Kadek Sonia Piscayanti melahirkan anak kebudayaannya yang ia beri nama Mahima pada 2008 silam. Sonia menjadi representasi solid bahwa perempuan di Singaraja tidak hanya menjadi bagian integral dari masyarakat, tetapi juga memainkan peran kunci sebagai pemelihara dan penggerak kebudayaan.
Singaraja Literary Festival yang dimulai sejak 2023 lalu adalah bukti nyata dari dedikasi Komunitas Mahima dalam menjaga dan merayakan kekayaan intelektual dan kultural leluhur. Festival tersebut diniatkan menjadi acara rutin tahunan mengingat kekayaan pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur sangat luas dan tidak akan tuntas dibahas dalam satu kali penyelenggaraan acara.
“Singaraja Literary Festival yang kami mulai tahun lalu itu memang diniatkan untuk menjadi festival tahunan. Kenapa festival tahunan? Karena legasi dari pengetahuan masa lalu yang dibuat oleh leluhur kita, pendahulu kita itu sangat-sangat kaya. Dan tidak bisa habis dalam satu tahun dibahas. Bahkan mungkin ratusan tahun pun kita belum selesai juga bahasnya,” sambut Sonia semringah.
Maha Besar Sastra dan Perempuan pada Perayaan Singaraja Literary Festival
Singaraja dengan segala kekayaan budayanya menunjukkan bagaimana perempuan memainkan peran kunci dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks budaya Bali, perempuan menurut Sonia tidak hanya menjadi bagian integral dari masyarakat tetapi juga sumber energi dan penggerak kebudayaan.
“Di sekitar, saya lihat bahwa yang melakukan banyak aktivisme itu adalah perempuan, adalah ibu. Dalam konteks budaya Bali misalnya, hampir semua kegiatan kebudayaan yang menggerakkan perekonomian itu banyak perempuan. Coba ke pasar, pasti banyak perempuannya,” ujar Sonia.
Meski begitu, Sonia menekankan bahwa jalan perempuan Singaraja tidak terbatas pada peran tradisional, Mereka kini mulai melangkah keluar dari ranah domestik. Kemampuan dan kontribusi perempuan tidak hanya terbatas pada satu ranah, tetapi meluas ke dunia profesional dan sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan Singaraja adalah penggerak perubahan yang sesungguhnya.
“Kita merasa bahwa menjadi perempuan itu adalah menjadi penggerak. Menjadi penggerak dan penyeimbang. Menjadi pusat energi justru kalau di Bali. Mulai dari dia melakukan tugas-tugasnya di domestik, kemudian di luar. Sekarang kan sudah sangat terbuka sekali perempuan Bali bekerja di luar ranah domestik,” ujarnya.
Baca Juga: Prioritisasi Perempuan Seniman Mulai Dirintis
Secara khusus, dunia sastra dan seni juga menyaksikan kebangkitan perempuan di Singaraja. Jika dulu umumnya ranah ini didominasi laki-laki, kini banyak perempuan yang mulai merebut hak mereka untuk bebas berkesenian. Aktivisme perempuan di Singaraja, sebagaimana ditunjukkan melalui kegiatan yang diselenggarakan Komunitas Mahima menjadi keberhasilan perempuan dalam merebut dan memanfaatkan kesempatan itu.
“Sekarang ini luar biasa pergerakan teman-teman perempuan di mana-mana. Jadi memang membahagiakan, karena perempuan sekarang sudah mulai bangkit. Untuk konteks saya di Singaraja, saya membuat komunitas ini hampir 70 persen juga perempuan anggotanya.”
“Jadi kenapa seperti itu? Mungkin karena ada sebuah motivasi. Motivasi bahwa, iya aku juga bisa. Jadi Mahima itu memang identiknya. Kalau di Singaraja itu kebanyakannya perempuan,” cerita Sonia.
Motivasi besar itu adalah pendorong perwujudan cita-cita Mahima, yang dalam filosofi Hindu bermakna “Maha Besar”. Harapan tersebut coba diwujudkan Sonia dan Mahima salah satunya melalui Singaraja Literary Festival.
Pada festival perdana tahun lalu, komunitas ini menghadapi tantangan besar karena tidak ada sponsor. Namun, dengan semangat urun daya, Mahima berhasil melanjutkan gelaran festival ini pada tahun kedua dengan dukungan dana abadi kebudayaan Dana Indonesiana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Setelah sukses dengan penyelenggaraan Singaraja Literary Festival yang kedua berkat dukungan Dana Indonesiana, Sonia berharap Mahima mampu memberdayakan ruang publik secara bebas dan inklusif.
