampai Penyerangan Seksual: Kekerasan Perempuan di Pemilu

Di NTT misalnya, di TPS 003 desa Baumata Timur dan TPS 002 desa Kuaklalo, Kabupaten Kupang. Petugas KPPS enggan memberikan pelayanan kepada disabilitas yang diketahui keberadaannya untuk memilih. Selain itu, Pemantau difabel yang bertugas di TPS 002 Desa Kuaklalo pun dilarang KPPS untuk mengambil gambar hasil perhitungan suara dan mengambil gambar dalam lokasi TPS.

Di kota kupang, di TPS 003, kelurahan Naikoten 1, Petugas KPPS enggan mencatatkan pemilih difabel kedalam daftar pemilih yang difabel. Bahkan di catatan hasil perhitungan suara, jumlah pemilih difabel ditulis nol. 

“Selain itu, bilik suara yang bertangga dan licin menjadi hambatan bagi pemilih difabel pengguna kursi roda. Petugas KPPS beralasan, mereka belum paham tentang bagaimana memberikan akomodasi yang layak bagi difabel,” imbuhnya. 

Keempat, spesifik pada disabilitas mental psikososial, pemungutan suara dilakukan di panti rehabilitasi yang terpisah dengan TPS lainnya. Petugas terdiri dari KPPS, saksi dan Linmas. Upaya ini diapresiasi karena telah mengakomodir hak politik bagi disabilitas mental psikososial, tetapi kerahasiaan pilihan dari para pemilih tidak dapat terjamin. Ini terjadi di rumah singgah Dusaroso, Kebumen Jawa Tengah.

Di satu sisi, Bawaslu yang bertugas di TPS yang dipantau aksi kolektif ini, tidak sampai mengawasi pada kemudahaan akses dan pelayanan bagi difabel. Bawaslu hanya bekerja dari tahap persiapan hingga perhitungan suara, tetapi abai dalam memastikan terpenuhinya akomodasi yang layak berdasarkan keragaman disabilitas yang hadir untuk menggunakan hak suaranya.

Baca Juga: Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh

Nur Syarif Ramadhan, Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas menegaskan bahwa temuan-temuan di atas baru sebagian kecil dari hasil pemantauan. Hingga saat ini, data dari masing-masing TPS dan wilayah pemantauan tengah dianalisa dan diolah. 

“Temuan ini masih sebagian kecil. Para pemantau dalam proses penginputan data dan mengirim nya ke Tim aksi kolektif. Kemungkinan masih banyak temuan-temuan lain yang akan muncul,” kata Nur Syarif. 

Kepada Konde.co, Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati mengungkap hal serupa. Pihaknya mengaku mendapatkan laporan bahwa ketiadaan alat bantu netra berupa braille memang jadi keluhan yang banyak mereka terima. 

“Kami mengundang teman-teman disabilitas tunanetra dan masyarakat adat. Mereka mengeluhkan alat bantu tunanetra atau braille,” ujar Neni saat dihubungi pada Rabu (21/2/2024).

Tidak hanya itu, lokasi TPS pun banyak yang tidak aksesibel bagi disabilitas. Selain tempatnya yang jauh, beberapa TPS terpaksa harus direlokasi lantaran banjir. Hal tersebut tentu menyulitkan disabilitas dan kelompok rentan lainnya yang akan menggunakan hak suaranya.

Baca Juga: Caleg Cantik dan Baliho “Mamah Semok” Menjual Sensualitas Perempuan? Ini Kampanye di Tengah Politik yang Sakit

Dalam beberapa kasus, ketika TPS kekurangan surat suara, maka pemungutan suara di sana harus dihentikan. Ini sesuai dengan rekomendasi dari Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu).

“Teman-teman disabilitas yang sudah sampai di TPS ketika menemukan adanya kasus pemungutan suara lanjutan, dan kemudian TPS dihentikan sementara, otomatis mereka pulang lagi,” jelas Neni.

Ketika mereka datang lagi, ternyata mereka tetap tidak bisa mencoblos DPR RI, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota. Hal serupa tidak hanya dialami oleh disabilitas saja, tetapi juga ibu-ibu lansia. Bahkan, mereka juga kurang mendapatkan pelayanan yang baik saat berada di TPS.

Neni mendefinisikan pemilu inklusif sebagai pemilu yang tidak diskriminatif antara satu kelompok dengan lainnya. Pemilu inklusif juga perlu memastikan masyarakat mendapat informasi secara utuh dan mudah diakses oleh kelompok disabilitas.

Selama ini, menurutnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya melibatkan disabilitas sebagai seremonial saja. Mereka diundang dalam suatu acara. Namun, tidak ada implementasi atau tindak lanjut yang melibatkan disabilitas.

“Ketika kita menemukan bahwa braille hanya untuk presiden, wakil presiden, dan DPD, ini menunjukkan bahwa belum inklusifnya proses pemilihan yang sebenarnya terselenggara di Indonesia, khususnya di Pemilu 2024,” ucap Neni.

Ancaman Hak Politik Perempuan Yang Kian Terkikis

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga angkat bicara soal kuota keterwakilan perempuan yang khawatir tidak bakal terpenuhi. 

Hasil Daftar Calon Tetap (DCT) yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, sebanyak 17 dari 18 partai politik tidak memenuhi jumlah minimal 30 persen pencalonan perempuan. Sehingga, hanya satu partai saja yang memenuhi syarat tersebut yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di semua daerah pemilihan (dapil).

