Perempuan seniman diprioritaskan

Prioritisasi Perempuan Seniman Mulai Dirintis

Perempuan seniman masih minim tertulis kiprahnya dalam sejarah seni di Indonesia. Organisasi yang bergerak di bidang kebudayaan seperti Koalisi Seni Indonesia (KSI) kemudian mengupayakan prioritisasi perempuan seniman dengan turut melibatkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Ditjenbud Kemendikbudristek).

Martha Hebi, aktivis gender dan budaya di Sumba, ketika dihubungi Konde.co bercerita tentang keprihatinannya. Di Sumba banyak perempuan yang menjadi pelaku seni tetapi takut menyebut diri mereka sebagai seniman. Hal serupa tidak dialami oleh laki-laki di sana.

“Laki-laki, baru menulis satu buku saja, sudah berani untuk menyebut mereka sebagai pencipta seni yang punya karya. Tapi perempuan seolah tak percaya diri dan takut menyebutkan diri sebagai seniman atau pencipta karya.”

Padahal, jika ditelisik banyak sekali perempuan di Sumba yang telah bekerja keras mengembangkan seni budaya. Salah satunya adalah Nency Dwi Ratna yang selama ini terus bergerak mengembangkan seni tenun. Namun, banyak perempuan seniman lain yang namanya tak pernah tertulis. 

“Para perempuan itu paling takut untuk mengklaim kerja-kerja mereka, padahal mereka bekerja keras mengembangkan seni tiap hari. Mereka berproses setiap hari,” kata Martha Hebi yang dihubungi Konde.co pada 23 April 2023.

Kurangnya pencatatan atas kerja-kerja perempuan seniman dan kurator seni rupa juga tampak dari data direktori seni seperti  IVAA, Indoartnow, dan BDGConnex. Hal ini juga sempat dibahas oleh KSI  dalam diskusi melalui Live Instagram bertajuk ‘Mencari Perempuan Perupa dalam Direktori‘ yang diselenggarakan pada 27 Mei 2021.

Baca Juga: Bagaimana Memperjuangkan Panggung Teater yang Berperspektif Gender?

Di samping itu, sejumlah diskusi lain juga menyebut bahwa sampai hari ini masih banyak praktik kesenian yang belum menampilkan perempuan. Contohnya adalah praktik seni rupa dan seni pertunjukan yang belum banyak memunculkan nama perempuan seniman. Sebagai akibatnya, perempuan seakan tersisihkan atau bahkan terhapus dalam sejarah seni Nusantara. 

Dalam konteks kajian, minimnya pencatatan perempuan seniman menyebabkan penelusuran atas jejak karya dan pemikiran perempuan lebih mirip sebagai kegiatan memulung daripada penelitian yang menggunakan studi data sistematis. Akademisi dan penulis Intan Paramaditha mengatakan bahwa persoalan ini disebabkan bukan karena absennya perempuan. Tetapi karena ketiadaan kemampuan untuk mengenali dan menghargai karya-karya perempuan.

Kekurangan ini memberikan tantangan terhadap pembacaan yang seharusnya dapat menjadi bahan refleksi dan dasar pemikiran bagi arah perkembangan kebudayaan di masa mendatang. 

Kritikus film, Lisabona Rahman juga mengakui bahwa perempuan memang jarang tampil di seni budaya. Apakah ini tanda bahwa perempuan jarang menyumbang dalam seni budaya? Ternyata tidak. Perempuan itu ada dan menopang, tapi masyarakatlah yang kurang menghargai karya-karya perempuan.

“Dan ini yang harus diatasi. Praktik seni rupa masa lalu misalnya banyak ditulis oleh laki-laki, tak banyak nama perempuan yang muncul. Ada juga peta sejarah Indonesia dan pemikiran perempuan yang jarang ditulis. Konstruksi ini yang membuktikan adanya peminggiran perempuan,” kata Lisabona Rahman dalam diskusi yang dilakukan Sekolah Pemikiran Perempuan bertajuk “Upaya Pencatatan Kerja Perempuan di Seni Budaya” yang diselenggarakan pada 23 November 2021. Kondisi ini masih relevan terjadi sampai dengan kini.

Pada diskusi yang sama, Martha Hebi juga  menekankan  pentingnya mendokumentasikan karya dan penampilan perempuan. Berangkat dari hal tersebut, beberapa perempuan di Sumba berinisiatif mengumpulkan perempuan lain untuk menggerakkan organisasi dan menyelenggarakan pementasan seni.

Baca Juga: Institut Ungu: Karya Seni Bisa Lakukan Pembelaan Pada Perempuan dan HAM

“Di sini dari ngobrol, ada pola organisasi yang dibangun antar perempuan. Praktik baik dan tantangan yang dihadapi perempuan, cara menembus lapisan sosial di lapisan bawah hierarki sosial.”

