Nonton Kirab Dugderan, Ini Tradisi Ramadan Yang Penuh Keberagaman

Kirab Dugderan merupakan perayaan menyambut bulan Ramadan yang dilakukan umat Islam di Semarang, Jawa Tengah. Kirab ini menunjukkan akulturasi dan ekspresi keberagaman.

Kayyeza siang kemarin, bersama mamanya menunggu rombongan Kirab di depan Mall Paragon di Jalan Pemuda, Semarang. 

Hujan yang mengguyur Kota Semarang sejak pagi tak menyurutkannya untuk menonton Kirab Dugderan pada Sabtu (9/3) kemarin. Kayyeza tak ingin melewatkan momen yang digelar setiap tahun tersebut. Sebagai Gen Z yang lahir dan besar di Semarang, ia merasa sayang kalau nggak nonton acara yang jadi ciri khas kotanya.

“Udah ciri khas sebelum lebaran ya kak, jadinya nyempetin diri aja. Setiap dugderan harus nonton,” katanya.

Namun ia mengaku sedikit kecewa. Pasalnya pawai dugderan kali ini tak semeriah tahun lalu. Faktor cuaca mungkin jadi alasan sehingga peserta dan penonton tak membeludak seperti sebelumnya.

“Tahun ini lebih dikit ya orangnya. Biasanya banyak banget aneka ragam yang bawa alat peraga warak ngendog. Nah kemarin itu cuma dikit banget. Menurutku ciri khasnya agak hilang,” ujarnya.

Buat Kayyesa, dugderan adalah festival yang seru dan unik. Kostum dan ide-ide para peserta kirab yang tampil terlihat kreatif dan menarik. Belum lagi pasar malamnya, dengan aneka ragam jualan yang tersedia. Ia pun mengikuti kirab sampai selesai dan tak ketinggalan menyambangi pasar malamnya.

Pawai atau Kirab Dugderan kali ini menempuh rute seperti tahun sebelumnya. Dimulai dari Balaikota Semarang menuju Masjid Agung Kauman Semarang dan berakhir di Masjid Agung Jawa Tengah.

Dilansir dari Youtube Pemkot Semarang, acara dimulai sekitar pukul 1 siang. Atraksi liong (naga) menjadi hiburan pembuka. Dua buah liong masing-masing sepanjang sekitar 9 meter meliuk-liuk digerakkan oleh 9 pemain.

Usai penampilan hiburan, Kirab Dugderan dibuka dengan upacara yang digelar dengan bahasa Jawa dan atribut baju daerah di halaman Balaikota. Tarian Trilogi Budaya oleh belasan penari perempuan dan laki-laki mengawali upacara. Warak Ngendog yang menjadi simbol dugderan jadi bagian dalam pagelaran tari tersebut.

Para penari membawakan tari Trilogi Budaya dalam pembukaan prosesi Dugderan 2024

Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu yang berperan sebagai Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrum membacakan amanatnya dalam bahasa Jawa. Hujan yang sempat berhenti kembali turun saat upacara berlangsung.

Baca juga: Bingung Ditanya Dari Mana Asalmu? Sebutan untuk Global Nomad atau Anak Budaya Ketiga

Prosesi dilanjutkan dengan Wali Kota menabuh bedug bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Sebelum perarakan kirab, Wali Kota melakukan pecah kendi. Pasukan berkuda mengawal di depan dan di belakang kereta kencana yang membawa Wali Kota menuju Masjid Agung Kauman untuk melakukan prosesi berikutnya.

Rombongan kirab terdiri dari beberapa pasukan diantaranya pasukan bergada atau prajurit yang berasal dari perwakilan tiap-tiap kecamatan di Kota Semarang. Setiap pasukan bergada beranggotakan 40 personel. Ada juga pasukan Paskibraka perwakilan dari beberapa sekolah.

Dalam rombongan juga ada berbagai komunitas seperti komunitas Tionghoa dengan rombongan Kera Sakti, Barongsai, dan Liong. Tak ketinggalan kelompok Punakawan dan grup marching band.

Di Masjid Agung Kauman Semarang, berlangsung prosesi inti yaitu penyerahan Suhuf Halaqah dari ulama Masjid Kauman kepada pemeran Kanjeng Bupati. Wali Kota kemudian membacakan Suhuf Halaqah tanda masuk bulan Ramadan kepada warga. Usai pembacaan dilakukan pemukulan bedug yang dibarengi dengan suara petasan.

Wali Kota, ulama dan rombongan kemudian berjalan menuju alun-alun Kota Semarang yang sudah dipadati warga. Di sana berlangsung prosesi pembagian air suci kataman dan roti ganjel rel khas Semarang.

