Film ‘Pocong’ Dilarang Tayang Karena Ada Tragedi Mei 1998, Ini Seperti Sensor Ala Orba?

Tragedi Mei 1998 yang dinilai berisiko "tinggi dan berbahaya" jadi sebab salah satu film pertama tentang sosok setan 'Pocong' (2006) pernah dilarang tayang. Ini seperti sensor ala-ala orde baru?

Apa yang pertama kali muncul di benakmu jika mendengar kata ‘pocong’?

Bagiku yang penakut, hantu mana pun kontan membuatku merinding—fiktif atau tidak. Tapi sebuah iklan film horor jumpscare yang tak sengaja kulihat di televisi saat masih kecil membuatku trauma akan pocong.

Pocong menjadi sosok hantu yang khas dan legendaris di Indonesia. Ada sejumlah film horor yang menjadikan hantu itu sebagai pusat ceritanya. Terbaru, film Pamali: Dusun Pocongdirilis pada tahun 2023 ini, sebagai sekuel dari film horor ‘Pamali’.

Tapi dari sekian banyak film tentang pocong, salah satunya pernah dilarang tayang di Indonesia. Itulah film ‘Pocong’ yang dirilis pada tahun 2006 silam. Bukan cuma karena unsur kengerian atau brutalitas di dalamnya. Film ‘Pocong’ (2006) dilarang karena mengangkat Tragedi Mei 1998 sebagai latar belakang cerita.

Dilarang karena Peristiwa Mei 1998, ‘Risiko Tinggi Sosial Politik’

Sutradara Monty Tiwa, yang menulis naskah film ‘Pocong’ (2006), pernah membahas tentang larangan tayang film tersebut di media sosial. Ia sendiri baru membicarakan hal itu di tahun 2019.

Sebetulnya, film ‘Pocong’ sudah selesai digarap oleh sutradara Rudi Soejarwo dan Monty Tiwa sejak 2005. Namun, ketika hendak tayang di tahun 2006, Lembaga Sensor Film mencekal film horor tersebut.

Menurut Monty Tiwa, cerita yang dikembangkannya adalah tentang tragedi yang dialami seorang laki-laki bernama Wisnu (Dwi Sasono). Ia kehilangan keluarga dan harta bendanya dalam sebuah kerusuhan besar. Dalam peristiwa itu, ibu, ayah, dan adik perempuannya tewas terbakar. Guncangan hebat yang dialami Wisnu berujung pada penampakan hantu berkafan putih itu, yang memperkuat hasrat Wisnu untuk balas dendam.

Kerusuhan yang dimaksud adalah Tragedi Mei 1998. Bulan Mei di tahun itu adalah bagian dari sejarah kelam Indonesia. Menjelang kejatuhan Orde Baru, kerusuhan pecah, penjarahan dan pembakaran terjadi di mana-mana, kelompok minoritas menjadi sasaran kekerasan, banyak perempuan diperkosa dan dibunuh.

Baca Juga: 25 Tahun Reformasi: Stop Janji Kosong untuk Perempuan Dalam Tragedi Mei

Itulah salah satu pertimbangan yang membuat LSF melarang tayang film yang berjudul asli ‘Pocong (Dendam yang Tak Bisa Mati)’ itu di layar lebar di Indonesia.

LSF menilai bahwa film itu ‘berisiko tinggi dan berbahaya’ bagi pembuatnya. Selain tentang Kerusuhan Mei 1998, LSF mengajukan empat poin keberatan lainnya. Salah satunya, karena aspek adegan kekerasan yang brutal secara visual dalam film tersebut.

Cuit Monty Tiwa di X (sebelumnya Twitter) pada 2019, ia sempat dipanggil oleh Ketua LSF, almarhumah Titie Said gara-gara hal itu.

“Setelah diskusi alot selama dua jam, kami sepakat bahwa film tersebut bisa menimbulkan riak sosial politik, yang dampaknya bisa berbahaya bagi para pembuatnya,” jelas Monty Tiwa melalui akun X pribadinya pada 13 April 2019 silam.

Sekuel Tanpa Film Pertama

“Seharusnya, tayang pada awal tahun 2006, tetapi dicekal LSF dan kami langsung buat sekuelnya pada tahun yang sama,” kata Monty Tiwa.

Alhasil, lanjut Monty Tiwa, ‘Pocong 2‘ jadi film pertama dalam sejarah yang merupakan sebuah sekuel tanpa ada film pendahulu.

Film ‘Pocong 2’ yang dimaksud, menceritakan tentang perempuan yatim piatu bernama Maya dan adiknya, Andin. Usai ditinggal kedua orangtua mereka, Maya berusaha lebih memperhatikan Andin yang masih dirundung rasa kehilangan, lalu mencari tempat tinggal yang lebih baik bagi mereka.