“Kita mulai ingin menggarap program yang lebih sustainable. Sustainable itu maksudnya tidak on-off, karena biasanya kita melakukan sesuatu itu dengan swadaya, kemudian urunan sesama teman. Dengan Yayasan ini kita memungkinkan mengakses pendanaan yang lebih formal.”
Baca Juga: Bingung Ditanya Dari Mana Asalmu? Sebutan untuk Global Nomad atau Anak Budaya Ketiga
“Jadi, kami tahun lalu melamar Dana Indonesiana untuk program Pendayagunaan Ruang Publik. Pendayagunaan Ruang Publik itu kami buat Singaraja Literary Festival,” terangnya.
Dana Indonesiana merupakan salah satu wujud upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekosistem seni budaya di Indonesia. Sejak 2022, Dana Indonesiana telah memberikan pendukungan fasilitasi dana hibah kepada kelompok kebudayaan atau individu pelaku budaya di berbagai daerah di Indonesia. Pendayagunaan Ruang Publik merupakan salah satu turunan dari program Pemanfaatan Dana Abadi Kebudayaan. Di samping itu, dukungan Dana Indonesiana juga meliputi Fasilitasi Bidang Kebudayaan dan Beasiswa Pelaku Kebudayaan.
Setelah sukses memelihara warisan Gedong Kirtya pada perhelatan pertama, tahun ini Mahima melalui Singaraja Literary Festival mengangkat tema “Dharma Pemaculan,” yang diambil dari khazanah lontar atau naskah manuskrip tradisional tentang pertanian. Tema ini membahas urutan-urutan memelihara padi, lengkap dengan filosofi dan pengetahuan mendalam yang terkandung di dalamnya.
“Tahun ini, tema kami itu Dharma Pemaculan. Itu adalah lontar tentang pertanian. Jadi, di situ ada urutan-urutan memelihara padi. Kemudian ada filosofinya dan sebagainya. Itu tema tahun ini,” terang Sonia.
Dharma Pemaculan sebagai tema festival juga merupakan interpretasi atas sifat pemelihara yang dimiliki perempuan dan direpresentasikan melalui sosok ibu bumi. Tanah diibaratkan ibu yang mengandung benih, melahirkan, lantas merawat. Padi menjadikan tubuh tanah sebagaimana manusia, menyelami dan mendalami proses-prosesnya.
Perjalanan Menuju Keberlanjutan
Ambisi Mahima untuk menjadi komunitas budaya yang berkelanjutan ditunjukkan dengan perencanaan tema yang mewangi sampai sepuluh tahun ke depan. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan keberlanjutan pewarisan intelektualitas dan kearifan kebudayaan.
Untuk mewujudkan niat baik tersebut, festival ini gencar melibatkan generasi muda, terutama mahasiswa, dalam proses pembelajaran dan perayaan pengetahuan bersama. Dengan melibatkan mahasiswa, Mahima berharap dapat memastikan keberlanjutan dan menjadi ensiklopedia pemikiran yang dapat diakses oleh generasi mendatang.
“Kami sudah siapkan sampai tema tahun kesepuluh. Mungkin juga sampai tahun yang ke-20 setelah ini. Karena memang tidak akan ada habisnya lontar itu dibahas. Dan saya berharapnya bahwa nanti memang dilanjutkan. Meskipun kami para pendiri mungkin nanti sudah menua dan bagaimana, itu harus ada yang melanjutkan generasi berikutnya.”
“Karena kalau dikumpulkan pemikiran-pemikiran yang ada setiap tahun itu akan menjadi sebuah ensiklopedi pemikiran yang bisa diakses oleh generasi muda ke depan. Makanya saya banyak melibatkan teman-teman mahasiswa untuk mengakses ini bersama-sama. Karena ini sebenarnya pengetahuan bersama, bukan pengetahuan yang bersifat individu. Justru kita harus merayakannya sama-sama,” jelas Sonia.
Baca Juga: Budaya Tempat Kerja Toxic Jangan Dibiarkan, Ini yang Bisa Dilakukan
Dukungan Dana Indonesiana diakui Sonia membantu keberlangsungan Singaraja Literary Festival pada tahun ini. Terwujudnya ekosistem budaya yang inklusif dan berkelanjutan menjadi tujuan dari program Dana Indonesiana. Sonia juga menekankan bahwa ekosistem kebudayaan akan terpelihara jika mendapat daya dukung yang baik. Sonia juga mengharapkan peninjauan yang baik dari pemerintah sebagai penyedia dana agar dukungan tersebut dapat tepat guna dan pada gilirannya mendukung visi pemajuan kebudayaan.
