Cok Sawitri, Perempuan Seniman Pembongkar Mitos Perempuan

Seniman perempuan, Cok Sawitri meninggal dunia di Bali pada 4 April 2024. Di hari itu, Indonesia kehilangan sosok perempuan yang berkarya, mendalami pengetahuan dalam tutur dan tulisan perempuan.

Kembalinya Cok Sawitri ke alam abadi menghasilkan rasa sedih dan kehilangan yang besar, terutama di dalam kerja-kerja yang berusaha untuk memposisikan gambaran baik tentang perempuan. 

Cokorda Sawitri atau Cok Sawitri, lahir pada 1 September 1968 – 4 April 2024 adalah seorang seniman dan aktivis perempuan yang juga dikenal sebagai penyair perempuan. Cok Sawitri pernah menulis novel Janda dari Jirah (2007), berkolaborasi dengan Dean Moss dari Amerika dalam acara Dance Theater. Dia adalah seorang penulis produktif yang lebih dikenal dengan nama pena (pseudonym) dan telah menulis beragam artikel, puisi, dan cerita pendek. 

Artikel ini akan menarasikannya melalui buku Cok Sawitri yang berjudul “Janda dari Jirah” yang bertutur dengan sangat menarik tentang Calon Arang, perempuan yang selalu dianggap jahat dan dianggap pendosa. 

Baca Juga: Seniman Perempuan Bertubuh Mini: Tidak Pernah Merasa Kecil Meski Kerap Dikecilkan

Menariknya, Cok Sawitri melihat sosok Calon Arang berbeda dari pandangan umum yang menggambarkannya sebagai sosok yang jahat. Abjeksi itu adalah salah satu konsep yang dipergunakan di dalam melihat hal ini, dan mitos perempuan jahat memang berkembang luas di Nusantara (Adriana Venny, 2022). Karena tidak memiliki pengetahuan luas mengenai religiusitas Hindu-Buddha, seperti yang dimiliki oleh Cok Sawitri, saya melihat beliau dalam konteks upaya dekonstruksi dan rekonstruksi tentang penggambaran abjeksi atau perempuan jahat melalui  bukunya. 

Perjumpaan dengan ibu Cok Sawitri berlangsung melalui teks baik dari bukunya maupun dalam sebuah ruang zoom pada Borobudur Writers and Cultural Festival 2022, dengan sama sama membahas Durga. 

Cok Sawitri kala itu membahas dari kajian beliau yang mendalam tentang Durga dan kaitannya dengan religiusitas, sedang saya membahas Durga sebagai ikon perempuan dan perubahan makna melalui media massa (Santoso, 2021). 

Siapa Durga dan makna yang terkait dengan dirinya dapat dilihat dalam analisa pengetahuan perempuan dan kemudian reproduksinya yang memarginalkannya sebagai sosok perempuan jahat. 

Perspektif Perempuan antar Teks dan Konteks

Mengikuti pemikiran Janel Wolff, bahwa konteks dan teks merupakan rangkaian yang perlu dibaca secara bersamaan, sehingga mendudukkan karyanya “Janda dari Jirah” menjadi signifikan (Janet, 1990). 

Sebagai ilustrasi, Wolff menunjukkan melalui serangkaian analisa terhadap lukisan masa perkembangan modernitas di Eropa yang kala itu banyak dipenuhi oleh lelaki yang sukses, sebagai raja, pahlawan, pekerja yang heroik dan lainnya. Akan tetapi penggambaran tentang perempuan di ruang publik, terbatas pada perempuan lajang, pekerja seks dan janda. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa representasi perempuan memang terbatas dibandingkan dengan lelaki, dalam konteks gender, dan hal ini sangat problematik. 

Teks kemudian menjadi penting, di mana pengetahuan perempuan menjadi representasi yang penting, di mana dibutuhkan upaya untuk mempertanyakan dan memperlihatkan adanya sisi-sisi yang tidak terlihat sebelumnya. Ibu Cok melakukannya melalui tulisan tersebut di atas. 

Hal ini sesuai dengan pandangan feminis, Helene Cixous yang menunjukkan tentang pentingnya perempuan menulis (Conley, 1991). Perempuan harus memproduksi teks alternatif yang dikaitkan dengan konteks melakukan diskusi atas teks dominan yang sudah ada. Berkaitan dengan pandangan tersebut, maka tulisan ini hadir untuk menghargai penulisnya bagi kepentingan pengetahuan perempuan.

Menggunakan perspektif bahwa mereproduksi teks alternatif, maka “Janda dari Jirah” tidak sekedar novel, akan tetapi menjadi narasi pengetahuan perempuan yang menarik. 

Baca Juga: Prioritisasi Perempuan Seniman Mulai Dirintis

Di dalam cerita Janda dari Jirah tersebut, Calon Arang ditulis sebagai perempuan yang tidak jahat. Ada sejumlah alasan mengapa ada kemarahan, sehingga ada interaksi antara sebab dan penyebab dari sebuah situasi, terutama adanya backlash terhadap peran dan posisi perempuan dan bertumbuhnya maskulinitas.  

