Jalan kaki bagi sebagian orang menjadi aktivitas yang penuh tantangan. Mulai dari tidak ada pepohonan yang dapat melindungi dari panas matahari, hingga fasilitas bagi pejalan kaki sering kali tidak memadai. Belum lagi ancaman catcalling atau bentuk pelecehan lainnya terhadap perempuan.
Baru-baru ini, media sosial ramai soal survei bahwa masyarakat Indonesia dianggap paling malas jalan kaki sedunia. Survei ini dilakukan oleh para peneliti dari Stanford University pada tahun 2017. Survei menyebutkan rata-rata orang Indonesia berjalan kaki hanya 3.512 langkah setiap hari.
Angka tersebut sangatlah jauh jika dibandingkan dengan rata-rata orang di dunia yang berjalan kaki sebanyak 5.000 langkah per hari. Dalam hal ini, Hong Kong menyabet posisi tertinggi dengan rata-rata 6.880 langkah setiap hari. Angka tersebut kemudian diikuti oleh China (6.180 langkah) dan Ukraina (6.107 langkah).
Survei dilakukan untuk menemukan risiko kesehatan masyarakat yang timbul dari ketidaksetaraan aktivitas. Sebanyak 5,3 juta orang di dunia diperkirakan meninggal karena kurang aktivitas fisik, salah satunya berjalan kaki. Untuk itu, para peneliti Stanford menggunakan aplikasi Argus untuk menghitung berapa banyak langkah kaki manusia setiap hari.
Baca Juga: ‘Saya Jalan Lebih Jauh’ Cerita Perempuan Hindari Pelecehan di Ruang Publik
Namun, bagaimana jika masyarakat Indonesia malas jalan kaki bukan karena karakter, melainkan keterpaksaan? Pernyataan menarik datang dari pengguna X bernama @stravenues. Dalam cuitannya pada Minggu (12/5/2024), ia berkata:
“Coba pindahin orang Indonesia itu ke Singapore, niscaya dia jadi suka jalan kaki dan naik transum (transportasi umum). Artinya apa? Malas dan suka jalan kaki itu dibentuk sama lingkungan, sama infrastruktur, bukan sepenuhnya dari kepribadian satu individu,”.
Lantas, bagaimana dengan Jakarta? Apakah sudah mengakomodasi kebutuhan para pejalan kaki dengan baik?
Trotoar Jadi Tempat Orang Berkumpul untuk Merokok
Jakarta, tempat di mana segala macam moda transportasi dapat ditemukan dengan mudah. Di satu sisi, sebagian wilayah Jakarta juga membuat para pejalan kaki susah. Pepohonan jarang, trotoar rusak, belum lagi harus bersaing dengan pengendara motor yang sering membuat resah. Ini semua membuat para pejalan kaki menyerah.
Elisa Sutanudjaja, Co-Founder Rujak Center for Urban Studies merasa sangat kesal ketika berjalan melewati trotoar depan Gedung Astra yang berlokasi di Sudirman, Jakarta Pusat. Trotoar yang dibangun oleh Astra dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini sebenarnya sudah sangat bagus. Sayangnya, trotoar tersebut sering digunakan untuk merokok.
“Saya sebel kalau lewat situ adalah kalau habis makan siang itu penuh sekali sama perokok. Saya nggak ngerti kenapa mereka merokok di situ, padahal semua gedung perkantoran harusnya menyediakan fasilitas perokok supaya si perokok nggak merokok di pinggir jalan,” ujar Elisa kepada Konde.co pada Jumat (17/5/2024).
Menurutnya, tindakan mereka membuat orang lain tidak nyaman. Meskipun di ruang terbuka, tetapi trotoar tersebut merupakan fasilitas publik. Artinya, tidak semua orang merasa nyaman ketika ada yang merokok di sana. Terlebih jika para perokok ini mengambil alih fasilitas halte hanya untuk duduk santai sambil mengisap rokok.
“Buat perempuan kalau mereka bawa anak-anak juga nggak nyaman. Masa anaknya terpapar rokok,” tambahnya.
Baca Juga: Pengalamanku Frugal Travel, Jalan-Jalan Irit Tak Mesti Sulit
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Salah satu tempat yang termasuk kawasan tanpa rokok (KTR) adalah tempat umum sesuai penetapan pemerintah daerah. Pemprov DKI Jakarta sendiri memasukkan halte sebagai KTR.
Elisa dan para pejalan kaki lainnya berhak atas udara bersih. Termasuk kawasan tanpa puntung rokok yang sering kali dibuang sembarangan dan mengotori jalanan. Infrastruktur yang baik saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kesadaran akan fungsinya. Pasalnya, tidak semua ruang terbuka bisa digunakan untuk merokok.
Aku Suka Jalan Kaki, Tapi Risih Diliatin Laki-Laki
Earlene, seorang karyawan swasta yang suka menghabiskan waktu berjalan kaki. Tidak hanya membuatnya lebih sehat, jalan kaki juga mampu mengurangi polusi. Jalan kaki juga membuatnya lebih leluasa bergerak dan berhenti tanpa harus menyalakan lampu sein untuk menepi.
Ia tinggal di Tangerang, Banten. Sebuah kota yang masuk dalam wilayah dengan polusi udara paling tinggi di Indonesia. Namun, kawasan rumah Earlene banyak ditumbuhi pepohonan rindang yang membuat nyaman saat jalan kaki dan berolahraga, sekalipun sedang banyak pembangunan di sana.
