Ilustrasi perempuan Madura

Pengalamanku sebagai Perempuan Madura: Stigma Dulu, Beda dengan Sekarang

Stigma “nggak laku” atau “perawan tua” yang mudah dilontarkan masyarakat sekitar, dulu mampu mematahkan semangat perempuan di Madura untuk berjuang mendapatkan pendidikan yang hendak mereka cari.

Coba kamu baca, apakah kamu sering mendapatkan pertanyaan seperti ini?.

“Wah, tidak terasa kamu sudah SMA ya, sudah perawan. Berarti habis ini sudah siap nikah dong.” 

Itu adalah perkataan orang sekitar yang selalu aku dengar setiap ada perkumpulan, sekedar perkumpulan di desa. Ini sangat lumrah terjadi, bahkan menjadi semacam template di Madura apabila seorang anak perempuan sudah terlihat remaja.

Bagi orang Madura zaman dulu, sangat sedikit dari mereka yang terbuka mengenai pentingnya pendidikan tinggi, terkhusus bagi perempuan. Banyak yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu muluk-muluk pergi merantau hanya untuk sekolah dan menimba ilmu. Perempuan cukup disekolahkan agama, hingga tiba waktunya untuk menikah dan siap untuk dibuahi kapan saja. Terdengar agak kasar, tapi itulah kenyataannya.

Saya sendiri, yang merupakan produk setengah Madura, merasakan betul kehidupan seperti ini. Generasi-generasi sebelum saya, apalagi yang hidup di daerah terpelosok hanya bisa dihitung jari yang berhasil menamatkan pendidikan setidaknya sampai SMA. Hal ini dikarenakan sejak SMP, para orang tua sudah mulai mencarikannya jodoh, dimana fenomena ini dapat dikatakan telah lumrah terjadi. Apakah karena alasan ekonomi? Tidak juga. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ningsih et al., (2015) dengan objek penelitian masyarakat Bakeong, Sumenep, Ia menjelaskan bahwa ada tiga faktor utama sebab masyarakat melakukan perjodohan justru karena balas budi, kekerabatan, dan diikuti ekonomi yang berada di peringkat ketiga.

Baca Juga: 33 Tahun Kajian Gender UI, Tak Mudah Dirikan Lembaga Pendidikan yang Melawan Arus Utama 

Di lapangan sendiri, seringkali saya melihat model-model tempat tinggal penduduk lokal, baik di kota maupun desa di Madura justru berukuran besar dan luas, lengkap dengan sawah dan kebun atau peternakan. Tidak jarang pula pesta-pesta pernikahan ala Madura sangat meriah, bahkan melampaui tingkat kemeriahan pesta yang umum terjadi di kota besar, ini tentunya dengan budget yang lebih besar pula. Sehingga, konotasi keterbelakangan ekonomi untuk menjadi tameng utama alasan perjodohan dini kurang relevan. Kultur-lah yang paling berperan disini. 

Saya sedikit melakukan interview kepada salah satu teman yang berasal dari salah satu desa di Madura untuk menanyakan berapa standar usia menikah bagi perempuan di daerah tersebut. Ia menjawab delapan belas tahun. Pada usia tersebut, perempuan harus sudah menyiapkan dirinya untuk menerima pinangan dari berbagai sisi. Kalau semisal tidak kunjung menemukan yang cocok dan tidak segera menikah, siap-siap saja untuk diserbu omongan tetangga. 

“Lok pajuh (gak laku).”

“Nampek (pilih-pilih)”, dan semacamnya. 

Namun, ketika saya tanya bagaimana dengan lelaki? Ia menjawab tidak ada batasnya. Terserah kalau laki-laki. Terdengar miris.

Ketidakseimbangan dalam dinamika kehidupan masyarakat perempuan di Madura, tidak jarang melahirkan keterbatasan perempuan untuk menentukan alur hidupnya, dimana inilah yang membuat kemajuan diri yang tentunya akan berdampak pada peradaban menjadi sangat terhambat. 

Sistem patriarki yang masih mengakar kuat mendominasi hak-hak lelaki yang harus diutamakan daripada hak-hak perempuan. Tidak hanya dalam hal memutuskan pernikahan, namun juga dalam hak mendapatkan pendidikan. Perempuan kehilangan sebagian hak untuk membuat keputusan-keputusan besar bagi dirinya. Stigma “nggak laku” atau “perawan tua” yang mudah dilontarkan masyarakat sekitar mampu mematahkan semangat perempuan untuk berjuang mendapatkan pendidikan dan ilmu-ilmu kehidupan yang hendak mereka cari. 

