Di mimbar demokrasi perempuan, para peserta aksi mengenakan baju bernuansa ungu. Itu jadi simbol perjuangan para perempuan yang menolak penyalahgunaan kekuasaan.
Aksi yang seharusnya dilakukan di taman Aspirasi, di depan Istana, tiba-tiba dilarang oleh aparat. Akhirnya mimbar demokrasi perempuan dilakukan di Patung Kuda, Jakarta.
Aksi diisi dengan pembacaan orasi, puisi, dan lagu atas kondisi demokrasi yang sangat buruk di masa reformasi yang dilakukan Presiden Jokowi
Aksi juga dihiasi dengan jalan mundur yang menunjukkan mundurnya demokrasi di Indonesia.
Koalisi ini mendesak Presiden Jokowi, untuk menghentikan penyalahgunaan kekuasaan dalam Pemilu. Apa yang dilakukan Jokowi tidak sesuai dengan Nawacita presiden di tahun 2014, yaitu pemerintah yang berjanji untuk tidak absen dan akan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
Baca Juga: Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh
Salah satu aktivis, Ulfa Kasim menyatakan bahwa Presiden Jokowi juga telah meninggalkan nilai-nilai demokrasi berperspektif perempuan. Suara perempuan yang kritis terhadap sikap presiden tidak dianggap penting. Kritik dari universitas-universitas dan organisasi masyarakat sipil termasuk perempuan diabaikan. Pemilu hanya digunakan sebagai alat kontestasi, perempuan jadi penonton ketidakadilan dan keserakahan.
“Kami kaum perempuan juga berkeberatan dengan pajak kami yang digunakan untuk kepentingan politik partisan yang dilakukan presiden dan pendukungnya.”
Dalam deklarasi ini Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM menagih sumpah Jokowi sebagai presiden. Yakni menolak ketidaknetralan presiden karena merusak demokrasi, mengoyak keadilan dan memecah bangsa.
“Kami juga menolak penyalahgunaan kekuasaan presiden dalam mendukung paslon dengan melanggar konstitusi, mengukuhkan nepotisme, oligarki dan patriarki,” kata Ulfa Kasim.
Baca Juga: Kampus Bergerak: Pak Jokowi, Situasi Kritis, Berhentilah Ikut Campur Pencalonan Gibran
Lalu mereka juga menolak keberpihakan presiden pada pasangan calon/ paslon yang memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat masa lalu dan tanpa pertanggungjawaban di depan hukum termasuk perkosaan massal Mei 1998
“Kami juga menolak pajak kami digunakan untuk kepentingan politik partisan melalui pembagian bantuan sosial/ bansos sebagai wajah baru penyalahgunaan kekuasaan, dani menagih sumpah, nilai-nilai, seluruh janji penegakan demokrasi, HAM, kesejahteraan rakyat dan kepatuhan pada konstitusi yang saat ini diingkari dan menjadi warisan buruk bagi generasi muda Indonesia.”