Martha Hebi kemudian menuliskan praktik baik yang dilakukan 15 perempuan yang bergelut dalam budaya di Sumba. Salah satunya Kahi Ata Ratu, seniman  musik jungga yang menggunakan seni sebagai alat perlawanan terhadap isu sosial dan penyembuh luka batinnya sebagai korban kawin paksa. Kemudian juga ada Agustina Kahi Atanau yang mengorganisir perempuan untuk melestarikan budaya dan seni tenun sebagai penopang hidup keluarga. 

Peneliti KSI Ratri Ninditya mengatakan dalam diskusi tersebut. KSI memperjuangkan kondisi perempuan di bidang seni untuk menjembatani isu belum adanya perlindungan dan keberpihakan secara sistematis dari negara dan industri seni terhadap seniman perempuan.

“Seperti kurangnya distribusi gender dalam seni, dan masih lemahnya pemantauan kasus kekerasan berbasis gender di ranah seni yang pelakunya masih bebas dan korbannya trauma berkepanjangan.”

KSI melalui  Pokja Gender kemudian menggandeng Ditjenbud untuk menginisiasi program yang memprioritaskan perempuan seniman. Tindak lanjut dari program ini meliputi penyelenggaraan pelatihan untuk perempuan, pembuatan wacana dan siniar  tentang problem perempuan seniman, serta pelaksanaan  kelas advokasi untuk pekerja seni yang berfokus pada  tema-tema gender. 

“Lalu KSI juga membangun database tentang perempuan yang memimpin di Dewan Kesenian, jumlah perempuan di bidang seni, dan jumlah perempuan seni yang mendapatkan kekerasan.”

Baca Juga: ‘Papermoon Puppet Theater’, Sembuhkan Kesehatan Mental dan Trauma Lewat Seni

Dukungan pemerintah terhadap program prioritisasi  seniman perempuan sangatlah penting. Dalam hal ini, salah satu bentuk dukungan yang diberikan oleh Kemendikbudristek melalui Ditjenbud adalah Dana Indonesiana yang turut dibahas dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2023. 

Kurator seni rupa Alia Swastika dalam situs koalisiseni.or.id menyatakan bahwa Dana Indonesiana telah memberikan kesempatan yang lebih luas bagi seniman. Ini untuk membuat karya dalam kuantitas dan skala yang lebih besar. Alia Swastika mengatakan ini dalam salah satu diskusi yang diadakan Koalisi Seni Indonesia 25 Oktober 2023, acara ini merupakan bagian dari Kongres Kebudayaan 2023.

“Tapi masih butuh evaluasi cara kerja administrasi yang disesuaikan baik dari tim pelaksana Dana Indonesiana maupun Kemenkeu.”

Dana Indonesiana diharapkan bisa semakin dimaksimalkan agar dapat memfasilitasi seniman, pelaku budaya, dan komunitas seni dalam mendukung upaya pemajuan kebudayaan. Secara lebih khusus, Dana Indonesiana sebagai dana abadi kebudayaan juga diharapkan dapat mendukung proses penciptaan karya oleh perempuan seniman serta apresiasi dan pencatatan terhadap karya perempuan seniman. 

KKI diselenggarakan sebagai ruang berkumpul bagi para pemangku kepentingan untuk berdialog menyampaikan pendapat. Agar pembangunan kebudayaan Indonesia semakin berdampak dan berbasis pada kebutuhan masyarakat. Pada penyelenggaraan KKI 2023, telah dihasilkan setidaknya sepuluh gagasan penting dalam pemajuan kebudayaan Indonesia.

Baca Juga: Konser ‘UNiTE’, Kampanyekan Stop Kekerasan Terhadap Perempuan Lewat Seni

Kesepuluh gagasan tersebut meliputi:  (1) menegaskan kebudayaan sebagai daya utama dalam mewujudkan transformasi ke-Indonesiaan, (2) periode 2024-2029 merupakan babak krusial dalam pemajuan kebudayaan, (3)  kebebasan berekspresi yang aman dan nyaman, (4) pendidikan yang berkebudayaan merupakan “sekolah kehidupan,” (5) transformasi tata kelola Dewan Kesenian dan/atau Dewan Kebudayaan menjadi prioritas kelembagaan, (6) perekatan budaya lintas batas di tataran desa dan kota yang partisipatif dan inklusif, (7) teknologi digital untuk mengolah data raya Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), Indeks Kebudayaan, Program Indonesiana, dan berbagai hasil panen budaya masyarakat, (8) masyarakat adat dan lokal lainnya merupakan subjek yang berdaulat atas kebudayaannya, (9) Indonesia memerlukan suatu badan amanat pemajuan kebudayaan, dan (10) model APBN/D diselaraskan dengan kerangka kerja kebudayaan.

Ditjenbud juga selanjutnya mengembangkan sepuluh  objek pemajuan kebudayaan yang meliputi tradisi lisan, manuskrip. Adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus. Hasil-hasil dari KKI 2023 ini juga diharapkan kedepannya dapat mendukung lebih lanjut prioritisasi perempuan seniman yang saat ini sudah mulai dirintis. 

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co yang mendapatkan dukungan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!