Pembaca kemudian dapat mengasumsikan adanya perseteruan dan negosiasi tentang pemahaman keberagamaan yang dipimpin oleh perempuan dengan yang dibentuk oleh lelaki pada umumnya. Di dalam cerita tersebut, memang terdapat pertempuran antara Mpu Baradah dengan Calon Arang, keduanya merekonstruksi posisi gender yang ada di masyarakat pada masa itu.

Beberapa karya yang berusaha berposisi terhadap konstruksi tersebut adalah Calon Arang versi Toeti Heraty (Heraty, 2000). Upaya analisa yang sangat menarik dibuat oleh Gadis Arivia(Arivia, 2006). 

Membandingkan Heraty dengan Toer (Toer Pramoedya Ananta, 1999) yang juga menulis tentang Calon Arang, disitu memperlihatkan posisi perspektif yang memberikan sudut pandang yang berbeda dibandingkan dengan penggambaran yang umum seperti yang dilakukan oleh Toer. Hal ini menggambarkan bahan perspektif berperan penting di dalam mengungkapkan sisi sisi yang tidak terlihat oleh cara pandang yang umum.

Baca Juga: Frida Kahlo: Potret Interseksional Feminis dari Lensa Seniman Disabilitas

Dalam mendiskusikan Durga pada Borobudur Writers and Cultural Festival 2022, Cok Sawitri kemudian memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang pemuka agama perempuan seperti yang digambarkan di dalam cerita Janda dari Jirah tersebut. 

Di dalam panel tentang Durga tersebut, terlihat rentang diskusi dan penggambaran tentang konteks perempuan yang terkubur di dalam narasi sejarah, kecuali diangkat dan dibahas di dalam perspektif perempuan.

Perjumpaan berdasarkan teks dan konteks akademis merupakan penghargaan yang besar kepada Cok Sawitri yang sudah melakukan kajian yang sangat mendalam. Keunggulan ibu Cok adalah mampu menghadirkan kajiannya yang kompleks dan mendalam tersebut di dalam narasi tentang Calon Arang yang mengalir dengan menarik dan menggugah pembacanya. Mereka yang dekat dengan cerita Calon Arang dapat dengan cepat merasakan posisi dan argument ibu Cok yang digambarkan melalui tokoh tokoh di dalam narasi cerita tersebut.

Bertaburan Bunga

Dalam konteks yang lebih luas, ibu Cok merupakan salah satu dari beberapa orang yang sudah melakukan upaya membaca kembali konteks perempuan dalam sejarah, agama dan teks teks yang umumnya berkaitan dengan konstruksi perempuan. 

Pada narasi kesejarahan perempuan, di Eropa terdapat phenomena witch burning di mana terdapat penyalahan terhadap perempuan dengan alasan mereka adalah penyihir. Hukuman sosial bagi mereka adalah dibakar. Meskipun masih asumsi (karena penulis belum sempat bertemu dan bertanya dengan bu Cok), Calon Arang mewakili kecenderungan tersebut, di mana perempuan disalahkan dengan alasan penyihir dan menyebarkan bala. 

Selain itu, pada kesejarahan perempuan memang dibahas tentang adanya komunitas dan ketua agama yang Perempuan, atau mengagungkan dewi dewi (disamping dewa-dewa), narasi Janda dari Jirah mewakili gambaran tersebut, di mana digambarkan bahwa Calon Arang adalah tokoh perempuan yang sakti dan memimpin ritual keagamaan.

Cok Sawitri adalah sebagian dari perempuan menulis dari perspektif dan fakta sejarah yang ditemukannya dari kajiannya yang mendalam. Meskipun bertemu melalui zoom dan teks Janda dari Jirah, mungkin sebuah perjumpaan yang terbatas, namun tidak menghalangi melihat beliau sebagai tokoh perempuan dan membahas tentang perempuan. 

Baca Juga: KDRT Perempuan Seniman: Konten Intim Disebar Mantan Suami, Niat Lapor Polisi Barang Bukti Hilang

Cerita Calon Arang pada umumnya adalah sebuah konstruksi sosial. Melalui cerita tersebut terjadi proses reproduksi perempuan sebagai abjek, sebagai sosok yang jahat, tanpa pernah melihat konteks sosial politik keagamaan yang pada saat tersebut sedang bergejolak. Cok Sawitri melakukan dekonstruksi dengan menghadirkan fakta dan perspektif alternatif untuk mendebungking gambaran yang umumnya dipahami masyarakat. 

Beliau melakukan rekonstruksi melalui sosok Calon Arang dengan memasukkan konteks sosial yang terjadi pada masa tersebut. Menghadirkan perubahan sosial dari sisi perempuan yang jarang atau tidak pernah digambarkan sebelumnya. Kehadiran cerita tersebut menambah koleksi rekonstruksi Calon Arang yang sudah ada sebelumnya. 

Cok Sawitri telah memperkaya khasanah pengetahuan pada umumnya dan pengetahuan perempuan khususnya.

Selamat jalan bu Cok Sawitri dan terima kasih atas sumbangannya terhadap pengetahuan perempuan Indonesia.

(sumber foto: Facebook @cok_sawitri)

Widjajanti M. Santoso

Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!