Suatu hari, Maya dan tunangannya, Adam, menemukan kamar apartemen dengan tarif murah di sebuah iklan baris di koran. Ia dan Andin pun pindah ke sana. Namun, hidup mereka tidak tenang karena banyak hal menakutkan yang Andin temukan di apartemen itu, termasuk pocong yang selalu mengganggunya.

Seharusnya, film ‘Pocong 2’ dirilis belakangan, yakni pada tahun 2007. Namun pencekalan LSF terhadap film ‘Pocong’ yang pertama kali digarap Rudi Soejarwo dan Monty Tiwa membuat mereka akhirnya merilis sekuelnya lebih cepat. Kemudian di tahun 2007, mereka merilis ‘Pocong 3’.

Versi 2019, Latar Belakang 1998 Dihapus

Kelanjutan film ‘Pocong’ akhirnya dirilis pada tahun 2019, belasan tahun setelah ‘Pocong 2’. Versi 2019 berjudul ‘Pocong the Origin’ dan digarap bersama produser Chand Pawez Servia dan Starvision Plus.

Monty Tiwa menyebut film versi 2019 ini sebagai ‘reinkarnasi’ film pertamanya, yang batal tayang. Sebab, ia menggunakan lagi beberapa aspek cerita film yang dulu menjadi poin keberatan LSF. Namun perihal Kerusuhan Mei 1998 dan visualisasi kekerasan brutal kemudian dihilangkan olehnya.

“Dalam versi 2019, saya kompromi dan menghilangkan dua poin,” ungkap Monty Tiwa. “Yaitu kisah latar kerusuhan 1998 (karena ini juga tahun politik) dan kekerasan yang brutal secara visual.”

Baca Juga: Tak Mudah Hidup Menjadi Perempuan Tionghoa

Monty Tiwa juga sempat berdiskusi dengan produser mengenai film ‘reinkarnasi’ ini. Mereka khawatir, film ‘Pocong the Origin’ akan bernasib sama dengan film perdananya.

Namun, akhirnya film itu dapat tembus dan tayang di layar lebar Indonesia mulai 18 April 2019. ‘Pocong the Origin’ dibintangi oleh Nadya Arina, Samuel Rizal, Nadya Arina, Della Dartyan, Yama Carlos, Tyo Pakusadewo, dan Yeyen Lidya.

Apa Ini Sensor Ala-ala Orde Baru?

Pada masa orde baru, pembuat film relatif sulit punya kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas mereka. Dikutip dari Arsip Harian Kompas, Imam Tantowi dari wawancara Ekky Imanjaya menyebut, para sineas film ini berjuang melawan sistem represif melalui film dengan “tenang”.

“Kejahatan dan sifat penghancur yang ditujukan dalam film dapat dilihat sebagai simbolisme dari pemerintah orde baru sendiri,” ujar sutradara yang mengawali debut sutradaranya melalui film Pasukan Berani Mati (1982) itu.

Situasi yang diungkap Imam Tantowi itu memang tak mengherankan. Selama masa orba, semua film yang diputar di bioskop harus lulus Lembaga Sensor Film (LSF). Lembaga sensor yang sebelumnya bernama Badan Sensor Film (BSF) ini perannya semakin menguat selama orba berkuasa.

Tanpa izin lembaga itu, film yang diproduksi tak bisa tayang di bioskop ataupun disiarkan lewat televisi. Per tahun 1970-an misalnya, ada sekitar 756 judul film yang disensor BSF, 36 film yang tidak lulus sensor dan ditolak tayang.

Ambil satu contoh film produksi dalam negeri yang tak lulus sensor seperti film berjudul Ganja (1972) produksi Perusahaan Film Negara (PFN). Di film yang disutradarai Sjarif Rukmantama itu menggambarkan bagaimana menjadi pecandu.

Realitanya, sensor film ala-ala orba itu masih terus terjadi meski sudah reformasi. Jika kamu tahu film Senyap (The Look of Silence) pada tahun 2014 juga kena gunting LSF. Dia tidak diizinkan diputar umum, hanya terbatas untuk komunitas. Film karya Joshua Oppenheimer ini berkisah tentang peristiwa G30S PKI tahun 1965 dilihat dari sudut pandang para korban.

Di laporan kompas.id, Ketua LSF Mukhlis Paeni beralasan sensor film itu karena adanya potensi memunculkan benih konflik. Juga ketegangan sosial-politik, menebar perilaku kebencian dan melemahkan ketahanan nasional.

Maka, jika film Pocong (2006) yang menyoroti tragedi 1998 dilarang juga karena dinilai “berisiko tinggi dan berbahaya” secara sosial dan politik, apa kita memang belum bisa lepas dari sensor ala-ala orba?

(Sumber Gambar: Starvision)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!