Seniman Perempuan Bertubuh Mini: Tidak Pernah Merasa Kecil Meski Kerap Dikecilkan

Orang-orang bertubuh mini di dunia seni seringkali masih terjebak dalam objektifikasi. Nanik Indarti mencoba mendobrak stigma tersebut. Resistensi Nanik bersama Unique Project Theater tak mungkin dilakukan sendiri, tangan-tangan kecilnya perlu sokongan besar untuk bisa memanjat lebih jauh. Pemerintah melalui program Dana Indonesiana sebagai dana abadi kebudayaan menawarkan solusi. Namun, apakah dana abadi tersebut sudah cukup inklusif?

Meski bertubuh mini, Nanik Indarti tidak pernah merasa kecil. Tidak hanya pikirannya yang lapang,hasrat dan semangatnya juga tak pernah berhenti bertabuh. Perempuan penyandang achondroplasia ini lahir di daerah yang besar karena seni dan budayanya, yakni Bantul, Yogyakarta, kemudian mendarmakan hidupnya untuk mewarnai khazanah kesenian di kota tersebut.

Kecintaannya pada panggung terbentuk melalui pendidikannya di S1 Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di sisi lain, kegelisahannya akan industri hiburan turut tumbuh setelah dirinya sah menjadi sarjana. Nanik mafhum betul dengan kerentanannya yang berlipat sebagai seniman perempuan bertubuh mini berlipat. Nanik yang jengah dengan situasi yang ada lantas mengajak teman-temannya yang juga bertubuh mini untuk menghimpun kekuatan mereka melalui seni tanpa eksploitasi. 

Kegelisahan yang dialami Nanik selama ini ia tumpahkan melalui  Unique Project Teater, komunitas besutannya yang beranggotakan  orang-orang bertubuh mini. Melalui Unique Project Teater, pekik perjuangan Nanik semakin lantang dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan disabilitas, terlebih perempuan bertubuh mini.

“Awal mulanya itu karena melihat banyaknya diskriminasi terhadap khususnya tubuh mini di Indonesia,” jelas Nanik saat diwawancarai oleh Konde.co. “Karena stigma tubuh mini di Indonesia itu sering kali, khususnya di dunia hiburan, dijadikan bahan lucu-lucuan, dijadikan bahan objek eksploitasi.”

“Komunitas Unique Project Theater ini sebenarnya sebagai salah satu ruang untuk pendidikan khususnya teman-teman bertubuh mini di Indonesia dan juga secara umum untuk masyarakat di Indonesia yang selama ini punya stigma yang sama juga,  bahwa memandang orang-orang bertubuh mini itu sebagai objek yang lucu,” lanjutnya.

Perwujudan seni dan ekosistem budaya yang inklusif di Indonesia terus menjadi salah satu prioritas dalam upaya pemajuan kebudayaan. Hal tersebut salah satunya terwujud dalam pelaksanaan sejumlah agenda yang diselenggarakan oleh Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi seperti misalnya Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) setiap dua tahun sekali yang melibatkan partisipasi para seniman dan pelaku budaya dengan berbagai latar belakang dari seluruh Indonesia. PKN telah menjadi ruang interaksi yang inklusif dan mewadahi keanekaragaman kreativitas dan ekspresi budaya. 

Sulit Dapat Kerja, Upah Tak Masuk Logika

Beranjak dewasa, kegetiran Nanik  sebagai  perempuan bertubuh mini ia rasakan saat mendapati  lowongan pekerjaan. Setiap kali membaca persyaratan yang diharuskan bagi pelamar kerja, ia merasa putus asa. Tinggi badan yang tak sesuai standar sering menjadi alasan diskriminatif yang menghalangi langkahnya meraih mimpi.

Nanik terusir dari pelukan hak yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap insan; hak untuk bekerja tanpa diskriminasi. Namun, di balik awan kelam itu, menyala sinar kecil harapan. Saat Nanik masih mahasiswa, kesempatan untuk menjadi pengisi suara dalam sebuah film animasi memberinya nafas baru. Suaranya yang unik, mirip suara anak-anak, membuka pintu bagi Nanik untuk masuk ke dunia seni.

Namun, perjalanan Nanik di dunia hiburan tak semulus yang dibayangkan. Kabut gelap eksploitasi dan ketidakadilan menggantung di balik kilau panggung. Tanpa perjanjian kerja yang jelas, Nanik dibayar dengan upah yang jauh dari layak.