Padahal, Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dijelaskan bahwa syarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen harus terpenuhi di setiap dapil. Hal ini tidak bisa diakumulasikan secara nasional. 

Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi, lantas khawatir, keterwakilan perempuan di parlemen 2024 nantinya bisa berkurang. 

“Kalau kita lihat data pencalonan perempuan sebagai Anggota Legislatif dari Pemilu 2014 sampai 2019 itu terus meningkat. Misalnya di 2014 pencalonan perempuan mencapai 37 persen, kemudian di 2019 itu mencapai hampir 40 persen pencalonannya ketika dicalonkan oleh partai politik,” ujar Nurul saat menjadi narasumber di Nusantara TV dalam Program ‘Nusantara Memilih’, Rabu (14/2/2024). 

Baca Juga: Pemilih Perempuan Jadi Sasaran Politik Uang dan Janji Manis Kontestan Pemilu

Meski begitu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 soal teknis 30 persen yang kini berlaku malah berbalik menghalangi pencapaian target afirmasi perempuan di parlemen. Pasal tersebut mengatur soal pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi jumlah perempuan di dapil. Tentu saja penerapan ini berbeda dengan aturan sebelumnya yang melakukan pembulatan ke atas. 

Hal tersebut yang membuat banyak partai politik tidak lulus mencalonkan 30 persen perempuan di setiap dapil. 

Padahal, amanat di dalam UU No 7/2017 tentang pemilu sebetulnya keterpenuhan keterwakilan perempuan minimal 30 persen itu harusnya di setiap dapil. Bukan hanya ditarik angka rekapitulasi atau agregasi secara nasional.

“Jumlah persentase perempuan yang dicalonkan, itu biasanya dua kali lipat lebih. Misalnya di 2019 ada hampir 40 perempuan yang dicalonkan dan terpilih ternyata 20 persen. Nah ini ditakutkan akan berkurang pada Pemilu 2024 dari 30 persen,” ujar Nurul.

Pelanggaran Pemilu, Ketua KPU Diminta Mundur

Baru-baru ini, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis mendesak agar Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari segera dicopot dari jabatan dan keanggotaan sebagai komisioner. Hal ini setelah serangkaian pelanggaran pemilu yang Ia lakukan. Terbaru soal pernyataan diperbolehkannya membawa ponsel ke dalam bilik suara.

Apa yang disampaikan Hasyim melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 25 Tahun 2023. Aturan ini secara tegas melarang membawa ponsel atau HP ke dalam bilik suara, apalagi melakukan perekaman atau dokumentasi.

Dalam Pasal 25 PKPU Nomor 25 Tahun 2023 disebutkan bahwa pemilih dilarang membawa telepon genggam dan/atau alat perekam gambar lainnya ke bilik suara. Pembolehan tersebut dinilai membuka pintu selebar-lebarnya bagi politik uang (money politics). 

Baca Juga: Terganggu Dengan Baliho Pemilu Karena Rusak Lingkungan? Banyak Pohon Dipaku Dan Bikin Sampah

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menilai pernyataan Hasyim Asy’ari bertentangan dengan aturan KPU. Ia dinilai mengabaikan aturan serta mengganggu integritas dan legitimasi proses dan hasil pemilihan.

“Koalisi mendesak Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari segera dicopot dari jabatannya sebagai komisioner di KPU,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis dalam siaran persnya pada Senin (19/2/2024).

Selain pernyataannya yang kontroversial, Hasyim Asy’ari juga pernah dikenai pelanggaran etik dengan sanksi peringatan keras terakhir dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal ini imbas dari proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden nomor urut 2.

Satu minggu setelah hari pencoblosan pemilihan umum (Pemilu) pada Rabu (14/2/2024), pembicaraan terkait kecurangan pemilu belum juga mereda. Pelanggaran yang disebut terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) ini dikhawatirkan dapat mencederai demokrasi Indonesia.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga nampak tak serius dalam menangani pelanggaran pemilu. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus yang sudah dilaporkan, tetapi tak kunjung diselidiki oleh Bawaslu. Padahal, waktu terus berjalan mendekati pengumuman hasil pemilu.

Baca Juga: Minimnya Capres Perempuan dalam Pemilu: Perempuan Harus Berjibaku Lawan Hegemoni

Setiap hari, informasi terkait kecurangan pemilu terus diperbarui, baik melalui sosial media maupun website pelaporan. Kecurangan ini berupa surat suara yang sudah dicoblos, tertukar, kurang, hilang, dan rusak, serta kurangnya kesiapan petugas di lapangan.

Kecurangan tersebut sebelumnya telah diprediksi dalam film bertajuk Dirty Vote. Ada beragam modus yang dipaparkan dalam film, mulai dari politisasi bantuan sosial (bansos), kampanye menggunakan fasilitas negara, kecurangan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) memenangkan partai politik tertentu, dan masih banyak lagi.

Sebagaimana kata Neni dari DEEP Indonesia, sistem pemilu Indonesia sudah seharusnya direformasi. Model pemilu serentak perlu dipertimbangkan secara matang. Jangan sampai pembuat undang-undang melihat sistem ini berat sebelah: asal menguntungkan partai tapi merugikan penyelenggara pemilu dan pemilih.

“Pemilu serentak nasional dan lokal itu bisa dipisah. Dengan begitu, tentu beban kerja tugas KPPS, termasuk juga memudahkan untuk pemilih, terutama pemilih kelompok rentan tadi bisa terlayani dengan baik,” pungkasnya.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!