Ada kalimat yang kerap diulang dan ditegaskan Prof. Dr. Saparinah Sadli (ibu Sap) ketika menceritakan kelahiran Program Studi (Prodi) Kajian Gender di Universitas Indonesia (dulu Kajian Wanita). Yaitu soal peran almarhum Prof. Dr. Sujudi saat menjabat rektor UI periode 1985-1994.
Sebagai pendiri Prodi Kajian Gender bersama mendiang Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, Ibu Sap tidak pernah melupakan jasa Pak Sujudi. Ialah sosok pencetus gagasan pentingnya membuka sebuah program studi kajian wanita (terjemahan formal dari Women’s Studies) di Universitas Indonesia.
Secara tidak langsung, penyampaian Bu Sap kerap mencerminkan pemikiran sangat progresif dan kepedulian pimpinan perguruan tinggi terhadap sebuah bidang ilmu yang mengkaji secara ilmiah permasalahan perempuan dan gender. Jika pada banyak negara lain, bahkan di belahan dunia Barat, mendirikan Women’s Studies di universitas membutuhkan perjuangan tersendiri bagi para akademisi perempuan, di UI justru dukungan kuat datang dari rektor. Penekanan ibu Sap dapat menyadarkan kita bahwa kajian ilmiah tentang gender juga dapat hadir dari gagasan seorang laki-laki.
Ketika kemudahan itu ada pada tahap awal pendirian, tidak demikian dalam perjalanannya kemudian. Seperti kehidupan manusia, 33 tahun adalah usia dewasa yang berisi perjalanan panjang, penuh berbagai tantangan. Di samping juga berbagai peluang untuk terus melahirkan agen-agen perubahan yang memiliki ketajaman sensitivitas dan kekuatan perspektif adil gender. Bahkan bisa disebut perspektif feminis.
Tantangan pertama terjadi pada awal tahun 90-an. Ketika istilah gender secara sosial dan politis di Indonesia masih dianggap Barat atau ke-barat-baratan. Feminisme pun masih dianggap aliran teoritis yang tabu, mengarahkan ke pemikiran yang sesat, pembenci laki-laki, dan hanya kumpulan para lesbian. Anggapan seperti itu tentu saja sangat bersifat stigmatisasi.
Sebagai program studi multidisiplin dan sebagai studi akademik yang interdisiplin, kurikulum Kajian Gender terus mengalami perkembangan. Sesungguhnya itu ditujukan untuk mengkaji pengalaman perempuan yang beraneka ragam, juga situasi kelompok rentan yang ada di tengah masyarakat kita.
Baca Juga: Seksualitas Dan Wacana Gender: Kuasa Pengetahuan Pascakolonial Direplikasi Hingga Kini
Selain itu, kajian juga diarahkan harus berkarakter kritis untuk membongkar konstruksi sosial yang bias gender pada semua aspek kehidupan. Menyadari situasi interseksionalitas, mendayagunakan alat analisis gender serta ketajaman pemikiran feminis yang bergerak maju.
Selanjutnya, para mahasiswa, lulusan, dan dosen diharapkan mampu mengusulkan cara-cara baru dalam mengkonseptualisasikan relasi diri sendiri dengan masyarakat dan lingkungan sekitar yang senantiasa mengalami perubahan.
Dalam era hak asasi manusia yang terus menguat diperjuangkan di dunia. Eksistensi Program Studi Kajian Gender di bawah naungan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG)—dulu bernama Program Pascasarjana, Universitas Indonesia—juga fokus pada pemahaman kondisi biopsikososial dan politik perempuan bersama kelompok minoritas lainnya, secara konseptual dan menyeluruh. Hal tersebut merupakan suatu kebutuhan dan tanggung jawab bersama dalam mengemban tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi. Yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Sayangnya, hingga 33 tahun ini, perubahan di bidang ilmu pengetahuan ternyata belum mendapat tanggapan memadai oleh dunia pendidikan tinggi kita di Indonesia. Harus diakui, bidang ilmu kajian gender masih “dicurigai”, dan belum dianggap sebagai kebutuhan dalam membangun ilmu pengetahuan di Indonesia. Hingga 2023, selain Prodi Kajian Gender UI, baru ada Prodi Gender dan Pembangunan di Universitas Hasanuddin (berdiri tahun 2000), dan Prodi Kajian Wanita Universitas Brawijaya (berdiri 2009). Fakta ini menunjukkan betapa tidak mudah menghadirkan sebuah lembaga yang bisa disebut melawan arus utama pemikiran yang mendominasi dunia pendidikan tinggi kita selama ini.
Masih banyak pertanyaan dari pihak-pihak di luar Kajian Gender, seperti:
“Lulusan Kajian Gender dapat bekerja sebagai apa dan di mana? Penelitiannya bagaimana, menyumbang apa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu dapat berasal dari mereka yang agak skeptis memandang Kajian Gender belum berbuat apa-apa dan mempertanyakan hasilnya. Juga dari mereka yang sudah mengetahui keberadaan Prodi Kajian Gender, namun menyayangkan bahwa hasil-hasil penelitiannya belum diketahui umum.
Baca Juga: 4 Pemikiran Penting Katrin Bandel Tentang Keberagaman Perempuan
Menyadari hal di atas, perlu sosialisasi terus-menerus pentingnya keberadaan Kajian Gender di tingkat universitas. Yaitu sebagai pengembangan pengetahuan konseptual (mengarah ke pemahaman akan pengetahuan yang lebih kompleks) dan menunjang kebijakan publik yang adil gender dan mendukung untuk mempercepat implementasinya.
Dengan demikian, kehadiran lembaga yang menghasilkan ahli kajian gender dengan penelitian-penelitian yang fokus pada pengembangan pengetahuan konseptual dan rekomendasi strategis menjadi sangat penting.
Persoalan riil dan konkrit di lapangan sangat banyak. Mulai dari isu kekerasan berbasis gender, Angka Kematian Ibu tinggi saat hamil dan melahirkan, isu perkawinan anak. Isu pekerja rumah tangga domestik dan migran, isu perempuan sebagai buruh di berbagai jenis perusahaan, politik yang belum representatif bagi perempuan dan kelompok marginal. Aturan hukum dan penerapannya yang belum memenuhi rasa keadilan perempuan korban beserta kelompok yang dilemahkan lainnya. Dan pada masa kini, muncul persoalan berbarengan dengan kemajuan dunia digital. Yaitu kekerasan gender berbasis online.
Masih banyak isu lain yang menggayut. Semuanya menampilkan bagaimana masih lebarnya kesenjangan antara konsep kebijakan responsif gender dengan fakta di lapangan. Oleh karena itu, kebutuhan akan ahli-ahli gender adalah sebuah keniscayaan!