Tahun ini ada yang berbeda. Selain mendapat air suci dan roti, warga juga mendapat kue keranjang yang disiapkan komunitas Tionghoa. Ini lantaran prosesi Dugderan tahun ini berlangsung berdekatan dengan perayaan hari Raya Imlek pada bulan lalu.

Setelah prosesi di Masjid Agung selesai, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju Masjid Agung Jawa Tengah yang terletak di Jalan Gajah. Di Masjid Agung Jawa Tengah berlangsung pembacaan Suhuf Halaqah dari Pemerintah Provinsi Jateng. Prosesi Dugderan pun berakhir di Masjid Agung Jawa Tengah.

Sejarah dan Perkembangan Dugderan

Kirab Dugderan yang merupakan agenda tahunan yang diadakan Pemerintah Kota Semarang ini merupakan rangkaian dari acara Dugderan. Dugderan merupakan perayaan menyambut bulan Ramadan yang dilakukan umat islam di Semarang, Jawa Tengah. Tradisi ini juga menjadi pesta rakyat tahunan bagi masyarakat Semarang.

Secara historis, tradisi Dugderan bermula dari perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan puasa. Pada tahun 1881 Pemerintahan Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat memberanikan diri menentukan awal puasa. Sidang isbat penentuan awal puasa dilakukan di Masjid Agung Kauman dipimpin oleh Kanjeng Tafsir Anom selaku penghulu masjid.

Hasil sidang isbat berupa Suhuf Halaqah diserahkan penghulu masjid kepada Bupati kemudian Bupati mengumumkan Suhuf Halaqah kepada masyarakat. Dengan ditandai tabuhan bedug di Masjid Agung Kauman dan tembakan meriam di halaman Kanjengan atau alun-alun.

Suara bedug yang bertalu-talu (dugdugdug) dan bunyi meriam (derderder) menjadi asal usul nama Dugderan. Prosesi dugderan ini dilaksanakan sehari sebelum bulan Ramadan. Kirab atau pawai menjadi bagian dalam prosesi penentuan awal bulan Ramadan.

Baca juga: Benarkah Konten Hiburan Makin Diminati Saat Momen Ramadhan?

Dalam prosesi ini juga ada pembagian air suci kataman dan juga roti ganjel rel yang dibentuk gunungan. Roti ganjel rel atau roti gambang adalah roti khas Semarang berbentuk persegi berwarna coklat dengan taburan wijen di atasnya. Roti beraroma rempah kayu manis ini awalnya merupakan menu sarapan orang-orang Belanda di Indonesia yang mengalami akulturasi.

Kegiatan ritual ini didahului dengan pasar malam yang berlangsung selama satu bulan penuh. Pasar malam diramaikan oleh berbagai macam penjual mulai dari mainan anak-anak, makanan hingga minuman. Warga masyarakat bisa mendapatkan hiburan dan menikmati kemeriahan.

Jadi dugderan memiliki tiga agenda yang meliputi pasar malam dugderan, prosesi ritual pengumuman awal puasa, dan kirab budaya warak ngendog. Ketiga agenda ini merupakan satu kesatuan tradisi dugderan. Tradisi ini sampai sekarang masih di­lestarikan dan dilaksanakan dengan segala dinamikanya.

Dalam perkembangannya tradisi ini mengalami penyesuaian dan modifikasi. Prosesi dugderan dulu diadakan pada malam hari karena berkaitan dengan pelaksanaan sidang isbat. Sementara karena sekarang sidang isbat ditentukan oleh pemerintah pusat yakni Kementerian Agama, maka prosesi Dugderan diadakan siang hari.

Pemimpin Kota Semarang berperan sebagai Kanjeng Bupati dalam prosesi dugderan yang berlangsung saat ini. Lokasi acara mengikuti posisi kantor pemerintahan yang pindah ke Jalan Pemuda. Karena itu prosesi pembukaan dilakukan di halaman balaikota diikuti dengan kirab menuju Masjid Agung Kauman. Bunyi meriam diganti dengan suara petasan.  

Baca juga: Tradisi dan Budaya Bugis Mengakui Keberagaman Identitas Gender dan Seksualitas

Sementara durasi pasar Dugderan saat ini cenderung lebih pendek tergantung kebijakan pemerintah, sekitar 10 hari. Pasar Dugderan juga berisikan aneka wahana permainan seperti tong setan, bianglala, kora-kora, dan sebagainya. Namun tahun ini yang menjadi pasar dugderan kedua setelah absen selama tiga tahun saat pandemi Covid-19, wahana permainan tidak ada. Hal ini sempat dikeluhkan warga lewat media sosial.