“Ekosistem itu terpelihara jika ada daya dukungnya. Salah satunya dalam konteksnya Dana Indonesiana ini mendukung pendanaan festival kami. Itu kan sudah berkontribusi terhadap keberlangsungan festival kami, setidaknya untuk tahun ini.”
“Saya sangat berharap bahwa memang dukungan ini terus ada. Tetapi kan saya kembali lagi, harapan tidak boleh terlalu besar juga. Jadi mungkin harus betul-betul ditinjau.Mana program-program yang betul-betul dilakukan dengan baik, sehingga bisa didanai kembali, itu sih harapannya ke depan,” jelasnya.
Sebagai salah satu penerima manfaat Dana Indonesiana, Sonia turut mengharapkan peningkatan dan perbaikan program tersebut ke depannya. Secara khusus, Sonia menyoroti kebutuhan administrasi dari dana yang dikucurkan oleh pemerintah. Berdasarkan pengamatan Sonia, tuntutan administrasi yang terlalu besar cukup mempengaruhi aspek produksi penyelenggaraan kegiatan.
Baca Juga: Ribuan Perempuan Amerika Akan Lakukan Aksi Di Tengah Pandemi
“Sebenarnya awalnya saya inginnya itu fleksibel. Pendanaan di swasta itu kan dia lebih kepada produk gitu, bukan kepada administrasi. Jadi produknya 95 persen, administrasi 5 persen. Kalau di pemerintahan kan produknya akhirnya ciut, karena administrasinya bisa 70 persen.”
“Kalau di pemerintahan beban kerjanya itu lebih ke administrasi sehingga secara kekaryaan jadi agak turun gitu. Meskipun kita sangat mengusahakan bahwa itu tidak menjadi halangan. Tetapi tetap ya kalau kita dikejar-kejar pajak. Jadi kurang afdol berkegiatan begitu, saya mungkin berharapnya lebih kepada penyederhanaan administrasi dan lebih kepada pertanggung jawabannya,” hemat Sonia.
Di sisi lain, Sonia juga melihat kebudayaan sebagai arena yang sangat luas. Ia mendukung upaya pembentukan lembaga mandiri yang secara spesifik berfokus pada sektor kebudayaan dan terpisah dari bidang-bidang yang lain, seperti misalnya Kementerian Kebudayaan. Hadirnya lembaga mandiri yang berfokus pada sektor kebudayaan akan mengoptimalkan pengelolaan ekosistem seni budaya di Indonesia dan dapat semakin menjamin keberlanjutan program-program yang mendukung pelaksanaan kegiatan budaya seperti Dana Indonesiana. Kendati begitu, Sonia mensyaratkan bahwa pengelolaan yang baik dan serius tetap menjadi kunci keberhasilan lembaga tersebut.
Baca Juga: Seniman Perempuan Bertubuh Mini: Tidak Pernah Merasa Kecil Meski Kerap Dikecilkan
“Jadi menurut saya kalau dikelola dengan baik dan serius, kebudayaan itu memang banyak banget isunya. Pendidikan juga, isunya juga banyak banget. Jadi kalau di memang di clear cut between education and culture, itu saya setuju. Karena masing-masing itu beban isunya tinggi banget.”
“Saya sebagai pendidik dan sebagai pelaku budaya, saya merasa overwhelmed juga kalau melihat di lapangan bagaimana kejadian-kejadian di bidang pendidikan dan kebudayaan dari segi keberagaman isunya, kemudian tantangannya itu luar biasa. Kalau memang kebudayaan difokuskan, logikanya kan kebudayaan akan lebih diperhatikan, karena tidak berbagi fokus dengan pendidikan,” jelasnya.
Komitmen Sonia untuk berfokus pada pemajuan kebudayaan sudah didarmakan Mahima. Salah satunya tampak dari keseriusan Singaraja Literary Festival dalam memastikan warisan intelektual dan kultural dapat terus hidup dan berkembang bersama generasi-generasi yang akan datang. Perayaan akan komitmen ini perlu mendapat dukungan penuh dan serius dari banyak pihak, termasuk pemerintah. Dengan begitu, Singaraja tidak hanya membangkitkan diri mereka sendiri, tetapi juga menginspirasi generasi mendatang secara lebih luas dan inklusif.
(sumber foto: Instagram @singarajaliteraryfestival/Omen, Saka Widya)
(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan ri Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)