“Mereka (developer) juga tetap perhatian dengan lingkungan sekitar. Jadi CSR (Corporate Social Responsibility) jalan, banyak pepohonan, jalan trotoar untuk pejalan kaki, ada juga untuk pesepeda. Jadi aku merasa safety jalan di sana,” ujar Earlene kepada Konde.co pada Kamis (16/5/2024).
Meski infrastrukturnya mendukung, tetapi Earlene tetap merasa tidak nyaman ketika sedang berjalan kaki di sana. Ia merasa risih saat harus melewati kuli proyek bangunan, baik yang sedang bekerja atau beristirahat. Earlene memang tidak menatap mereka satu-satu, tapi ekor matanya tetap bisa menangkap tatapan genit tersebut.
“Aku itu risih, makanya setiap aku jalan, aku selalu pakai earphone. Jadi aku seakan-akan kayak tidak menghiraukan. Padahal sebenarnya aku tahu apa yang terjadi,” ujarnya.
Baca Juga: Gerbong Khusus di KRL Belum Lindungi Hak Perempuan, Butuh Kebijakan Sistematis
Hal yang paling ditakutkan Earlene adalah terkena pelecehan di jalan. Tubuhnya yang berisi terkadang membuat pakaian yang dikenakan terkesan ketat. Tak jarang ia merasa laki-laki tengah menelanjanginya lewat tatapan mata.
“Aku itu merasa mata itu melihat ke arah aku, serasa aku ini nggak pakai baju,” tambahnya.
Jika menilik dari data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, sebanyak 1.350 kekerasan seksual terjadi di ranah publik sepanjang 2023. Jumlah tersebut bukanlah angka yang kecil. Apalagi tidak semua korban kekerasan mau melaporkan peristiwa yang menimpanya.
Kita Bukan Malas Jalan Kaki, Tapi “Dibuat Malas” Jalan Kaki
Elisa Sutanudjaja menepis anggapan bahwa masyarakat Indonesia malas jalan kaki. Ia menyebut, masyarakat justru dibuat malas jalan kaki oleh keadaan, baik infrastruktur maupun perilaku orang lain.
“Pertama karena fasilitasnya tidak ada, tidak aman. Lalu terkait dengan iklim tidak ada pohon, tidak ada peneduh kayak atap buatan. Lalu kendaraan bermotornya sangat banyak, tidak ada pembatasan. Saking banyaknya menggunakan trotoar, trotoarnya sering dinaiki motor,” jelas Elisa.
Kondisi demikian membuat masyarakat tidak punya inisiatif untuk berjalan kaki. Sebab, hak mereka menggunakan jalan direnggut oleh pengguna jalan lainnya–pengendara sepeda motor. Tak sedikit ditemui trotoar yang beralih fungsi jadi lahan parkir atau tempat berjualan.
Baca Juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita
Pada dasarnya, trotoar bukan sesuatu yang mutlak harus disediakan. Jika jalannya memiliki lebar 2,5 meter tentu tidak memungkinkan jika harus diberi trotoar. Biasanya jalanan ini ditemukan di area-area pemukiman sehingga kebanyakan dilalui oleh pejalan kaki.
Trotoar harus ada di jalan-jalan arteri seperti Sudirman, Thamrin, Daan Mogot, dan lain sebagainya. Sementara menurut Elisa, trotoar di Daan Mogot justru terputus. Padahal di sana ada halte TransJakarta, banyak orang yang harus berjalan kaki untuk menuju ke sana. Sudah seharusnya trotoar yang layak disediakan untuk mengakomodasi kebutuhan para pejalan kaki.
Bagaimana Tata Kota yang Ramah Perempuan?
Terkait tata kota ramah perempuan, Elisa menyebut bahwa prinsip mixed use akan sangat membantu mobilitas perempuan. Perempuan selalu dituntut multitasking–terlebih menjadi caregiver–sehingga membutuhkan segala sesuatu yang cepat, mudah, dan praktis dalam satu kawasan.
“Mixed use itu berarti dalam satu kawasan, dia bisa menemukan berbagai macam fasilitas yang berbeda. Mulai dari pasar, sekolah, klinik, taman, dan segala macam semua dekat,” jelas Elisa.
Kampung kota seperti Kalipasir, Cikini, Jakarta Pusat sangat memudahkan aktivitas perempuan. Ia bisa menitipkan anaknya ketika harus bekerja, atau menitipkan ke tetangga saat sedang memasak. Bisa juga mengajak anak bermain di taman, tidak kesulitan mengakses kesehatan, dan masih banyak lagi benefit lainnya.
Baca Juga: Muter, Aplikasi untuk Disable Tuli Pengguna Kereta KRL
“Yang seperti itu memudahkan perempuan untuk memerankan berbagai macam peran gandanya. Jadi model mixed use itu dekat, murah karena dia cukup jalan kaki atau naik sepeda,” tambahnya.
Selain tata kota yang mixed use, transportasi yang saling terintegrasi juga sangat memudahkan aktivitas perempuan. Beruntung transportasi di Jakarta dan sekitarnya telah menerapkan prinsip tersebut, meski harus tetap ada pembenahan agar lebih optimal.
Yang terpenting adalah keamanan dan kenyamanan perempuan selama mengakses ruang publik. Perlu ada langkah konkret untuk mencegah ancaman kekerasan di jalan. Mengingat kriminalitas di Indonesia masih cukup tinggi, terutama kepada perempuan dan kelompok rentan.