Baca juga: Rekrutmen CPNS Belum Inklusif bagi Disabilitas, Apa yang Harus Dibenahi?

”Saat aku mahasiswa, saat itu, aku mendapatkan pekerjaan secara freelance sebagai pengisi suara sebuah film animasi yang diproduksi oleh salah satu perusahaan di Jakarta. Aku sangat menyenangi profesi menjadi pengisi suara. Aku merasa suaraku unik seperti anak-anak. Karena suaraku karakternya seperti suara anak-anak, maka aku terpilih untuk terlibat. Sebagian besar pengisi suara adalah anak-anak, usia 7 sampai 13 tahun. Take suara hari pertama, aku meminta perjanjian kerja, tapi mereka tidak memberikannya,” cerita Nanik.

Upah yang diterimanya mencerminkan pandangan sempit industri hiburan terhadap orang-orang seperti Nanik. Mereka dipandang sebelah mata, hanya dinilai dari fisik mereka yang tak sesuai dengan standar.

”Aku menerima bayaran yang tak profesional. Bayaranku kecil, mereka menganggap bayaranku seukuran dengan tubuhku yang kecil.  Aku sudah punya feeling bahwa ini sepertinya akan menjadi sesuatu yang tidak sehat. Kebenaran pikiranku itu terjadi sampai hari ketujuh, aku tidak menerima perjanjian kerja. Mereka membayarku sangat tidak profesional, yaitu 25 ribu per-episode/ cerita. Cerita yang diproduksi ada sekitar 30 cerita per episode. Ukuran tubuh yang sama, sama seperti anak-anak, upah yang diterima pun sama, kecil.”

Kini bersama Unique Project Theater Nanik menjalani hidupnya dengan tekad yang baru. Cita-citanya tak lagi tentang popularitas atau gemerlap industri hiburan. Nanik ingin dikenal atas bakti dalam bidang yang ia geluti, tanpa harus terkekang oleh stereotip yang berkaitan dengan tubuh. Meskipun terkadang tersisa kegetiran masa lalu atas  penolakan di balik senyumnya,  Nanik  tahu bahwa dirinya lebih dari sekadar tubuhnya yang sering direndahkan. Nanik membuktikan dirinya tidak pernah merasa kecil.

Menjemput Mereka yang Merasa Serupa

Kesabaran dalam menjalani perjalanan yang terjal menuntunnya pada refleksi bahwa ia tidak berjuang sendiri. Pada 2018, Nanik menjemput teman-teman tubuh mini dari berbagai kota untuk bertumbuh bersama dalam komunitas teater yang dinahkodainya. 

“Selama ini mengumpulkan teman-teman dari berbagai kota di Indonesia, khususnya  yang memang mau benar-benar ikut bergabung, berinteraksi bersama.” 

Nanik tak mengelak jika komunitasnya diawali dari perkumpulan penyandang achondroplasia yang berasal dari latar belakang seniman. Kendati begitu, Nanik turut menerima kawan bertubuh mini lain yang ingin berkolektif dan berkesenian bersama mulai dari nol.

Baca juga: ONNI House: Kafe Inklusif Pekerjakan Orang dengan Sindrom Down

“Unique Project Theater memang diawali dari teman-teman tubuh mini yang berbasis di kesenian, karena itu yang lebih mudah untuk menciptakan karya seni.  Kalau teman-teman tubuh mini yang dia tidak memiliki background seni,  itu akan kesulitan mengejar ketertinggalan, dan harus mulai dari nol.”  

“Tetapi memang tidak menutup kemungkinan juga berkolaborasi dengan teman-teman tubuh mini  yang memang tidak memiliki latar belakang seni.  Jadi di situ mereka bisa saling mengenal, bisa saling berinteraksi, juga belajar bersama,” ujarnya.

Lewat kolektif Unique Project Theater, Nanik merangkai lakon-lakon kehidupannya, menyusun pengalaman tubuhnya yang dirundung sebagai pilar kekuatan alih-alih ketakutan. Kolektif ini memiliki misi khusus untuk memberdayakan mereka yang disisihkan, menjadi ruang perlawanan untuk menyingkap tabir-tabir stigma, perundungan, dan ketidakadilan.