Selain itu pasar malam juga diramaikan oleh penjualan kuliner UMKM dan pakaian. Tak ketinggalan aneka permainan khas dugderan seperti warak, kapal othok-othok, celengan gerabah berbentuk binatang, mainan alat masak gerabah dan topeng reog.

Penyesuaian dengan konteks zaman terhadap tradisi dugderan juga memunculkan pergeseran makna. Prosesi budaya yang semula bermakna sebagai tanda dimulainya bulan puasa atau Ramadan kini meluas maknanya. Dugderan juga dimaknai sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya dan promosi Kota Semarang.

Akulturasi dan Keragaman Budaya

Ada yang menarik dari tradisi dugderan di Kota Semarang. Yakni keberadaan warak ngendog yang menjadi maskot dugderan sekaligus ikon budaya Kota Semarang. Meski sudah dikenal sejak pasar dugderan ada, tapi baru 4 dekade terakhir warak ngendog ditetapkan sebagai maskot dan ikon dugderan.

Warak ngendog merupakan binatang imajiner yang digambarkan berkaki empat, berekor dan berwajah seram lengkap dengan gigi tajam dan mulut menganga. Warak ngendog biasanya dibuat dalam bentuk mainan anak-anak dan celengan yang dijual selama pasar malam dugderan.

Celengan warak ngendog ini terbuat dari tanah liat. Sedang mainan warak ngendog dibuat dari struktur kayu yang dibungkus dengan bu­lu-bulu kertas mengkilap berwarna-warni. Bagian alasnya dipasang empat roda dan disambungkan dengan tali sehingga anak-anak bisa menariknya. Pada bagian depan di antara kedua kakinya ditempatkan sebuah telur.

Namun saat ini mainan khas tradi­sional warak ngendog ini jarang dijual di pasar dugderan. Kalaupun ada hanya beberapa penjual saja. Bentuk warak juga tidak dilengkapi roda, telur, dan tali sehing­ga tidak bisa ditarik untuk dijalankan. Warak ngendog ­makin tergusur oleh mainan modern. Pasalnya anak-anak lebih tertarik mainan modern yang lebih variatif bentuk dan jenisnya.

Baca juga: Pengalamanku Berkunjung ke Drag Show Transpuan di Thailand: ‘Kita Semua Setara’

Selain itu warak ngendog juga biasa dibuat dalam bentuk patung ukuran besar yang diarak dalam kirab dugderan dengan mobil hias. Patung tersebut dibikin oleh perwakilan masing-masing kecamatan di Kota Semarang yang menjadi peserta pawai. Bahan patung biasanya dari kayu.

Warak Ngendog siap diarak dalam Kirab Dugderan 2024

Merujuk Muhammad Arief Budiman (2013), kata warak berasal dari bahasa Arab “wara’I’ yang berarti suci. Sementara ngendog merupakan ungkapan bahasa Jawa yang berarti bertelur. Telur merupakan lambang pahala dari Tuhan bagi umatnya setelah bersuci. Dengan kata lain warak ngendog melambangkan orang yang bersuci di bulan Ramadhan akan mendapat pahala di hari raya Idul Fitri.

Warak ngendog merupakan gabungan tiga binatang yang merupakan simbol penyatuan tiga etnis di Semarang (Arab, Cina, dan Jawa). Kepalanya berbentuk naga (melambangkan Tionghoa), badannya buraq (melambangkan Arab), dan berkaki empat adalah kambing (melambangkan Jawa).

Masyarakat beranggapan bahwa warak ngendog dibuat oleh cendekiawan muslim. Tapi tidak ada yang menyatakan secara pasti orang yang menciptakannya. Hingga saat ini masih menjadi misteri. Sejarawan Amen Budiman tidak menyebut pencipta warak ngendog dalam bukunya.

Dari penelitian Amen Budiman, diperkirakan binatang imajiner ini mulai dikenal masyarakat pada akhir abad ke-19. Dugaan ini bermula dari munculnya warak ngendog pada pekan raya Dugderan pada masa Ario Purboningrat (Wali Kota Semarang 1881-1897). 

Terlepas dari siapa pembuatnya, warak ngendok mempunyai makna filosofis yang selalu relevan sepanjang masa. Entitas makhluk khayalan yang merupakan gabungan simbol tiga etnis tersebut mencerminkan kesatuan atau akulturasi budaya di Kota Semarang.

Sumber foto: Dinas Budaya dan Pariwisata Semarang (https://pariwisata.semarangkota.go.id/) & YouTube Pemkot Semarang (Prosesi Dugderan 2024)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!