Namaku Mawati, aku adalah anak perempuan satu-satunya dari tujuh bersaudara. Sejak ayah meninggal dan ibu jatuh sakit, aku dan saudara-saudaraku diasuh oleh adik laki laki dari ibuku dan istrinya.
Aku yang saat itu baru berusia 8 tahun sudah mulai diperkenalkan dengan berbagai macam tugas dan fungsi seorang perempuan dalam ranah domestik.
Setiap pagi aku harus bangun sebelum ayam berkokok, dan dilatih untuk mengerjakan pekerjaan pekerjaan rumah. Seperti menyapu, mengepel, menyiram tanaman, dan mencuci piring. Lalu setelah pulang sekolah, aku dilatih untuk mengamati sepupu-sepupu perempuanku yang sudah remaja saat mereka sedang melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik yang cenderung lebih berat dari yang biasa aku lakukan. Seperti memasak, mencuci pakaian, mengetam dan menumbuk padi, serta menapi beras. Rutinitas itu terus berulang hingga aku tumbuh remaja, diikuti dengan semakin bertambahnya beban pekerjaan domestik yang harus kulakukan.
Adanya rutinitas yang terus berulang serta pembatasan ruang gerak yang hanya dibatasi pada aktivitas di dalam rumah. Membuatku tumbuh menjadi remaja yang merasa tidak memiliki kemahiran lain selain mahir dalam melakukan perkerjaan domestik.
Baca Juga: Mimbar Demokrasi Perempuan Desak Presiden Hentikan Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Pemilu
Puncaknya adalah ketika aku duduk di kelas 3 SMP. Saat itu, aku dan saudara-saudaraku beserta beberapa saudara sepupu kami yang juga tinggal dengan paman dan bibiku dikumpulkan untuk berdiskusi terkait keberlanjutan pendidikan kami. Masih teringat jelas dibenakku, bagaimana saat itu kami dikumpulkan dalam satu ruangan dengan posisi duduk yang dikelompokan berdasarkan gender.
“Perempuan gak perlu sekolah,” begitu kata pamanku memulai pembicaraan kami pada saat itu.
Pamanku menjelaskan bahwa anak-anak perempuan nantinya akan mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu mereka berladang. Sementara anak laki-laki akan dikirim ke kota untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Pamanku juga menambahkan alasan lain yang mendasari keputusannya saat itu terkait ketidakmampuannya untuk menyekolahkan kami secara bersamaan.
Aku yang saat itu sudah remaja, mulai memiliki keresahan-keresahan akan ruang gerak dan kebebasanku yang dibatasi oleh aturan orang dewasa pun memutuskan untuk pergi merantau.
Berbekalkan ijazah SMP (Sekolah Menengah Pertama), aku lalu pergi mencari pekerjaan sekaligus pengalaman hidup yang sebelumnya belum pernah aku rasakan.
Dalam perjalanan panjangku, aku berhasil memperoleh pekerjaan dan menjadi seorang perempuan mandiri yang mampu menafkahi diriku sendiri. Aku berkelana jauh mencari pengalaman sebanyak banyaknya serta membangun relasi yang luas.
Hingga di usia yang ke 25 tahun, aku memutuskan untuk menikah dan membangun rumah tangga bersama lelaki pilihanku. Dengan ijazah SMP (Sekolah Menengah Pertama), aku berhasil menyekolahkan anak-anakku sampai ke bangku kuliah. Bahkan anak pertamaku saat ini sedang menempuh pendidikan magister di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia. Belenggu konstruksi budaya patriarki dan stigma masyarakat terhadap perempuan berpendidikan yang pernah kualami di masa lalu. Kini menjadi motivasi yang merubah pola pikirku dalam mendidik dan mengasuh anak-anakku.