“Memang di dalamnya salah satu pemberdayaan juga untuk tubuh mini khususnya, karena di komunitas ini mereka jadi lebih berdaya, jadi lebih merasa percaya diri, itu yang pertama.  Terus kemudian sebenarnya selain pemberdayaan, juga sebagai edukasi masyarakat,” ucapnya dengan semangat.

Nanik dan sahabat-sahabatnya yang seiring langkah merangkai melodi kisah, mencoba untuk memperlihatkan bahwa perempuan bertubuh mini bisa bermakna. Latar belakang anggota komunitas dari beragam profesi seperti pekerja seni, dosen, penari, bahkan ibu rumah tangga, menunjukkan bahwa mereka patut diperhitungkan. Mereka yang tergabung dalam komunitas yang digagas Nanik telah menjelma menjadi nyanyian kebahagiaan melalui keberanian menerima diri.  

“Di komunitas ini, di dalamnya adalah teman-teman tubuh mini yang memang punya profesi, ada yang dosen, ada yang guru, bermacam-macam. Ini yang perlu dikenalkan kepada masyarakat supaya image tubuh mini tidak melulu sebagai orang yang bisa melucu, bahwa tubuh mini juga setara dengan orang lain yang punya cita-cita yang sama, ingin memiliki pekerjaan seperti orang lain juga,  bahwa mereka bisa menjadi setara dengan orang lain,” jelasnya.

Pentingnya Bantuan yang Inklusif

Pemberian dukungan kepada  pelaku kebudayaan, termasuk seniman disabilitas, sejatinya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Berangkat dari amanat tersebut, pemerintah Indonesia telah menetapkan dana perwalian yang diwujudkan melalui dana abadi kebudayaan yang dikenal sebagai Dana Indonesiana.

Hibah ini mendukung visi pemajuan kebudayaan yang tidak hanya mengutamakan keselarasan antara manusia dan lingkungannya, tetapi juga kesadaran budaya yang mendorong pembangunan manusia secara holistik. Kebudayaan dipandang bukan hanya sebagai salah satu sektor pembangunan, tetapi sebagai tujuan dari semua sektor pembangunan, yang berpengaruh pada kepribadian, ketahanan, kerukunan, dan kesejahteraan masyarakat.

Dana Indonesiana juga merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong perwujudan dan keberlanjutan ekosistem seni budaya yang inklusif. Sejak 2022, Dana Indonesiana memberikan dukungan bagi seniman, pelaku budaya, dan komunitas budaya untuk berkarya dalam semangat keragaman dan inklusivitas.  

Nanik sendiri merupakan salah satu penerima manfaat Dana Indonesiana di tahun 2023. Secara umum, Nanik merasa program dana abadi tersebut efektif dan membantu kolektifnya dalam bergerak dan berkarya.

Baca juga: Film ‘Totto-chan: the Little Girl at the Window’ Refleksikan Pentingnya Pendidikan Inklusif

Meski dinilai membantu, Nanik banyak mencatat poin evaluasi mengenai program Dana Indonesiana. Prosedur administratif yang kompleks ternyata menjadi batu sandungan utama bagi Nanik dan kolektif Unique Theater Project yang digawanginya.

“Aku pikir sangat membantu, karena salah satu cara prosedural yang dilakukan pemerintah  ini menurutku sangat efektif, meskipun secara administrasinya sangat ribet, cuma efektif, lah, untuk  bisa membiayai, support semua kebutuhan,” kata Nanik.

Masih dari aspek administrasi, Nanik juga merasa hibah yang didapat banyak terpotong dari urusan-urusan administratif. Kendati begitu, Nanik memahami bahwa pemotongan-pemotongan tersebut, terutama pembayaran pajak, merupakan bentuk tanggung jawabnya sebagai penerima manfaat.

“Kalau secara budget itu ada tanggung jawab soal pembayaran pajak, kemudian dari mereka (Kemendikbud) sudah dipotong, pokoknya banyak, lah, lima puluhan juta begitu. Jadi misalnya dapat 250 Juta, terimanya 200  juta, 200 juta itu pun nanti masih dipotong  pajak-pajak itu sekitar 30an juta, jadi sudah berkurang banyak kayak begitu,” ujar Nanik sembari berhitung.

Baca juga: Listen Include Respect: Bangun Dunia Kerja Inklusif untuk Disabilitas Intelektual

Perjuangan Nanik dalam mendapatkan dana abadi ini juga tidak mudah. Tiga kali Nanik terseok untuk terdaftar sebagai penerima manfaat Dana Indonesiana. Menurutnya, wacana mengenai pengkhususan dana hibah untuk kelompok rentan, termasuk disabilitas, adalah langkah progresif, hanya saja langkah tersebut belum terimplementasi secara maksimal.

