Film Indonesia Maju, Tapi Pekerjanya Terbelenggu

Di tengah sejumlah kemajuan film Indonesia, nasib film dan pekerja film masih terbelenggu oleh sensor dan intimidasi.

Ratri Ninditya bercerita, selama ini ada banyak ancaman yang dilakukan terhadap para seniman atau pekerja seni pembuat film. Namun sayangnya, ancaman ini tak pernah didata.

Hal yang seringkali luput dilihat misalnya, para pekerja film non-biner yang dilarang berkesenian. Ancaman lainnya berupa sensor film yang mengambil tema tentang isu-isu seperti LGBT, pelanggaran HAM tahun 1965, Papua dan hal yang berbau politik. Seolah film harus terbebas dari konten politik, yang berpotensi “mengganggu” pihak berkuasa.

Ratri adalah peneliti dari Koalisi Seni Indonesia (KSI) yang memaparkan hasil penelitian KSI pada acara  “Filmku maju, filmku terbelenggu”. Kegiatan itu diselenggarakan atas kerjasama KSI, Dewan Kesenian Jakarta, dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 20 Maret 2024 di Jakarta. 

Dari situ ditunjukkan, kasus-kasus di perfilman ini berserakan dan tak ada datanya.

“Kasus-kasus seperti kekerasan tidak terdata dan Pemerintah Indonesia juga tidak pernah melaporkan soal kekerasan ini dalam laporan kebebasan berkesenian ke UNESCO, alasannya karena tidak ada data. Yang ada hanyalah ajakan untuk kebebasan berkesenian, tapi tidak ada laporan pelanggaran berkesenian atau kekerasan yang dialami para seniman atau pekerja seni. Bagaimana jika digerebek polisi atau tempatnya akan disidak? Laporan seperti ini tidak ada,” ujar Ratri. 

Baca Juga: Pekerja Seni Dibuat Tak Tenang: Disensor, Dicekal, Diintimidasi

Maka KSI kemudian melakukan pendataan atas kekerasan, intimidasi, sensor yang dilakukan pada pekerja film serta tayangan film. Hasilnya, ada total sekitar 40 kasus dari 2010- 2023 berupa serangan berulang pada saat pemutaran film 65, LGBT, dan konflik agraria. 

Hal itu menimpa film Senyap, kucumbu tubuh indahku, Samin vs Samin, dll. Film-film ini merupakan film perjuangan pada identitas minoritas, kasus agraria yang merugikan masyarakat, dan kasus 65 yang mengorbankan para aktivis 65.

“Ketika film diserang, yang terkena bukan hanya pemainnya, tapi juga penyelenggaranya. Film selalu dilihat sebagai alat propaganda, film juga dianggap sebagai urusan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Film adalah alat penting untuk mengenalkan Indonesia, tapi juga ada ancaman, juga ada sensor dalam film di Indonesia.”

Bahaya Sensor Film 

Adrian Jonathan, dari Cinema Poetica menyatakan soal bahayanya sensor film ini. Sensor film seperti data Cinema Poetica sudah dilakukan sejak film pertama kali berproses, artinya bukan hanya setelah jadi dan ditayangkan, namun dilakukan sejak shooting atau dalam proses produksi. 

Film yang pernah disensor antara lain Lady Fast, Senyap, soal 65, LGBT dan ada lonjakan di tahun 2016-2017. Sebanyak 13 kasus digerakkan publik dan 37 kasus melibatkan negara dan kelompok sipil. 

Alasan pendisiplinan sensor biasanya karena film tidak dianggap normal, dianggap bahaya. Film lain misalnya, Prison and Paradise, Noah dan Lightyear. Adrian memaparkan bahwa sensor atau intimidasi ini biasanya melibatkan korporat, lembaga agama, juga masyarakat sipil. 

“Ada sensor vertikal negara dan sensor horizontal dari masyarakat. Ada relasi kuasa. Sipil melibatkan militer, polisi, pejabat pemerintah, agamawan. Sensor di daerah dilakukan di Depok, Pontianak, padang, pekanbaru, Palembang. Di Bandar lampung di tahun 2019 oleh FPI ketika pemutaran Kucumbu tubuh indahku.”

Sutradara film Riri Riza yang juga hadir dalam diskusi ini sebagai pembicara mengatakan bahwa selama ini banyak orang film yang memutuskan untuk diam atau tak mau rebut. 

“Karena kenyataannya, apapun yang kami buat, kami harus meminta izin dulu, saya melihat bahwa sensor ini super body. Sensor adalah paradigma budaya, berkesenian membutuhkan modal, dan harus menghadapi sensor mandiri seperti hindari LGBT, nuansa politik, dll,” ujar Riri Riza.

Hal lain yang masuk dalam penilaian adalah bahwa film harus pantas, tidak mengganggu kesusilaan, kesopanan.

Baca Juga: Film ‘Pocong’ Dilarang Tayang Karena Ada Tragedi Mei 1998, Ini Seperti Sensor Ala Orba?

Sensor menurut catatan Riri Riza sudah dilakukan sejak tahun 1950 dan tak berubah. Sampai kini, sensor film tetap dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF), walaupun sejumlah pekerja seni filmmaker menganggap bahwa saat ini film kita agar lebih longgar dari sensor. 

“Sepertinya sekarang agak longgar, tapi bagaimana jika berganti kekuasaan? 5 tahun terakhir agak lunak, keramah-tamahan yang berlebihan, sangat friendly. Tapi kita tidak tahu jika rezimnya berganti, karena aturannya adalah aturan karet sebenarnya dan kita menjadi subjek kontrol atas gagasan ini.”