Perempuan Pedesaan Terkena Stigma Tak Boleh Sekolah Tinggi
Pengalaman yang dialami oleh Mawati merupakan satu dari sekian juta pengalaman perempuan-perempuan di luar sana yang juga mengalami hal serupa. Kilas balik perjuangan perempuan dalam melawan konstruksi budaya patriarki dan stigma masyarakat terhadap perempuan berpendidikan bahkan sudah ada jauh sebelum reformasi. Kartini sebagai salah satu tokoh yang gencar memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dalam memperoleh pendidikan menjadi bagian dari catatan sejarah perjuangan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan haknya.
Semangat juang Kartini dalam upayanya membebaskan perempuan Indonesia dari belenggu patriarki ternyata tidak benar-benar dimaknai oleh setiap anggota masyarakat.
Pernyataan ini beranjak dari berbagai pengalaman perempuan di luar sana, khususnya para perempuan di pedesaan yang hingga saat ini masih menjadi korban diskriminasi dari stigma masyarakat terhadap perempuan berpendidikan. Budaya patriarki pada masyarakat pedesaan merupakan bentuk pola pikir yang masih “dilanggengkan” hingga kini. Akibatnya, banyak perempuan yang menjadi korban diskriminasi.
Diskriminasi hak perempuan dalam mengenyam pendidikan dianggap sebagai salah satu upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempermudah perempuan dalam mencari jodoh, sebab konon katanya perempuan yang berpendidikan akan sulit mendapatkan jodoh, padahal nyatanya pernyataan tersebut hanyalah dalih yang digunakan untuk menutupi ketidakmampuan laki-laki bersanding dengan perempuan yang ber-value.
Alasan lain mengapa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi pun kembali dihubungkan dengan kodrat perempuan sebagai seorang “ibu”, dan menjadi ibu adalah kodrat seorang perempuan sejak lahir, sementara menjadi perempuan yang berpendidikan cuma jadi pilihan.
Baca Juga: Film ‘Totto-chan: the Little Girl at the Window’ Refleksikan Pentingnya Pendidikan Inklusif
Stigma terhadap perempuan berpendidikan merupakan permasalahan yang akan terus menghantui perempuan-perempuan yang lahir dan besar di lingkungan masyarakat patriarki. Bahkan di era yang sudah sangat modern ini pun, tidak banyak perempuan-perempuan di pedesaan yang berani keluar dari lingkaran ini. Hal ini tentu karena berbagai macam ketakutan akan sanksi sosio-kultural yang sudah menghantui mereka sejak kecil. Beberapa di antara perempuan-perempuan tersebut bahkan harus mengubur mimpi mereka dalam-dalam. Itu demi memenuhi tuntutan akan konstruksi sosio-kultural yang ada dalam masyarakat.
Anggapan bahwa kodrat perempuan sebagai seorang “ibu” yang juga berperan sebagai “istri” membentuk stigma. Anggapannya, perempuan tidak perlu “sekolah” untuk menjadi seorang ibu yang baik. Sebab dalam masyarakat pedesaan, berkembang pemikiran. Bahwa untuk menjadi seorang ibu yang baik, perempuan hanya perlu “mengasah naluri keperempuanannya” dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat domestik.
Kompas hidup perempuan di pedesaan seolah-olah hanya diarahkan pada hal-hal yang sifatnya domestik dan tak kasat mata. Peran dan ruang gerak perempuan pun dominan difungsikan untuk berkeliaran di dapur pada pagi hari dan merangkak di kasur ketika malam tiba. Diskriminasi terhadap hak-hak perempuan pedesaan dan stigma masyarakat terhadap perempuan berpendidikan hanya bisa terputus jika pola pikir masyarakat tersebut sudah terbuka. Kemerataan akses yang dapat menghubungkan daerah pedesaan dan perkotaan menjadi salah satu indikator penting dari terwujudnya kesetaraan hak-hak perempuan pedesaan dalam mengenyam pendidikan.
Sebab, pendidikan menjadi salah satu sarana yang dapat digunakan untuk memutuskan rantai kemiskinan. Dengan pendidikan perempuan mampu mengubah hidupnya dan hidup perempuan-perempuan lain di luar sana.