“Program Dana Indonesiana baru pertama kali lolos. Sebenarnya memang beberapa tahun yang lalu pernah mengajukan tiga kali tapi tidak pernah lolos. Padahal secara administrasi, secara wacana yang  disampaikan pemerintah itu sudah  menyangkut kebutuhan untuk disabilitas,  tapi nyatanya teman-teman disabilitas yang mendapatkan hibah-hibah tersebut itu tidak tampak, tidak  terlihat,” ucap Nanik seraya menggeleng kepala.

Kritik juga dilontarkan Nanik saat sosialisasi dari pemerintah untuk penerima manfaat dana Indonesiana. Dari pengalamannya mengikuti sosialisasi penerima manfaat yang dilakukan secara daring, ketiadaan juru bahasa isyarat harus menjadi agenda perhatian berikutnya.

“Pemerintah belum bisa menyediakan akses untuk disabilitas. Bayangkan saja misalnya  yang lolos itu ada disabilitas tuli, harusnya mereka juga menyediakan juru bahasa isyarat,” keluhnya.

Di samping itu, rintangan terbesar yang dihadapi Nanik adalah masalah pencairan dana yang terlambat tiga bulan setelah surat kontrak disepakati. Mengatasi itu, Nanik berupaya untuk menambal kekurangan dana dengan swadayanya sehingga proyeknya tetap bisa terlaksana. 

“Surat kontrak sudah ditandatangani sejak Desember 2023. Semua syarat sudah terpenuhi dan tinggal menunggu proses pencairan dana.  Namun yang terjadi proses itu lama sekali. Setelah tiga bulan, dana itu baru cair dan soal waktu pencairan dana ini  benar-benar tidak sesuai dengan harapan. 

“Jadi, mau enggak mau harus menalangi dana produksi, dana  pelaksanaan acara,” jelas Nanik.

Baca juga: Priotisasi Perempuan Seniman Mulai Dirintis

Dari perjalanan panjangnya mendapatkan dukungan  Dana Indonesiana, Nanik telah merasakan getirnya tantangan dan kehangatan dari kesempatan yang diberikan. Meskipun prosesnya tidak selalu mulus, ia tetap memandang ke depan dengan harapan yang besar. Kisahnya bersama teman-teman disabilitas lainnya dirasa patut mendapat dorongan lebih kuat dari pemerintah. Hal tersebut dapat diupayakan lewat implementasi kebijakan afirmatif serta program yang mendayagunakan kelompok marjinal.

Perwujudan ekosistem seni budaya yang inklusif perlu digerakkan bersama oleh seluruh lapisan masyarakat. Kehadiran Dana Indonesiana sebagai salah satu dari 10 Program Minimum Ditjen Kebudayaan perlu dipastikan keberlanjutannya di samping program-program lain yang meliputi Perencanaan Budaya Partisipatoris, Reformasi Tata Kelola Budaya, Sistem Layanan Advokasi Masyarakat Adat dan Penghayat, Pelumbungan Inisiatif Budaya, Pemberdayaan Pengetahuan Lokal, Pengarusutamaan Budaya Melalui Pendidikan, Peningkatan Kapasitas dan Tata Kelola, Penguatan Ekosistem Film, serta Intervensi Cagar Budaya Strategis. Ketersinambungan dan keberlanjutan program-program tersebut merupakan kunci terwujudnya ruang-ruang interaksi dan berkarya yang inklusif. 

“Semoga saja program-program di Indonesia, kebijakannya itu lebih baik, teman-teman  disabilitas di Indonesia itu lebih bisa  banyak mengakses, lah.  Supaya, sekali lagi  disabilitas di  Indonesia ini tampak, terlihat, dan teridentifikasi oleh pemerintah, bahwa mereka ini ada dan mereka ini juga bagian dari masyarakat  Indonesia yang harus didukung juga,” tutupnya.

Nanik dan mereka yang terabaikan tidak pernah merasa kecil, tetapi uluran tangan yang besar dan tepat guna dapat membuat mereka tidak dikecilkan.

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co yang mendapatkan dukungan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

Luthfi Maulana Adhari

Manajer riset dan pengembangan Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!