Riri Riza mengatakan bahwa pendahulu kita sebenarnya punya visi yang sangat baik untuk film, bahwa realisme atau kegelisahan di masyarakat harus disampaikan ke masyarakat karena film adalah produk budaya. 

Ia mencontohkan, misalnya Usmar Ismail, orang yang berjuang dan mendedikasikan dirinya di dunia film. Namun di luar Usmar Ismail, ada perempuan yang terjun di dunia film dan tidak tercatat, salah satu contohnya adalah Ratna Asmara. Harusnya kondisi ini yang terus digali, perspektif yang berbeda, pengetahuan baru, tidak hanya intimidasi dan sensor.

“Film adalah produk kesetaraan, tahun 1950 ada Ratna Asmara. Ratna Asmara jarang disebut-sebut dalam sejarah dunia perfilman Indonesia, tidak seperti sutradara laki-laki lainnya. Namun Indonesia Film Center menyebut, pada masa itu, munculnya Ratna Asmara menjadi gebrakan di dunia perfilman yang masih sangat maskulin dan didominasi laki-laki,” kata Riri Riza.

Perempuan Minim Dicatat Dalam Sejarah Perfilman

Kesaksian sejarah film nasional mencatat, Ratna Asmara menjadi pelopor sutradara perempuan yang menggarap film pertamanya Sedap Malam (1950). Di tahun-tahun berikutnya, dia juga produktif menampilkan karya seperti Musim Bunga Selabintana (1951), Dokter Samsi (1952), Nelajan (1953) dan Dewi dan Pemilihan Umum (1954). 

Ratna Asmara jarang disebut-sebut, tidak seperti Usmar Ismail atau sutradara laki-laki lainnya. Namun Indonesia Film Center menyebut, pada masa itu, munculnya Ratna cukup menjadi gebrakan di dunia perfilman yang masih maskulin. 

Perempuan saat itu juga minim mendapatkan dukungan dari kalangan perfilman sendiri. Ratna termasuk yang “beruntung”, sebab dia mempunyai support system yang kuat dari suaminya, Andjar Asmara, yang juga aktif di dunia seni peran sekaligus wartawan. 

Sebelum menjadi sutradara, Ratna pernah aktif di dunia sandiwara dan membintangi Kartinah (1940) besutan Andjar. Ratna juga membintangi film yang digarap oleh Andjar yaitu Djauh di Mata dan Anggrek Bulan (1948). Hingga setahun kemudian, Andjar berjasa dalam membukakan karier Usmar Ismail sebagai asisten sutradara film Gadis Desa (1949). 

Selain memiliki kemampuan berakting, Ratna juga bernyanyi. Nyanyiannya direkam dalam piringan hitam label His Master Voice atau HMV beredar 1942. Ada 4 lagu dinyanyikan Ratna di bawah label itu. Di antaranya, Tanahku Indonesia, Terang Bulan di Malaya, Nasib Perempuan dan Sebatang Kara. 

Baca Juga: Ratna Asmara Di Tengah Maskulinitas Film: Kiprah Sutradara Perempuan Pertama

Pada 1950-an, Ratna merilis film Terang Bulan di Malaya yang diproduksi perusahaan film Malaya, Keris Film. Film ini menceritakan aktor dan aktris Indonesia seperti Raden Mochtar dan Sukarsih. Saat masa pendudukan jepang pada 1945, Ratna dan Andjar membentuk grup sandiwara angkatan muda matahari. 

Pada tahun 1953, Ratna bersama Mochtar Lubis dan Wildan Djafar, pun mendirikan perusahaan filmnya sendiri bernama Ratna Film. Saat itu, produksi pertamanya adalah Film Nelajan (1953), yang diadaptasikan dari karya Mochtar Lubis. Setahun kemudian, Ratna memimpin pembuatan film Dewi dan Pemilihan Umum (1954) yang dibintangi oleh Titien Sumarni dan Raden Ismail. 

Riri Riza mencontohkan, Ratna Asmara adalah satu contoh. Namun di tahun setelah reformasi 98, muncullah Nia dinata, Shanty harmayn, Mira Lesmana yang memproduksi film-film perempuan dan perspektif baru

“Ini adalah kelahiran perempuan dalam sejarah film. Ini lebih membuka kebebasan berekspresi karena mereka adalah orang yang berani.”

Baca Juga: Peluncuran Film dan Buku Konde.co: Potret Overwork Pekerja dan Perjuangan Media Perempuan

Lalu ada festival-festival film, seperti Jiffest, Festival Film Dokumenter/ FFD dan banyak festival lain yang beragam. Tapi di samping itu ada sensor dan komersialisme. 

“Yang terjadi akhir-akhir ini di tengah trend dan prosentase film Indonesia, peningkatan jumlah penonton, ada ketakutan dari pembuat film yang mau mendistribusikan film yang tertahan di LSI atau tertahan karena harus membuat seperti selera penonton. Penonton sekarang katanya tidak suka isu politik, susah, maunya yang gampang, ini adalah tekanan dalam kebebasan berekspresi. Padahal sebenarnya kita punya modal soal penggarapan isu agraria, inklusi, perempuan, dll.”

Riri Riza menunjukkan bahwa film Indonesia sebenarnya punya modal untuk dicontoh dan reformasi adalah berkah baru, namun herannya kenapa masih saja terbelenggu dengan banyaknya tuntutan soal sensor, intimidasi karena membawa isu yang dianggap berbahaya? 

Mestinya tekanan dalam berekspresi ini tak lagi jadi ketakutan, dan berekspresi bukan hanya soal memperoleh ruang, tapi juga pekerja seni termasuk di perfilman bebas dari kekerasan, sensor dan intimidasi.

(Sumber Gambar: Instagram Garin Nugroho)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!