Baca Juga: Peran Sekolah Saat Siswa Berkasus, Mereka Berhak Atas Pendidikan

Bagaimana tidak? Pada usia delapan belas tahun, usia matang-matangnya, semangat-semangatnya remaja untuk mencari jati diri lantas porak poranda dipatahkan oleh stigma. Dan akhirnya mereka mengalah dengan alasan menghormati dan menjaga nama baik orang tua dan keluarga. Belum lagi jika lingkungan turut mendukung. Teman-teman sudah mendahului, lantas ia dikompori untuk menyusul, dan berujung memilih untuk menghabiskan waktu “emas” dengan melakukan seluruh pekerjaan domestik yang entah didasari keterpaksaan atau kerelaan karena stereotip yang terlanjur mengakar.

Pun ketika setelah menikah, beberapa pasangan suami istri hasil pernikahan muda yang notabene tidak memiliki ilmu yang cukup soal kompleksitas reproduksi dan parenting sangat berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental ibu serta tidak dipungkiri akan berdampak lebih jauh pada perkembangan anak. 

Karena hal tersebut, fase golden age anak tidak termanfaatkan dengan baik, padahal fase ini sangat menentukan bagaimana kehidupan anak setelahnya berdasarkan segala pendidikan awal kehidupan yang diberikan. Yang harus digarisbawahi dari fenomena ini, dimana tidak hanya terjadi di Madura saja, tapi mungkin juga di daerah-daerah lain adalah kesadaran dari apa keuntungan yang didapat dari tradisi semacam ini. 

Namun, kabar baiknya adalah, tradisi seperti ini sudah perlahan berubah pada zaman sekarang, terutama di area perkotaan. Pemikiran para orang tua sudah mulai terbuka tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Alih-alih melakukan perjodohan usia dini, para orang tua kini mulai memberi kebebasan untuk memilih langkah apa yang akan sang anak ambil untuk jurnal kehidupan berikutnya, mempertimbangkan potensi dan kemampuannya. Ada yang dimasukkan ke pesantren, atau sekolah di luar daerah. Tidak sedikit pula yang melanjutkan kembali ke perkuliahan. Tentunya ini juga menjadi pengaruh besar bagi pembentukan karakter dan perspektif sang anak dalam memandang pendidikan. 

Di antara mereka-mereka ini, banyak teman-teman saya yang bahkan diberi kebebasan untuk menentukan pasangan hidupnya. Hal ini sudah merupakan kemajuan cukup signifikan bagi peradaban yang modern, terlebih pada perempuan. 

Baca Juga: ‘Percuma Sekolah Tinggi, Nanti ke Dapur Juga’: Stop Ungkapan Jadul untuk Perempuan

Emansipasi perempuan yang dijunjung tinggi oleh RA Kartini dengan segala perjuangannya dahulu terwujud dalam bentuk kemerdekaan pemikiran para perempuan. Juga perlahan membawa pengaruh bagi lingkungan sekitar. Sejalan dengan itu, emansipasi perempuan yang beriringan terus dengan peradaban modern juga membuat para orang tua di Madura mempunyai pemikiran lebih terbuka. Sehingga cenderung akan lebih menghargai dan menghormati segala keputusan atau jalan yang diambil oleh sang anak. 

Dan lebih bersyukurnya lagi, sudah banyak pula perempuan Madura yang melanjutkan pendidikannya di pesantren modern yang memiliki kurikulum agama dan teknologi atau sains. Itu agar keilmuan yang diperoleh bersifat universal dan applicable pada masa mendatang. Secara tidak langsung, orang tua mulai memikirkan kira-kira apa pilihan yang cocok dengan kemampuan dan keinginan sang anak. Sehingga tidak sekedar keinginan mereka, namun juga diserasikan dengan kemauan sang anak.

Kebetulan, orang yang saya tanyai tadi sudah berusia 21 dan belum menikah, karena ia masih di pesantren dan kuliah. Lantas saya langsung bilang “berarti kamu nggak laku buanget?.” Ia spontan tertawa. 

Dzikra Nasyaya Mahfudhah

Mahasiswi jurusan kimia Universitas Negeri Surabaya. Senang membaca sejak kecil, terutama novel fiksi karya Tere Liye. Mulai menulis kumpulan cerita pendek bergenre anak-anak, hingga kini lebih tertarik pada isu sosial dan perempuan. Pernah menjadi student exchange di China
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!